Opini

Spirit Islam dan Kemanusiaan dalam Tradisi Ketuwinan

NU Online  ·  Senin, 11 Desember 2017 | 02:00 WIB

Oleh Amar Alfikar

Bukan lagi rahasia, bahwa Indonesia adalah negara yang demikian diberkahi dengan beragam kekayaan, baik yang bersifat badani seperti alam dan tanah yang subur, hingga kekayaan dan keindahan yang rohani seperti tradisi, kebudayaan, dan keyakinan yang begitu beragam. Ketika Indonesia disebut-sebut sebagai negara mayoritas muslim di dunia, identitas keislaman tersebut diejawantahkan dalam wajah kebudayaan ala Indonesia yang begitu kental. 

Islam ala Indonesia adalah persinggungan yang demikian erat antara agama sebagai dogma, dengan agama sebagai wujud kultur kebudayaan yang membumi, itulah mengapa keberhasilan penyebaran Islam di Indonesia adalah hasil perenungan yang cerdas dan bernas yang dilakukan oleh para walisongo dalam mendakwahkan Islam di abad ke-14 hingga ke-16. Para wali berjuang membawa misi keislaman melalui pergumulan ajaran agama yang diasimilasikan dengan kebudayaan lokal, maka tak heran jika kemudian Islam Indonesia adalah Islam yang kaya dengan tradisi-tradisi lokal. 

Bahkan dalam melakukan peleburan kebudayaan antara agama dan tradisi lokal tersebut, para wali tak segan-segan untuk menggunakan kosa kata yang diserap dari bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa liturgis dari agama Hindu dan Budha, dua agama dominasi sebelum Islam datang, Walisongo lebih memilih untuk melakukan familiarisasi atau pola kebahasaan yang mudahdilafalkan lidah orang Jawa daripada menggunakan bahasa Arab secara langsung. Misalnya, ketimbang menggunakan kata ta’lim, para wali memilih kata ngaji, begitu pula kata sembahyang untuk sholat, puasa untuk shaum, dan lain sebagainya.

Kecenderungan semacam itu tentu bukan lantaran dakwah yang dilakukan sebagai bentuk anti-Arab, tapi kesemuanya merupakan upaya pendekatan kultural yang mumpuni dan strategis demi mengislamkan Indonesia tanpa meninggalkan ruh tradisi yang telah lahir dari rahim ibu pertiwi. Dalam konsep fiqih, pendekatan semacam ini merupakan bagian dari nafyul haraj, tidak membebani atau memberatkan. 

Ketuwinan, wajah Islam dan kemanusiaan

Maka dalam konteks masyarakat Indonesia, semakin seseorang mengakui diri sebagai muslim, maka semakin kuatlah akar-akar tradisi yang ada dalam dirinya. Di berbagai daerah yang kultur keislamannya kuat, justru adalah daerah yang sangat menjaga budaya lokal di dalamnya. Salah satunya adalah kota Kaliwungu, kota yang disebut-sebut sebagai surga kaum sarungan, kota santri di Kendal Jawa Tengah. Tak heran jika kota ini disebut kota santrisebab puluhan pesantren berdiri kokoh di kecamatan ini, sekokoh beragam helatan tradisi dan kebudayaan yang ada di dalamnya.

Bagi masyarakat Kaliwungu, kemeriahan merayakan momen-momen penting dalam penanggalan Islam atau Hijriyah tidak hanya terjadi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, namun juga dalam tanggal pentinglainnya seperti tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan RabiulAwal atau Mulud dalam bahasa Jawa. Kemeriahan pada bulan ini tidak semata digegap-gempitakan pada satu hari saja di tanggal kelahiran Nabi Muhammad, di hari ke-12, namun bahkan mendekati masuk bulan ini pun masyarakat Kaliwungu sudah disibukkan dengan persiapan dan berbagai tradisi ringan.

Salah satu tradisi yang sangat melekat bagi masyarakat Kaliwungu di bulan ini adalah tradisi ketuwinan (saling mengunjungi) yakni tradisi di mana setiap warga mempersiapkan makanan, cemilan atau minumannya masing-masing dan menyediakannya dalam jumlah yang banyak di rumahnya untuk kemudian dibagi-bagi dan ditukarkan kepada tetangga dan sanak saudara.

Dalam momen penting tradisi ketuwinan inilah, masyarakat tak sekadar saling berbagi makanan, namun juga menjadi ruang yang intens untuk saling menyapa tetangga dan sanak saudara, berbaur dalam suka cita dalam upaya untuk mengokohkan nilai-nilai persatuan dalam masyarakat dan menghalau arus individualisme yang mengancam masyarakat lokal, terutama sejak deburan kemajuan jaman dan teknologi terus menerus mengancam keluhuran sikap kemanusiaan kita.

Tradisi tersebut sudah barang tentu merupakan perwujudan sikap sosial yang sangat tinggi yang didasarkan atas semangat berbagi dan memberi, di samping juga sebuah sikap kebudayaan yang dilandasi spirit religiusitas dan spiritualitas yang membumi.

Ditilik secara leksikal, penggunaan kata ketuwinan ini sesungguhnya menarik untuk direnungkan karena mengandung pesan penting dalam konteks hubungan kemanusiaan. Dalam strata bahasa Jawa, kita mengenal tiga tingkatan yakni ngoko, kromo madya dan kromo inggil, penggunaan kata ketuwinan yang berasal dari kata dasartuwi merupakan bentuk bahasa Jawa kromo madya, kata ngoko nya adalah tilik, sementara kata dalam kromo inggilnya adalah tinjo. 

Pemilihan kata tuwi yang merupakan bentuk kromo madya ini menunjukkan posisi kesetaraan antar sesama manusia tanpa meninggalkan nilai-nilai kesopanan atau unggah-ungguh. Kalau saja ketuwinan diganti menjadi ketinjoan dalam kromo inggil, patut diduga akan menciptakan ruang primordialisme dalam masyarakat, atau adanya kelompok sosial tertentu yang merasa lebih unggul dibanding yang lain sehingga rentan memunculkan sikap pemujaan tirani satu arah. 

Kalau saja masyarakat Kaliwungu jaman dulu memilih kata ketilikan dalam strata bahasa ngoko ketimbang ketuwinan, rasa-rasanya akan menciptakan ruang hambar dan kehilangan ruh estetikanya, selain juga dapat menciptakan relasi yang kurang sopan. Pemilihan kata tuwi mencitrakan pesan dan refleksi sosiokultural masyarakat Kaliwungu yang sangat mementingkan nilai-nilai kesopanan dan keluhuran budi pekerti tanpa kehilangan spirit egalitarianismenya.

Maka kata ketuwinandengan demikian adalah representasi dari spirit kesetaraan yang dinjunjung tinggi oleh masyarakat Kaliwungu di mana setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menghormati dan dihormati, menghargai dan dihargai, memberi dan diberi, mengunjungi dan dikunjungi, kesemuanya pada akhirnya berujung pada sikap saling mengasihi betapapun berbeda strata sosialnya, tingkat ekonominya, dan apapun pekerjaan dan profesinya. 

Itulah mengapa dalam momen ketuwinan di Kaliwungu, setiap orang memiliki kewajiban kebudayaan yang sama untuk menyediakan jajanan, makanan atau minuman di rumah mereka untuk kemudian ditukar dengan jajanan orang lain. Tak ada bedanya antara rumah masyarakat dan santri dengan ndalem poro Kiai dan Ulama, sama-sama berkewajiban menyediakan makanan dalam jumlah yang tak sedikit, sama-sama dituntut untuk memberi dan sama-sama memiliki hak untuk diberi. Setiap pintu rumah mesti dibuka selebar-lebarnya bagi para tamu yang berkunjung dan menukar jajanan, tak boleh ada pretensi untuk menutup diri dan berkilah dari nikmatnya bertegur sapa dan berbagi kebahagiaan dengan tetangga dan saudara.

Di ujung hari menjelang tradisi ketuwinan berakhir, adalah pemandangan yang lazim ketika rumah-rumah masyarakat Kaliwungu dipenuhi berbagai jajanan yang beragam, berwarna-warni, indah dan menggiurkan. Rumah yang semula menyediakan satu jenis makanan, kini bagaikan pusat jajanan yang komplit dan serba ada. Sebuah potret kebudayaan yang estetis namun demikian kaya akan nilai-nilai filosofis. 

Tradisi ketuwinan ialah sebuah konstruksi budaya dan agama yang indah dan mempesona, tradisi ini merupakan bentuk kegembiraan yang luar biasa dalam merayakan tanggal kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kecintaan masyarakat Kaliwungu terhadap Sang Rasulullah, dipotret sedemikian rupa dalam nuansa kebudayaan yang dibangun dalam rangka menghayati dan mengikuti jejak serta sikap mulia dan penuh cinta dari Sang Nabi.

Tradisi ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Sang Nabi tak cukup sekadar di bibir saja, tak cukup jika hanya dilisankan semata, tapi mesti diabadikan dalam tradisi dan kebudayaan yang memberi ruang bagi para masyarakat untuk mempraktikkan secara langsung keluhuran budi pekerti Rasulullah, yakni sosok yang penuh cinta kasih terhadap sesama manusia, sosok yang mulia namun membumi dengan siapa saja, sosok yang mewakili citra Islam yang sesungguhnya: rahmatan lil alamin, cahaya cinta di muka bumi.

Akhirnya, semoga tradisi ketuwinan tetap langgeng dan tak kehilangan ruhnya sebagai perhelatan suci masyarakat Kaliwungu dalam menghayati nilai-nilai keimanan dan keislaman yang setia senafas dengan spirit kemanusiaan. Wallahua’lam bisshowab.

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Nurul Hidayah Kaliwungu Kendal, Jawa Tengah.