Opini

Sontog Akherat Santri Sunda

Rab, 28 November 2018 | 20:00 WIB

Oleh Warsa Suwarsa

Ghirah jika diterjemahkan secara lugas berarti gairah atau semangat keislaman umat Islam di Indonesia merupakan salah satu keinginan umat agar ajaran ini benar-benar tegak berdiri dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagai akibat karena selama tiga puluh tahun lebih, selama masa Orde Baru berkuasa tidak sedikit kebijakan pemerintah waktu itu yang dinilai oleh beberapa kelompok kurang memihak atau adaptif kepada golongan legalis, kelompok yang sampai saat ini masih memiliki keyakinan hukum Tuhan harus benar-benar dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia.

Tetapi, jika diteliti secara runut dan obyektif, pemerintah Orde Baru sebenarnya hendak menempatkan Islam dan ajarannya pada hal yang seharusnya, pada kedudukan yang semestinya di mana Islam dan ajarannya berhabitat. Hal-hal yang bersentuhan dengan umat tetap dijaga dan dilestarikan, umat masih diberi keleluasaan dan kebebasan menyelenggarakan pengajian mingguan (di masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan minggonan), khitanan massal diselenggarakan setiap tahun, tahlilan, yasinan, dan upacara-upacara perpaduan antara tradisi kebudayaan dengan Islam tetap dipertahankan. Artinya, ikhtiar umat Islam dalam menjaga dan melestarikan ajaran di bidang sosial tidak dihalang-halangi oleh pemerintah selama tidak menyentuh ranah politik.

Di tahun 1980-an, keluar satu gerakan, menurut beberapa anggotanya gerakan tersebut dilakukan untuk mengembalikan kembali umat kepada ghirah Islam di Indonesia. Munculnya gerakan ini merupakan berawal dari wacana atau narasi semakin melemahnya kekuatan dan peran umat Islam dalam ekonomi dan politik. Bagi mereka kondisi umat Islam di Indonesia seperti ini diartikan sangat bertolak belakang dengan prediksi profetik Rasulullah; tentang kebangkitan umat Islam di abad 15 Hijriyah. Narasi ini dikemukakan oleh mereka, kelompok legalis  yang masih tetap memperjuangkan sisa-sisa pemikiran (diskursus) tentang dasar negara.

Harus diakui secara jujur, gerakan kaum legalis ini memasuki kampus-kampus hingga ke sekolah-sekolah lanjutan asas. Wacana yang diembuskan oleh mereka antara lain: Islam Kaffah, Islam Kontemporer, Islam Paripurna, dan sebutan-sebutan lainnya yang tampak lebih progresif misalnya: hukum jahiliyyah, thogut, hingga kata-kata kafir disematkan kepada kata yang telah digagas oleh wali songo yaitu rakyat. Sebetulnya, apa yang telah mereka wacanakan bahkan didakwahkan dengan penuh semangat sama sekali tidak pernah menyentuh dan menyoal Islam secara kaffah karena mereka hanya menyentuh secuil saja dari ajaran Islam, mereka hanya memokuskan dakwah dan ajakan di ranah politik. Buktinya, ketika gerakan yang mereka gagas memiliki satu tujuan: menegakkan negara agama di Indonesia. Dan ketika tujuan mereka sampai saat ini tidak tercapai pun tokoh Islam, ajarannya, dan umatnya tetap eksis sampai sekarang. Pondok pesantren tidak kehilangan para santrinya, bahkan umat Islam di Indonesia tetap dapat melaksanakan ibadah harian dan perayaan keislaman lainnya dengan tenang.

Tahun 1990-an hingga pasca-Reformasi  merupakan milieu panggung pementasan kaum legalis di Indonesia. Ormas dan gerakan seperti Neo NII, HT, dan Kelompok Tarbiyah (IM) telah memiliki kader-kader inti sampai ke pelosok. Kaderisasi dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau melalui acara-acara keislaman. Aktivitas mereka di masyarakat sangat halus, masjid-masjid dikuasai dengan bungkus kajian Islam, Remaja Masjid, Rohis, hingga Pesantren Kilat. Kader inti diciptakan, selanjutnya diberi tugas oleh para murabbi untuk mengajak dan menyebarluaskan kembali isu-isu yang mereka bahas dalam halaqah-halaqah.

Dalam kegiatan seperti di atas inilah isu strategis tentang penegakan Islam dalam hukum positif diindoktrinisiasi kepada generasi muda. Strategi jitu mereka adalah dengan membenturkan antara peradaban Barat sebagai musuh dengan Islam. Padahal mayoritas umat saat itu kebergantungan kepada produk Barat sangat tinggi. Diakui atau tidak, ajaran Islam yang mereka dakwahkan untuk mencocok generasi muda dilakukan dengan penuh kepura-puraan.

Sementara itu, di kelompok tradisional, di tahun 90-an, pondok pesantren di perkampungan mulai menggelora kembali. Di kampung penulis, salah seorang kiai muda alumni Pondok Pesantren Al-Masthuriyah dan Pondok Pesantren Panjalu mengajak untuk mendidik dan membina para generasi muda. Shalawatan, manaqib, Barjanzi, dan membaca puji-pujian dikumandangkan kembali secara intensif. Para remaja diberikan kesempatan mengaji dan mengkaji kitab-kitab kuning. Ajaran Islam yang memiliki sifat tradisional, namun dapat menjawab tantangan zaman ini merupakan salah satu bentuk counter terhadap semakin maraknya gerakan kaum legalis seperti NII di kampung penulis.

Santri kalong, sebutan untuk anak-anak kampung yang mengikuti pengajian mulai meramaikan dan memenuhi pengajian remaja setelah maghrib dan subuh. Kitab-kitab klasik dikaji kembali. Tradisi pesantren yang pernah dialami oleh penulis diperkenalkan kembali kepada anak-anak, remaja, dan masyarakat secara nyata. Satu strategi yang sangat berbeda secara diametral dengan apa yang dilakukan oleh kaum legalis. Cara dan metode ajakan yang sering dilakukan oleh kaum legalis yaitu melakukan dakwah personal atau berkumpul di rumah-rumah. Mereka sering menisbatkan strategi seperti itu pernah dilakukan oleh Rasulullah pada periode Makiyyah.

Kiai muda itu sering mawanti-wanti kepada anak-anak dan remana, bahwa Islam bukan sekadar persoalan formal saja, Islam justru lebih menuntun dan menuntut umat agar memerhatikan pertanda atau ayat yang nyata ada di alam ini (kauniyah). Secara sederhana dapat disimpulkan, Islam merupakan ajaran yang tidak menyusahkan umatnya. Kita tidak perlu dipusingkan hingga stres oleh persoalan-persoalan yang sebetulnya hanya mengejar tujuan duniawi, politik dan kekuasaan. Jika kita percaya sepenuhnya kepada Allah, Islam dan ajarannya tetap akan tegak jika dipraktikkan sesuai dengan hati nurani manusia.

Para santri juga dibiasakan memakai celana pendek, panjangnya beberapa senti di bawah lutut. Di kalangan pondok pesantren Sunda, model celana ini disebut “sontog akherat”. Setelah menunaikan shalat ashar, para santri berduyun-duyun ke sawah untuk menangkap belut (ngurek). Sebulan sekali para santri itu diajak mengunjungi tempat-tempat yang benar-benar terkoneksi dengan jiwa mereka, memiliki keindahan alam.

Hemat kami waktu itu, Islam dan ajarannya akan mewujud menjadi hal yang menyenangkan ketika dipraktikkan dalam keseharian dengan mengakomodasi unsur-unsur yang ada di masyarakat (budaya dan tradisi). Persoalan-persoalan politik umat sebetulnya dapat diselesaikan oleh umat sendiri. Bagaimana caranya? Harus sesuai dengan pakem kehidupan di mana kita tinggal. Bukankah para pendahulu negeri dan para founding father telah memberikan contoh kepada kita?


Penulis adalah guru MTs Riyadlul Jannah, Cikundul, Sukabumi, Jawa Barat