Opini

Serba-serbi dari NU Karbitan

NU Online  ·  Rabu, 17 Januari 2018 | 01:00 WIB

Oleh Saiful Hakam

Di kantor tua, sebuah kantor jawatan penyelidikan ilmu-ilmu budaya dan sosial, saya sering berbincang ringan dengan rekan sejawat tentang nasib sebagai santri, berwajah santri, dan bertabiat santri: tukang doa

Dua kata di atas sering keluar dari mulut saya. Rekan saya itu tidak pernah menukas sama sekali.  Dilema. Saya bilang ke kawan saya bahwa saya ini bukan santri sejati. Mengapa?

Karena, saya tidak pernah mondok sama sekali. Tidak bisa baca kitab kuning sama sekali. Bahkan, lebih parah lagi, tidak bisa bahasa Arab klasik sama sekali. Jadi, saya tidak absah disebut santri apalagi disebut santri NU. Sangat tidak absah. 

Namun, kawan saya itu memberikan petunjuk yang bikin senang. “Meskipun, Sampean tidak pernah mondok, tidak bisa baca kitab kuning, dan tidak bisa bahasa Arab klasik tapi wajah Sampean mutlak wajah santri,” begitu katanya. 

Saya tidak tahu maksud dari frasa “wajah santri”. Tapi itu tidak bisa digugat. Kalimat ini bikin saya merenung. 

Dan, memang, saya lahir dan tumbuh di lingkungan NU. Bisa dibilang NU 26 karat. Hampir semua kerabat dari kakek, paman, bibi, sampai bapak pernah jadi pengurus NU. Kakek saya dari pihak bapak konon katanya pernah jadi pengurus syuriah NU di sebuah kota kecil berawalan huruf B di Jawa Timur, tempat jenazah Bung Karno dikebumikan. 

Bapak saya sendiri, kalau dirunut riwayat hidup karirnya betul-betul dimulai dari NU dan jati dirinya dibentuk oleh NU. Mula-mula jadi anggota IPNU. Dan konon, karena tidak ada dokumen foto dan dokumen kertas tertulis, pernah jadi ketua IPNU Kota B. 

Di waktu senggang bapak saya itu, dengan bangga bercerita pengalaman pertama naik mobil sedan. Yakni, dijemput panitia Kongres IPNU di Stasiun Pekalongan. Di sana di dalam konggres itulah ia berkenalan dengan KH Hasyim Muzadi. Sama-sama jadi kader IPNU pertama. Yang aneh, ia selalu ingat mobil sedan dan kursi empuk yang dikaguminya itu. 

Lalu, ia dengan penuh semangat menyebut nama-nama Mahbub Djunaidi dan Saiffuddin Zuhri.  Dan, ia punya obsesi yang penuh menyala-nyala pada jas dan dasi. Koleksinya banyak. Ketika saya tanyakan mengapa suka banget pada jas, jawabnya mencontoh KH Abdul Wahid Hasyim, bapaknya Gus Dur itu. 

Karirnya bertahap di organisasi NU. Dari IPNU, ia pindah ke Pengurus Ansor. Lalu dari Ansor, naik menjadi pengurus cabang NU dengan jabatan wakil sekretaris. Dan, ketika jadi pengurus cabang ini ia juga merangkap menjadi pengurus Partai Persatuan Pembangunan. 

Entah berapa latihan kader yang ia ikuti. Ia sering menjadi utusan Kota B dalam memenuhi undangan pengurus wilayah NU Jawa Timur di Surabaya. Karena begitu seringnya, sampai-sampai ada kelakar dari rekannya untuk bapak saya, “Jangan-jangan rapat Muslimat akan Sampean wakili?”

Susah memang memikirkan jati diri NU saya. Kebanyakan yang muncul adalah cerita-cerita dan pengalaman bapak mengurus NU. Atau, kesibukan bibi, adik bungsu bapak, yang hampir seluruh hidupnya dicurahkan sebagai pengurus Muslimat NU bagian konsumsi. Bibi saya ini meskipun sakit akan lekas sehat ketika mendapat undangan kegiatan-kegiatan Muslimat NU. Dan, kami, anak-anak, hafal betul bahwa ia selalu mengurus urusan konsumsi dalam pengajian-pengajian Muslimat NU. Urusan masak memasak, mulai dari menanak nasi, lauk pauk, dan minuman. 

Kabar terakhir, ia merelakan kediamannya dijadikan sebagai pilot project PAUD muslimat NU kota B. Ini tentu saja membuat sibuk saudara sepupu saya karena harus menambah kamar dan merehab rumah. Tapi, mereka semua riang gembira. 

Di tengah-tengah kebimbangan itu, saya kemudian sadar bahwa NU bukan sekedar identitas. Dilema ini muncul karena saya hijrah ke ibu kota, jadi kaum muhajirin di ibu kota, dan berhadapan dengan berbagai macam aroma kehidupan. Terutama, aroma kehidupan Islam yang penuh aneka warna. 

Bapak saya menjalankan tradisi-tradisi NU dengan tekun. Terutama amalan wiridan dan sowan kiai. Semua anaknya ketika menghadapi ritus peralihan dari ulangan umum, dua istilah istilah zaman dulu: Ebtanas daUMPTN, dan menikah pasti diajak ikut berdoa dan diajak ikut sowan kiai memohon bantuan doa. 

Sembahyang lima waktu dijalankan secara berjamaah. Dan, tentu saja dengan wiridan yang panjang. Wiridan yang bagi kami sangat panjang, hampir setengah jam, adalah wiridan sesudah sembahyang subuh. 

Kami diajak bersama-sama membaca asmaul husna dan selawat nabi. Ketika kami akan pergi naik kereta api, naik kendaraan umum, dan naik sepeda motor, kami dinasihati untuk membaca selawat nabi dengan serius. Mengheningkan cipta untuk berselawat. 

Artinya, rasa dan nuansa saya menjadi santri terus terang tidak seketika. Ada tahapan dan ada proses. Di sekolah dasar, saya paling cemas, takut, dan grogi ketika disuruh hafalan surat-surat pendek pada pelajaran agama Islam. Takutnya bukan main. Dan, hafalan itu membutuhkan kerja keras. Saya masih ingat betapa beratnya menghafal surat Al-Balad. Kalau tidak hafal, dan kurang hafalan. Dihukum. Berdiri depan kelas. Menanggung malu dua beban. 

Anak pengurus NU kok tidak hafal surat pendek. Lalu, menjelang kelas enam SD, saya berjuang keras menghafal surat adl-Dluha dan asy-Syams. Itu pun penuh perjuangan karena baru bisa hafal penuh pada kelas dua SMA. 

Sementara itu surat Yasin, belajar menghafal sejak kelas enam SD dan baru hafal lulus program S-2 di universitas di Kabupaten Sleman. Yang masih belum hafal, adalah bacaan dan amalan tahlil, sampai hari ini masih berjuang, berjuang dalam proses membaca, dan menghafal. Memang betul-betul NU karbitan. 

Lalu, suatu ketika, saya ingin mengamalkan amalan surat al-Waqiah. Ini ikut-ikut teman yang lama mondok di Kediri. Dan, alhamdulilah lumayan bisa lancar membaca, itu pun berkat bantuan huruf latin. 

Bikin sedih memang. Cerita semacam ini sebenarnya tidak layak diceritakan apalagi dituliskan mengingat bagi santri, ritus peralihan dan ritus-ritus semacam ini bukan sesuatu dan hal yang keren apalagi mengesankan. Kaum santri sejati punya tradisi intelektual yang kuat terutama dalam bahasa Arab klasik, syair, kitab-kitab klasik, dan debat dalam majelis bahstul masail. Kalau santri sejati bercakap-cakap bahasa Arab, wah, seketika saya akan minder setengah mati. 

Meski demikian, semangat untuk berproses menjadi NU tidak berhenti. Rekan saya, seorang intelektual dari Tasikmalaya dan fasih ilmu sejarah dan ilmu filsafat, dan dari dulu berjibaku membeli buku dengan siap hidup bersahaja, memperkenalkan saya pada buku-buku tentang NU. Terutama terbitan LKIS. LKiS adalah sebuah lembaga intelektual dan penerbitan yang masyhur di Jogja. Perkenalan buku ini seperti sebuah kegembiraan yang tidak dapat dilukiskan apalagi dipahat dalam prasasti batu. 

Nuansa NU saya, dibentuk mula-mula oleh kisah-kisah dari bapak, ibu, paman, yang kadang hilir mudik sibuk jadi panitia rapat-rapat NU,pidato-pidato kiai, dan juga dari buku-buku tua milik ibu. Ibu punya buku biografi KH Abdul Wahid Hasyim. Saya membacanya sewaktu duduk di bangku SMU. Dan, buku itu rusak dan hilang kerna saya tak pandai merawatnya. Buku yang tebal, tua, berdebu. Saya suka melihat foto Gus Dur muda sedang duduk di kursi sambil baca buku. 

Lalu, majalah Aulaterbitan PWNU Jawa Timur. Majalah Aula betul-betul sebuah hiburan yang bikin senang dan senantiasa ditunggu-tunggu kedatangannya. Parahnya, Bapak sering lupa bayar tagihan. Dari majalah aula, kesadaran tentang NU tumbuh. Ke-NU-an menjadi hadir dan bernyawa. 

Ah, tiba-tiba saya ingat catatan harian ibu. Adik bungsu hampir saja diberi nama muktamar, karena lahir pada tahun 1984 dan bersamaan dengan penyelenggaraan Muktamar NU 1984. Bapak tentu saja hadir, tapi lekas pulang ke Kota B kerena dimaki-maki rekan-rekannya disuruh pulang menemani istri dan menunggu lahir anak. 

Dan, di atas itu semua, penanda yang tidak bisa dilupakan adalah potret di rumah kakek, yang dipajang dengan sangat berwibawa, di balai rumah, Potret KH Muhammad Hasyim Asyari. Lama terpasang di balai rumah Kakek Buyut. Setiap tamu dan orang yang datang ke rumah kakek, pasti, akan disambut oleh potret Hadratussyekh. 


Penulis adalah Peneliti LIPI