Opini

Seputar Bid'ah dan Inovasi Beragama

Ahad, 22 Mei 2016 | 01:00 WIB

Oleh Munandar Harits Wicaksono

Islam sebagai agama, dianggap penting karena memiliki dua rujukan yang dengan keduanya manusia diatur sedemikian rupa. Al-Qur’an, sebagai rujukan yang pertama merupakan sebutan untuk lafadh yang Tuhan turunkan kepada Nabi Muhammad di mana bacaannya mengandung sisi i'jaz (melemahkan; mukjizat) bagi penentangnya dan bernilai ibadah dengan membacanya. Sementara hadits, sebagai rujukan kedua adalah ucapan Nabi Muhammad pasca ia diangkat Tuhan menjadi utusannya.

Keduanya merupakan wasilah Tuhan memperkenalkan diri-Nya, mengingatkan manusia mengenai hakikat hidup, dan tak luput mengatur segala aspek mulai dari skala mayor dan urgen seperti perkara ketuhanan, konsep interaksi dengan sesama manusia, hingga perkara kecil nan sepele seperti halnya berpakaian dan lain-lain.

Di masa awal pembentukan syariat, keberadaan Nabi Muhammad sebagai penyambung lidah Tuhan sangat dibutuhkan. Hadits sebagai ucapannya punya kedudukan tidak hanya sebagai penjelas, tapi dalam berbagai masalah menjadi pijakan hukum atas hukum yang belum tersebut dalam Al-Qur’an. Maka ketika muncul suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, mudah saja orang di masa itu akan segera bertanya kepada beliau. Kemudian dalam beberapa kasus Tuhan akan mengklarifikasi maupun memperkuat jawaban Rasulullah tersebut.

Meskipun demikian, Islam di masa itu tidak serta-merta menetapkan hukum sepihak semacam diktator. Dalam berbagai kesempatan Nabi Muhammad mengatakan, "Permudahlah, jangan mempersulit!" Bahkan ucapan itu diulang-ulang sampai tiga kali, menunjukkan betapa kuatnya anjuran tersebut.

Hal ini jelas kontradiktif dengan apa yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini. Kita dihadapkan pada fenomena merebaknya pemikiran-pemikiran kaku yang sangat enggan berinovasi dalam beragama. Menggunakan dalih hadits "Setiap perbuatan bid'ah atau yang tidak dicontohkan Muhammad adalah sesat" mereka seenaknya sendiri menyalah-nyalahkan golongan lain.

Padahal, hadits yang diucapkan ini sejatinya masih sangat global. Dalam redaksi bahasa Arab lafadh kullun yang memiliki makna setiap (seperti dalam hadits di atas) memiliki 2 padanan makna. Terkadang lafadh kullun ini digunakan untuk makna jam' , yang berarti ia tidak menerima pengecualian. Kadang pula ia bermakna jami' dimana ia menerima pengecualian.

Berkaca pada hal tersebut, para cendikiawan muslim moderat memberikan definisi yang relevan dengan makna bid'ah yang dikehendaki Nabi. Salah satu definisi yang adil menyebutkan bid'ah adalah sebuah ajaran baru yang dibuat-buat untuk menandingi syariat.

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah semisal acara 40 hari memperingati kematian yang di dalamnya terdapat kandungan silaturahim, membaca Al-Qur’an bersama dan segala perbuatan baik lainnya dibuat untuk menandingi syariat? Tentu tidak.

Seperti inilah yang kami maksudkan sebagai fenomena pemikiran kaku dan enggan berinovasi di atas. Hal ini diperparah dengan masyarakat kita yang cenderung hanya melihat cover dan mengabaikan substansi sebenarnya. Padahal, sejatinya sudah menjadi maklum bersama, mengingat Wali Songo di masa penyebaran Islam di Tanah Jawa juga membungkus ajaran-ajarannya dengan budaya.

Satu yang menarik terkait inovasi dalam beragama adalah sebuah riwayat hadits yang disebutkan dalam kumpulan hadits Imam Nawawi dalam kitab Riyadlush Shalihin. Disebutkan suatu ketika seorang Baduwi melakukan tawaf mengelilingi ka'bah menyebutkan kata-kata yâ karîm (yang tentu tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad) berulang kali. Heran akan hal tersebut, Nabi Muhammad menghampirinya bersamaan dengan turunnya Jibril. Lalu terjadilah percakapan yang sejatinya melibatkan 4 subjek. Tuhan, Jibril, Muhammad dan orang Baduwi tadi.

Singkat cerita, Tuhan melalui Jibril, disampaikan oleh Muhammad, bertanya pada Baduwi tersebut, "Apakah kau kira dengan mengucapkan yâ karîm (wahai Yang Maha Mulia), Tuhan akan mengampuni dosa dan memperingan timbangan burukmu?" Secara spontan baduwi itu menjawab "Kalau Tuhan berani menimbang amalanku, akan kutimbang balik Ia!" Mendengar jawaban tersebut Nabi Muhammad kaget bukan kepalang. Lantas ia bertanya, "Bagaimana bisa?" Baduwi segera menjawab "kalau Tuhan menimbang amalan burukku, akan kutimbang pula rahmat dan kasih sayangNya. Saya yakin rahmat-Nya jauh lebih besar daripada dosa saya." Lalu apa kata Tuhan? Tuhan justru berkata "Muhammad, sampaikan pada Baduwi itu, aku tidak akan menimbang-nimbang amal buruknya."

Menarik. Ada dua poin utama dalam hadits tersebut yang bisa kita ambil kesimpulan. Yang pertama adalah bagaimana baduwi tersebut melakukan sebuah perbuatan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhanmad. Ia berinovasi dengan melakukan perbuatan yang membuat Rasulullah terheran-heran, namun secara substansial ia menyetujuinya.

Poin kedua adalah terkait pola pikir inovatif Baduwi tersebut. Bagaimana ia dengan cerdas justru hendak menggugat Tuhan. Pola pikir seperti inilah yang mati suri dalam masyarakat kita dewasa ini. Kita terlampau asyik dalam pola pikir jumud yang tidak kunjung usai. Padahal, justru dengan pola pikir inovatif dan sedikit “nakal” seperti inilah Islam bisa maju dan berkembang. Selama, ia tidak keluar dari batas koridor kewajaran.[]

Penulis adalah Alumnus MAPK Surakarta tahun 2013/2014. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Al Ahqoff, Tarim, Hadramaut, Yaman. Menyukai puisi, sastra dan sedikit kopi. Bisa dihubungi lewat akun twiter @munandarharits1