Opini

Sepak Bola Palestina: Identitas, Perlawanan, dan Kebanggaan

Sen, 15 Januari 2024 | 09:00 WIB

Sepak Bola Palestina: Identitas, Perlawanan, dan Kebanggaan

Skuad Timnas Palestina berselebrasi setelah menjuarai AFC Challenge Cup 2014 (Foto: AFC)

Penyerangan brutal Israel terhadap Palestina yang sudah berlangsung sejak 1948 kembali memanas. Dengan dalih ingin membasmi Hammas yang telah berani menerobos barikade Israel pada 7 Oktober 2023, Israel membombardir Gaza secara membabibuta. Menurut Al-Jazeera, per 10 Januari 2024, hampir 24.000 warga sipil tewas dalam rangkaian serangan udara yang menyasar permukiman, daerah pengungsian, bahkan rumah sakit dan lembaga pendidikan.


Di tengah keprihatinan dan tragedi perang yang hingga kini masih merenggut nyawa warga sipil, masih ada secerca kebahagiaan dan kebanggaan warga Palestina karena tim nasional sepak bolanya berlaga di ajang bergengsi Piala Asia 2023 yang digelar 12 Januari - 10 Februari 2024.


Penjajahan berumur 75 tahun tidak membuat sepak bola Palestina mati. Timnas Palestina tercatat berada di ranking 97 FIFA dengan prestasi tertinggi menjuarai AFC Challenge Cup 2014. Mereka juga lolos putaran final AFC Asian Cup 2023 atau Piala Asia 2023 setelah sukses menyapu bersih tiga laga kualifikasi putaran ketiga di Grup B tanpa kebobolan satu gol pun.


Pasukan Singa Kan’an tergabung bersama Iran, Uni Emirat Arab, dan Hongkong di Grup C. Anak asuh Makram Daboub melakoni laga pertama melawan salah satu tim favorit juara Iran 14 Januari 2024. Palestina harus mengakui keunggulan Iran 4-1.


 

Skuad C.D. Palestino berfoto menggunakan keffiyeh sebagai tanda solidaritas sesaat sebelum bertanding. (Foto: Akun X CD Palestino)

Wadah inklusif kesadaran nasional

Secara historis, sepak bola sudah dimainkan di Palestina setidaknya sejak seabad yang lampau, jauh sebelum kedatangan Inggris maupun Yahudi-Zionis. Issam Khalidi dalam artikelnya bertajuk Sports and Aspiration: Football in Palestine 1900-1948, berpendapat bahwa sepak bola diperkirakan masuk ke Palestina lewat sekolah-sekolah misionaris pada akhir Abad ke-19 hingga awal Abad ke-20.


Pasca-Perang Dunia I, Inggris datang membawa nafsu untuk berkuasa, termasuk dalam bidang olahraga. Mereka mendirikan Jerusalem Sport Clubs (JSC) pada 1920 yang memfasilitasi aktivitas beberapa cabang olahraga, termasuk sepakbola. JSC mengajak seluruh warga Tanah Mandat untuk bergabung dan berjanji tidak akan ada diskriminasi.


Warga lokal Palestina sendiri banyak mendirikan klub-klub olahraga, setidaknya ada tiga corak klub-klub Palestina: Kristen Ortodoks, Islam, dan Sekular. Berkat Konferensi Kristen Ortodoks 1923, banyak klub-klub olahraga yang terafiliasi pada gereja, termasuk sepakbola, berdiri di kota-kota Palestina dan Yordania. Konferensi ini diadakan dalam rangka membahas struktur kepengurusan banyak gereja lokal yang dikuasai orang-orang asing.


Muslim Palestina mendirikan The Islamic Sports Club Jaffa (pada 1926) dan Islamic Club (pada 1920-an). Klub-klub bercorak sekular juga terbentuk, di antaranya Arab Sports Club (ASC) Yerusalem (berdiri pada 1928), al-Nijma al-Bayda’, dan Sport Club Gaza.


Klub Palestina banyak yang berbasis agama, namun mereka tidak mewajibkan pemain-pemainnya menganut agama tertentu. Banyak dijumpai pemain muslim yang bermain untuk klub yang terafiliasi pada Kristen, begitupun sebaliknya.


 

Skuad kesebelasan Sekolah St. George berfoto bersama pada 1923 di Yerusalem. (Foto: Arsip Sekolah St. George Yerusalem) 

Zionis mencuri start

Tak hanya Inggris, Yahudi-Zionis juga mendirikan klub-klub olahraga yang dinamai Maccabi, Beitar, atau Bar-Kohba. Tak sampai di situ, Maccabi bahkan berusaha mendapat pengakuan internasional untuk klub-klubnya dengan mendaftarkan diri sebagai anggota di federasi atletik antarbangsa pada 1924, dan menyusul FIFA pada 1925. Usaha ini gagal karena Maccabi dianggap tidak merepresentasikan Palestina yang dihuni oleh bangsa Arab, Inggris, dan Yahudi.


Maccabi tidak patah arang. Mereka mendirikan federasi sepak bola dengan nama yang lebih inklusif, yakni Asosiasi Sepakbola Palestina (PFA) pada 1928 dan membuahkan pengakuan FIFA. Struktur kepengurusan dan Timnas PFA dipenuhi orang Yahudi. PFA juga tidak mengakomodasi kepentingan klub-klub Arab-Palestina, bahkan tidak mengizinkan mereka bermain dengan klub-klub Arab dari negara-negara tetangga.


Membentuk federasi tandingan

Klub-Klub Arab-Palestina tak tinggal diam, setelah melayangkan protes pada FIFA namun hasilnya nihil, mereka mendirikan Arab Palestinian Sport Federation (APSF) pada 1931 kendati tak mendapat pengakuan FIFA. Selain membentuk timnasnya sendiri, ASPF juga menggulirkan kompetisi domestik yang nantinya menjadi kawah candradimuka nasionalisme Arab-Palestina.


Pada 1936-1939, perlawanan bangsa Palestina terhadap Inggris berkobar. Dalam periode ini, pengurus, pemain, dan staf tim-tim ASPF ditangkap, bahkan beberapa markasnya diduduki, salah satunya Klub Kristen Ortodoks yang dijadikan markas Pemerintah Mandat Inggris. Tim-tim di bawah naungan ASPF dibekukan karena dicurigai Inggris sebagai pusat mobilisasi pemuda Arab-Palestina untuk melawan pemerintahan mandat.


ASPF dibubarkan dan tim-timnya dipaksa melebur ke PFA. Semangat persepakbolaan Palestina tidak semudah itu dipadamkan. Pada 1944, Palestine Sports Federation (PSF) didirikan oleh 35 perwakilan eks-anggota ASPF di Jaffa. Pada 1947, PSF sudah memiliki 60 anggota yang tersebar di enam region. ASPF juga melakukan korespondensi dengan federasi Mesir dan Suriha. Ketiganya bahu-membahu dalam memperjuangkan eksistensi mereka yang terancam oleh entitas asing.


Bangkit dari puing-puing Nakba

Menurut Ibrahim Rabaia dalam Beyond the Game: The Politics of Palestinian Football, Pasca-Nakba (1948), semua infrastruktur hancur, begitupun infrastruktur olahraga. Gaza, yang mana masih mempunyai infrastruktur olahraga, menjadi pusat perkembangan olahraga, termasuk sepakbola. Para atlet sadar bahwa olahraga memperkuat identitas nasional.


Kendati hidup dalam bayang-bayang aneksasi, Palestina aktif mengikuti empat edisi event olahraga muliticabang regionsl, Pan-Arab Games (1953-1965) dengan harapan mendapat pengakuan internasional. Pada 1962, Palestina mendaftarkan federasi olahraganya, termasuk PSF, kepada Komite Olimpiade, namun hasilnya nihil. Hal ini didasari status Palestina yang belum diakui PBB.


Palestina tak patah arang. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendirikan Dewan Pemberdayaan Pemuda (SCYW) yang berperan dalam melawan aneksasi lewat olahraga. Pada 1980-an, SCYW membentuk liga domestik (rabitat al-andiyyah) yang terbagi menjadi dua region, Gaza dan Tepi-Barat. Pada periode 1971-1977, SCYW mengirimkan delegasi ke 65 perlombaan tingkat regional dalam rangka mendapatkan pengakuan internasional.


SCYW juga merawat nasionalisme diaspora Palestina di pusat pengungsian di Lebanon, Suriah, Irak, Maroko, dll. dengan mendirikan klub dan kompetisi di sana. Gaung nama Palestina di sepakbola internasional juga terbantu oleh kiprah klub bentukan diaspora Palestina di Chili, C.D. Palestino. Tak hanya bersifat defensif, SCYW juga bersikap ofensif dengan menjadi aktor di dibalik diusirnya Israel dari Konfedarasi Sepakbola Asia (AFC) pada 1976.


Pasca-Perjanjian Oslo (1993), sepakbola Palestina mendapat kejelasan. Berawal dari pertandingan melawan tim pensiunan Prancis di Yerikho, FPA yang kini benar-benar menjadi representasi Palestina berangsur-angsur mendapat pengakuan FIFA, sebagai anggota sementara pada 1995 dan anggota penuh pada 1998.


Proses rumit menuju lapangan

Diwawancari The Guardian, Noureddine Ould Ali mengatakan ada tantangan lebih dalam menangani Timnas Palestina. Manajer asal Aljazair menjelaskan bahwa Timnas Palestina bisa saja tidak bisa memainkan pemainnya bukan karena cedera atau larangan tanding. Halangan bisa datang dari larangan keluar atau bahkan karena pemain tersebut meregang nyawa akibat kekejaman tentara Zionis.


Pada 2009, larangan keluar negeri menimpa 18 pemain saat Timnas Palestina akan melakoni laga Kualifikasi Piala Dunia melawan Singapura. Alhasil Abdelatif Bahdari dkk didiskualifikasi. Lebih kejam daripada itu, pada tahun yang sama, tiga pemain Timnas Palestina, Ayman Alkurd, Shadi Sbakhe, dan Wajeh Moshtahe harus kehilangan nyawa karena sebuah serangan Israel di Gaza.


Rifqi Iman Salafi, penikmat sepak bola, alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat