Opini

Sektor UKM dan Sertifikasi Halal

NU Online  ·  Ahad, 13 April 2014 | 09:03 WIB

Oleh Achmad Mukafi Niam


Presiden Kennedy pada 1962 memperkenalkan hak-hak dasar konsumen, yang kemudian menjadi acuan perlindungan dasar konsumen di seluruh dunia. Terdapat empat hak dasar konsumen, yaitu (1), hak untuk mendapatkan produk yang aman; (2) hak untuk mendapatkan informasi tentang produk yang digunakan; (3) hak untuk memilih barang dengan jelas dan teliti; dan (4) hak untuk didengar sebagai konsumen.
<>
Konsumen Muslim, dengan keyakinan agamanya, menginginkan adanya jaminan kehalalan produk yang dikonsumsinya. Sayangnya, sampai saat ini belum ada aturan kuat yang memberi perlindungan. RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang telah dibahas sejak tahun 2007 tetapi sampai menjelang akhir periode DPR 2009-2014 ini belum juga selesai. Jika tidak ada titik temu, dikhawatirkan pembahasannya harus diulang dari awal pada DPR periode 2014-2019. Beberapa isu krusial yang belum mendapat titik temu diantaranya, apakah jaminan produk halal ini sifatnya wajib (obligatory) atau sukarela (voluntary), siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal dan bagaimana bentuk kelembagaannya.

Bahkan jika ditarik lebih ke hulu, ada yang berpendapat yang lebih penting sertifikasi haram karena Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim sehingga diasumsikan produk yang dikonsumsinya sudah halal. Ini dianggap lebih efisien karena jika ada sertifikasi halal, maka produk yang tidak tersertifikasi diragukan kehalalannya. Tetapi dengan perspektif konsumen adalah raja dan yang diminta adalah sertifikasi halal, maka akhirnya sertifikat halal yang dipakai. Produk Indonesia dengan orientasi ekspor juga memerlukan sertifikat halal untuk menembus pasar Muslim dunia yang berjumlah 1.6 milyar jiwa.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengawali pembentukan sertifikasi halal dengan pendirian Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik MUI (LP POM MUI) sejak tahun 1989 yang diawali oleh keresahan konsumen atas isu-isu tidak jelas yang beredar luas bahwa produk tertentu mengandung lemak babi dari hasil penelitian Dr Ir Tri Susanto di bulletin Canopy edisi Januari 1988 yang kemudian beredar foto copy berbagai produk yang sebelumnya tidak tercantum dalam bulletin tersebut. Hingga kini, MUI telah menjadi jembatan antara produsen dan konsumen akan kepastian produk halal yang diakui oleh masyarakat. Survey Jurnal LP POM MUI tahun 2005 menunjukkan 77% responden peduli kehalalan makanan bahkan untuk produk impor, mencapai 90%. Hal yang sama dilakukan oleh lembaga riset Frontier yang menemukan bahwa 82.6% konsumen Muslim menghendaki dicantumkannya label halal.  

Sayangnya, pemberian sertifikasi halal di Indonesia masih terbilang rendah. Menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya, baru sekitar 20 persen produk di Indonesia yang memiliki sertifikasi halal, jauh dibandingkan dengan Malaysia yang pemenuhan sertifikasi halalnya sudah di atas 90%.

Dengan kapasitas yang sekarang dimiliki oleh MUI, timbul pertanyaan, sampai kapan konsumen Muslim mendapat kepastian bahwa produk yang mereka konsumsi sudah memenuhi standar halal. Ada sekitar 56 juta UMKM di Indonesia dan 70 persennya bergerak di sektor pangan. Mampukan MUI mengelola itu semua untuk memberikan edukasi, sertifikasi sampai pengawasan. Jika dipaksakan, tentu hanya perusahaan-perusahaan besar yang mampu membiayai sertifikasi.

Disisi lain, Kementarian Agama dalam draf RUU JPH juga berkeinginan mengelola sertifikasi halal ini dengan alasan, pemberian sertifikasi merupakan domain pemerintah sehingga, Kemenag merasa paling berhak untuk mengeluarkan sertifikasi.

Nahdlatul Ulama melihat rendahnya pencapaian sertifikasi halal, terutama di tingkat industri UKM menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Baik produsen maupun konsumen menginginkan adanya jaminan halal, sementara MUI sulit untuk menjangkau sampai di tingkat bawah. Inilah yang mendorong industri UKM yang dimiliki warga NU meminta ormas keagamaan ini membuat lembaga sertifikasi halal sendiri.

Nahdlatul Ulama mengusulkan pola UU Zakat diadopsi dalam UU JPH yang memisahkan antara regulator yang dikelola oleh pemerintah sementara operator oleh Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ). Terbukti, sistem ini bisa berjalan baik karena semakin banyak pihak yang terlibat dalam mensosialisasikan pentingnya mengeluarkan zakat. Dalam banyak hal, lembaga zakat yang dikelola oleh oleh swasta lebih baik kinerjanya dibandingkan badan amil zakat plat merah yang kebanyakan hanya memotong gaji PNS, tanpa upaya mengembangkan penghimpunan dana dari masyarakat.

Hal yang sama terjadi pada jaminan produk halal. MUI masih terkesan pasif dalam mengelola sertifikasi halal, Toh dengan sedemikian banyak permintaan, kapasitas untuk memenuhi permintaan tersebut sulit dipenuhi sehingga prosedur sertifikasi ini cenderung lama, rumit dan berbiaya tinggi.

Dengan statusnya yang monopoli ini, produsen tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan sertifikasi halal, dan akhirnya konsumen yang harus menanggung beban. Sudah menjadi sifat dalam bisnis bahwa pihak yang memiliki kekuatan monopoli akan cenderung sewenang-wenang, sementara jika ada kompetisi yang sehat, semua pihak akan diuntungkan. 

Produsen mencari sertifikat halal untuk menghindari kemungkinan terjadinya isu tidak berdasar yang tak bertanggung jawab yang seringkali dilempar pihak tertentu bahwa sebuah produk A mengandung babi, dan publik pun ramai-ramai mempertanyakan kebenaran isu tersebut.

Jika kesadaran konsumen ini sudah sangat kuat, tanpa ketentuan obligatory dalam UU, produsen akan sangat berkepentingan memperoleh sertifikasi halal karena ini menyangkut hidup mati bisnisnya. Inilah sesungguhnya dakwah Islam yang substansial tanpa perlu terjebak pada formalisme berlebihan.

Ormas Islam sesungguhnya memiliki potensi besar terlibat dalam sosialisasi dan sertifikasi produk halal ini. NU memiliki jaringan sampai di tingkat desa di seluruh Indonesia dan didukung oleh lembaga pendidikan pesantren. Mereka tak perlu diragukan dalam pemahamannya tentang keagamaan, termasuk bagaimana mengetahui standar halal sebuah produk. Ormas Islam juga tidak kekurangan tenaga ahli dalam bidang pangan, bio-kimia atau keahlian teknis lain yang diperlukan dalam menunjang sertifikasi halal. NU dan Muhammadiyah memiliki banyak universitas yang mampu mendukung pengelolaan sertifikasi halal.

Yang diperlukan dari banyaknya potensi umat Islam yang belum tersentuh ini adalah pengelolaannya. Jangan sampai sedemikian banyak organisasi atau lembaga yang memberikan sertifikat halal tanpa standardisasi yang jelas sehingga masyarakat dibingungkan, sertifikat siapa yang berhak diikuti. Semua lembaga yang akan mengeluarkan sertifikasi halal, nantinya harus mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sampai saat ini pun, MUI juga belum terakreditasi di KAN yang akreditasinya diakui secara internasional. Ini menjadi salah satu penyebab kenapa sertifikasi halal MUI belum diakui di seluruh dunia, karena sertifikasi halal kini juga menjadi salah satu senjata untuk mencegah masuknya barang dari negara asing demi melindungi pasar dalam negeri. 

Merujuk berbagai sertifikasi yang diperuntukkan bagi sektor industri, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), International Organization for Standardization (ISO) atau standardisasi lainnya, tak ada satu pun yang pemberian sertifikasinya dimonopoli oleh satu lembaga tertentu dan konsumen dapat memilih lembaga sertifikasi terbaik. Dalam pemberian sertifikasi halal, hal yang sama tentu berlaku, yang penting adalah adanya panduan dan standar bersama dalam pengelolaan sertifikasi tersebut. wallahu a’lam