Opini

Sejarah Peradaban Buku Umat Islam dan Kemerosotannya

Rab, 31 Mei 2017 | 05:00 WIB

Sejarah Peradaban Buku Umat Islam dan Kemerosotannya

Ilustrasi (pinterest.com)

Oleh Muhammad Iqbal

Selain sebagai pusat pendidikan, masjid berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku. Buku-buku itu didapat dari hadiah-hadiah yang diberikan kepada pengurus masjid atau hasil pencarian dari pelbagai sumber. Karenanya, masjid-masjid pada periode Dinasti Abbasiyah memiliki khazanah buku-buku keagamaan yang sangat kaya. Salah seorang donatur buku-buku itu adalah seorang sejarawan mahsyur bernama al-Khathib al-Baghdadi (1002-1071), yang menyerahkan buku-bukunya sebagai wakaf untuk umat Muslim. Hanya saja buku-buku itu disimpan di rumah seorang kawannya. Perpustakaan-perpustakaan lainnya dibangun oleh kalangan bangsawan atau orang kaya sebagai lembaga-lembaga kajian yang terbuka untuk umum, menyimpan sejumlah koleksi buku logika, filsafat, astronomi, dan bidang ilmu lainnya.

Perpustakaan juga menjadi pusat pendidikan kaum Muslim. Para sarjana Muslim dari berbagai jenis tradisi keilmuan: agama (naqliyyah), sastra, filsafat, matematika, fisika, kedokteran, botani, hingga tasawuf, masing-masing menyumbangkan kekayaan khazanah ilmu pengetahuan Islam yang patut dibanggakan. Kekayaan khazanah intelektual Islam klasik itu berasal dari dua sumber. Pertama, bersumber dari terjemahan-terjemahan manuskrip kuno dari berbagai peradaban pra-Islam beserta komentar-komentar yang diberikan oleh ilmuwan Muslim. Kedua, bersumber dari karya-karya ilmiah. Umumnya tokoh-tokoh sarjana Muslim itu melahirkan anak-anak rohaninya, berupa ratusan karya ilmiah pelbagai jenis imu pengetahuan selama hidupnya, seakan-akan mereka hidup hanya untuk membaca, meneliti dan menulis belaka. Ibn Hazm misalnya, diriwayatkan menulis empat ratus buku yang totalnya mencapai 80.000 halaman.

Pada pertengahan abad kesepuluh, kota Mosul memiliki perpustakaan yang dibangun oleh salah seorang penduduknya. Di dalam perpustakaan itu, para pelajar yang mengunjunginya bisa mendapatkan kertas dan alat tulis lainnya secara gratis. Perpustakan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, ‘Adud al Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staf administratur yang berjaga secara bergiliran.

Pada abad yang sama, kota Bashrah memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan, di kota Rayy terdapat sebuah tempat yang dijuluki “Rumah Buku”. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah-naskah itu kemudian didaftar dalam sepuluh jilid katalog.

Perpustakaan-perpustakaan itu digunakan sebagai tempat-tempat pertemuan untuk diskusi dan debat ilmiah. Ulama Yaqut al-Hamawi, misalnya, menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk mengumpulkan bahan-bahan yang ia perlukan untuk menulis kamus geografinya. Bahan-bahan itu ia dapatkan dari berbagai perpustakaan di Marwa dan Kharizm. Ia pun harus menghentikan upayanya itu pada 1220, ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan mulai menyerang negeri-negeri muslim dan membumihanguskan seluruh perpustakaan itu.

Pada abad ke-13, perpustakaan Fathimiyyah di Kairo memiliki koleksi sejumlah dua juta judul buku. Perpustakaan di Tripoli juga tak kalah banyaknya. Secara umum, pada abad ke-13 itu telah tersedia sekitar lima juta judul buku; suatu jumlah buku yang amat banyak untuk zaman ketika itu. Ketika Dinasti Fathimiyyah mengangkat citra Mesir sebagai pusat peradaban Islam terkemuka sejagat, ada seorang penguasa keturunan Umayyah di Kordoba, al-Hakam, yang pada akhir abad ke-10 mendirikan sebuah perpustakaan besar. Dia mengumpulkan para ilmuwan dan pemimpin masjid, dan masjid besar di Kordoba dibuat menjadi pusat studi. Perpustakaan yang berada di dalam istana Kordoba itu diurus oleh petugas perpustakaan; juga mempekerjakan para penyalin dan penjilid buku. Al-Hakam mempunyai agen-agen di setiap provinsi yang menyediakan buku untuknya dengan cara membeli dan menyalin. Perpustakaan itu terbuka untuk publik.

Sayangnya, ketika Khalifah al-Manshur terpengaruh oleh para ulama ortodoks yang kurang atau tidak berkenan kepada buku-buku ilmu, seperti karya filsafat, astronomi, dan ilmu-ilmu umum lainnya yang dianggap sekuler (sains awa’il), banyak buku ilmu-ilmu tersebut yang dibakar. Pembakaran atau permusuhan buku-buku itu merupakan awal malapetaka etos keilmuan Islam yang sampai detik ini kita rasakan akibatnya, yakni sedemikian rendahnya semangat keilmuan di negeri-negeri kaum Muslim.

Selain perpustakaan, lukisan perihal budaya baca pada periode ini bisa juga dilihat dari banyaknya toko buku. Toko-toko itu, yang berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al-Ya’qubi meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891), ibu kota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko itu, sebagaimana toko-toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, tidak lebih besar dari ruangan samping masjid, namun ada juga toko-toko yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktifitas para ahli dan penyalin naskah.

Para penjual buku itu sendiri banyak yang berprofesi sebagai penulis kaligrafi, penyalin dan ahli sastra yang menjadikan toko mereka tak hanya sebagai tempat jualan, tetapi juga sebagai pusat kegiatan ilmiah. Mereka mendapatkan kedudukan terhormat di tengah masyarakat. Yaqut memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku. Ibn al-Nadim (w. 995) yang juga ditahbiskan sebagai al-Warraq (“lembar kertas”), menjalani kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrist yang diakui oleh kalangan cendekiawan dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik. Dalam buku itu, kita bisa membaca tentang sebuah pusat pemeliharaan naskah Iraqi yang memiliki rumah besar menyimpan sejumlah naskah termasuk yang ditulis di atas lembaran-lembaran kain perca, papirus Mesir, kertas Cina, dan gulungan kulit. Pada jilid masing-masing naskah itu tercantum nama penulisnya, dan di pinggir-pinggir halaman (marjin) terdapat pelbagai catatan yang ditulis oleh para pelajar mulai lima atau enam generasi sebelumnya.

Hingga awal abad ke-3 Hijriah, bahan yang umum digunakan untuk menulis ialah kain perca dan papirus. Dokumen-dokumen resmi yang ditulis di atas kain perca dan disimpan ketika terjadi perang sipil antara al-Amin dan al-Ma’mun, dicuci bersih kemudian dijual lagi. Kertas Cina mulai masuk ke Irak pada abad ketiga Hijriah. Segera setelah itu, industri kertas tumbuh menjamur. Industri itu pertama kali muncul di Samarkand. Beberapa orang tawanan Cina pada 751 memperkenalkan seni pembuatan kertas dari flax, linen atau kain rami. Kata kuno Arab untuk kertas, kaghad, kemungkinan berasal dari bahasa Cina, dan kemudian diserap ke dalam bahasa Arab.

Dari Samarkand, industri itu menyebar ke Irak. Pada masa pemerintahan al-Fadhl ibn Yahya al-Barmaki, yang pernah menjadi Gubernur Khurasan pada 794, pabrik kertas pertama berdiri di Baghdad. Saudaranya, Ja’far, menteri pada Khalifah Harun menggantikan penggunaan kain perca dengan kertas untuk menuliskan dokumen-dokumen resmi negara. Kota-kota Muslim yang lain membangun pabrik-pabrik kertas mengikuti rancangan pabrik yang berada di Samarkand. Sebuah pabrik dibangun di Tihamah untuk membuat kertas dari serat tumbuhan. Pada masa al-Maqdisi, kertas produksi Samarkand masih dianggap sebagai kertas yang terbaik kualitasnya. Namun pada abad berikutnya, abad kesebelas, kertas-kertas dengan kualitas yang sangat bagus juga diproduksi di kota-kota Suriah dan di Tripoli.

Dari daratan Asia Tengah, industri itu mulai menyebar hingga ke Delta Mesir sejak akhir abad kesembilan. Beberapa kota di sana dalam jangka waktu yang cukup lama selalu mengekspor papirus dari negara-negara berbahasa Yunani untuk media menulis. Produk ekspor itu mereka sebut qarathis (dari bahasa Yunani: chartes). Pada akhir abad ke-10, kertas telah menggantikan perca dan papirus di seluruh wilayah umat Muslim.

Arkian, jalan kaum Muslim (era kekinian) menuju pengetahuan terintangi oleh dogma, sikap apologetis, kemalasan, dan kebodohan yang sebenarnya tidaklah rumit. Namun kebanyakan, jalan kaum Muslim itu terintangi oleh sikap acuh tak acuh yang nyaris sempurna terhadap nilai akal dan peran yang dimainkannya dalam mencari ilmu pengetahuan. Kaum Muslim dewasa ini lebih suka membangun gedung-gedung ketimbang pikiran. Padahal, di zaman sekarang ini, siapa saja yang menguasai arus informasi, berarti menguasai wacana.

Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta