Opini

Sedikit-sedikit, Bid'ah..!

NU Online  Ā·  Jumat, 27 September 2013 | 01:01 WIB

Rasulullah SAW bersabda, ā€œUcapan terbaik adalah Kitab Allah. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR An-Nasa’i)<>


Pembahasan mengenai bid’ah mestinya sudah kita selesaikan sejak berabad-abad yang lalu hingga kita (umat Islam) lebih konsentrasi pada isu-isu kekinian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Tapi apa mau dikata, isu bidah masih sensitif di tengah-tengah umat Islam saat ini.

Soal bid’ah masih ada relevansinya, terutama karena geliat gerakan Islam trans-nasional (atau Islam puritan) yang cenderung "mem-bid’ah-kan" perilaku ritual Islam lokal yang banyak dilakukan oleh kaum muslim Indonesia.

Kata ā€œbidahā€ selama ini dipahami secara beragam dan hampir tidak ada kesepakatan definisi tentangnya. Bidah menjadi semacam ā€œbola liarā€ yang bisa ditendang oleh siapa saja dan menabrak siapa saja. Sialnya, dalam hal ini semangat melontarkan tuduhan bidah didorong oleh makna ā€œsesatā€ yang terkandung di dalamnya. Bidah adalah kesesatan dan kesesatan tempatnya di neraka, begitulah makna hadis di atas.

Inilah ā€œspirit jahat ā€œ yang ditangkap oleh sebagian muslim kemudian digunakan menuduh muslim yang lain. Saya katakan sebagai ā€œspirit jahatā€ karena tuduhan bidah sama artinya dengan mengharapkan orang lain masuk neraka, berdasarkan hadis tadi.

Banyak ulama yang telah mendefinisikan ā€œbidahā€, namun sekian definisi yang ada terkesan rumit dan ideologis. Kita perlu memahami kata ā€œbidahā€ secara lebih definitif-konvensional hingga tidak mudah digunakan sebagai ā€œsenjataā€ untuk menyerang. Saya mengajak orang untuk melek sejarah hingga dapat memilih definisi yang tidak menyesatkan. Jika tidak ada keberanian seperti ini, selamanya kita akan terjerumus dalam ā€œjurang perebutan klaim keselamatan eskatologisā€ yang belum pasti kita dapatkan.

ā€œBidahā€ bagi saya adalah taqyĆ®du mĆ¢ athlaqahu Allahu wa rasĆ»luh wa ithlĆ¢qu mĆ¢ qayyadahu Allahu wa rasĆ»luh (membatasi sesuatu yang dibebaskan oleh Allah dan Rasul dan membebaskan sesuatu yang dibatasi oleh Allah dan Rasul). Sesuatu yang di batasi oleh Allah dan Rasul jumlahnya sangat sedikit. Contoh paling tegas adalah ibadah. Ibadah adalah kegiatan yang ditentukan (dibatasi) oleh Allah dan Rasul. Tidak seorang pun boleh mengadakan sebentuk ibadah yang petunjuk hukumnya tidak ada secara tegas. Karena, pada dasarnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan kewajibannya (al-ashlu fĆ® al-ā€˜ibĆ¢dah harĆ¢m hattĆ¢ yadulla al-dalĆ®l ā€˜alĆ¢ al-wujĆ»b).

Shalat wajib adalah lima waktu. Ini ketentuan dari Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh orang menentukan kewajiban shalat di luar shalat yang lima itu. Puasa wajib adalah di bulan Ramadhan. Ini ketentuan Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh seorang pun menentukan kewajiban puasa di luar bulan Ramadhan. Dan contoh-contoh lain yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada kebebasan yang Allah berikan.

Termasuk dalam kebebesan adalah tradisi. Dalam hal ini tradisi yang dilakukan oleh muslim lokal, seperti perayaan maulid nabi, tahlilan, tujuh bulanan (untuk mendoakan kehamilan), dan lain-lain merupakan tradisi yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam agama. Agama tidak mewajibkan, tidak menyunahkan, dan tidak mengharamkan. Jika sesuatu tidak memiliki pijakan hukum secara pasti, maka sesuatu itu masuk dalam kategori kegiatan yang berstatus hukum mubâh (boleh): boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.

Tidak ada hukum yang mengikatnya hingga harus dilakukan atau ditinggalkan. Dalam hal ini saya setuju dengan prinsip landasan hukum yang menjadi pegangan Imam Syafii, al-ashlu fĆ® al-asyâ’ al-ibĆ¢hah hattĆ¢ yadulla al-dalĆ®l ā€˜alĆ¢ al-tahrĆ®m (segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Tidak ada istilah ā€œbidah hasanah (baik)ā€ selama kata bidah yang dimaksud adalah bidah secara terminologis (istilĆ¢hi). Semua bidah, secara terminologis, adalah kesesatan. Inilah bidah yang dimaksud oleh hadis yang terkenal itu. Kategorisasi hasanah (baik) dan sayyi’ah/madzmĆ»mah (buruk) lebih tepat diajektifkan pada kata sunnah. Jadi, ada sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Ini sesuai dengan hadis, Man sanna sunnatan hasanatan ... wa man sanna sunnatan sayyi’atan ... (HR. Muslim dan yang lain)

Kata bidah tidak bisa dan tidak boleh dituduhkan secara serampangan kepada orang lain yang melakukan ritual tertentu yang tidak ada petunjuk hukumnya dalam agama seperti yang telah saya sebutkan di atas. Lontaran bidah menunjukkan kerendahan pemahaman seseorang akan asal-usul hukum agama.

Selain itu ā€œsikap angkuhā€ ini sangat membahayakan karena berpotensi menjadi sumber permusuhan antar umat. Siapa pun harus belajar akan kekayaan tradisi keilmuan Islam hingga tidak mudah menuduh orang lain sebagai pelaku bidah dan mengklaim dirinya sebagai pengemban sunnah yang paling sah: kesombongan yang tak terperikan!

Ā 

Taufik Damas
Alumni Universitas Al-Azhar Kairo, mantan Pengurus PCINU Mesir