Oleh Muhammad Ishom
Salah satu hal penting dalam berpuasa adalah menahan diri dari keinginan-keinginan duniawi yang dalam kondisi normal (tidak berpuasa) sebenarnya diperbolehkan, seperti makan dan minum. Diharapkan, jika terhadap hal yang sebenarnya diperbolehkan saja umat Islam mampu melakukannya, maka apalagi terhadap hal yang memang dilarang. Hikmah dari latihan ini adalah terbentuknya sikap hidup sederhana yang tercermin salah satunya dari menahan hawa nafsu untuk mengonsumsi makanan yang “wah”.
Dengan kata lain puasa itu sejatinya merupakan tirakat. Namun bagaimana tirakat ini akan terlaksana dengan baik jika sekarang kita terbiasa dengan ritual bukber (buka bersama) di tempat-tempat tertentu yang jauh dari kesederhanaan.
Hampir setiap hari kita saksikan, atau bahkan kita terlibat di dalamnya, yakni bukber yang diadakan oleh pihak-pihak tertentu, seperti institusi-institusi dan individu-individu yang cukup memiliki sumber-sumber kuangan. Mereka mengundang para relasi dan sebagian warga dan tokoh masyarakat untuk buka puasa bersama. Tempat bukber beragam. Ada yang di kantor-kantor mereka sendiri, rumah-rumah pribadi, dan ada pula yang di rumah-rumah makan hingga hotel berbintang.
Menu makanan yang dihidangkan dalam bukber itu cenderung “wah” sesuai dengan tempatnya, dalam arti tidak saja enak rasanya tetapi juga cenderung mahal harganya layaknya menu di sebuah pesta. Tuan rumah tentu punya alasan tersendiri untuk menghidangkan menu makanan yang “wah”seperti itu. Setidaknya demi menjaga citra lembaga atau gengsi pribadi.
Alasan lain yang paling kuat mendapatkan pembenaran adalah demi memuliakan para tamu (ikramud dhuyuf). Dalam Islam memang dianjurkan untuk memuliakan tamu sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).
Persoalannya adalah apakah memang menghidangkan menu makanan yang “:wah” merupakan bagian tak terpisahkan dari cara memuliakan tamu sementara pada saat yang sama kita dihadapkan pada ibadah puasa yang justru melatih kita agar mampu menahan hawa nafsu sehingga terbiasa hidup dalam kesederhanaan?
Pertanyaan itulah yang hendaknya membuka kesadaran kita bahwa bukber-bukber yang diadakan di tempat-tempat seperti kantor-kantor yang megah, rumah-rumah pribadi yang mewah, rumah makan bergengsi dan hotel berbintang, ternyata cukup dilematis dilihat dari tujuan berpuasa yang hendak membentuk sikap hidup sederhana. Kesederdahaan yang dimaksud salah satunya adalah tidak “bermewah-mewahan” dalam menu buka puasa.
Berangkat dari dilema itu, kita patut menengok kembali apa yang sebenarnya sudah mapan dalam tradisi kita yakni bukber di masjid-masjid (baca serambi masjid). Selama ini mungkin kita kurang mengapresiasi bukber-bukber di rumah Allah ini karena menganggap kurang bergengsi sebagaimana di tempat-tempat prestisius di atas.
Jika tolok ukurnya duniawi, tentu benar bukber di masjid-masjid kurang bergengsi karena menu berbuka sering kali hanya berupa sebungkus nasi oseng dan segelas teh manis yang identik dengan hidangan untuk orang-orang kecil. Demikian pula para penceramah kultum menjelang berbuka di masjid ini biasanya juga bukan para pembicara terkenal yang memiliki jam terbang tinggi.
Tetapi berbicara tentang puasa, kita sesungguhnya lebih banyak berurusan dengan masalah ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’la sehingga cara pandang ukhrawi harus lebih ditekankan. Menu makanan yang sederhana sebagaimana telah disinggung di atas harus dipahami bahwa itu telah sesuai dengan moralitas luhur Islam. Demikian pula penceramah kultum yang bukan orang terkenal bisa jadi memiliki keikhlasan yang tinggi karena umumnya mereka tidak mendapat bisyarah.
Oleh karena itu kita perlu mengapresiasi tinggi-tinggi bahwa bukber di masjid adalah yang terbaik sebab menu berbuka yang dihidangkan sejalan dengan tujuan dari puasa itu sendiri, yakni sederhana. Selain itu, para peserta bukber di tempat ini akan mendapatkan pahala yang lebih banyak karena setelah berbuka mereka segera berjamaah shalat Maghrib di tempat yang paling di cintai Allah karena masjid adalah rumah-Nya.
Penulis, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.