Oleh: Fuad Al-Athor
Film pendek berjudul “Kau Adalah Aku yang Lain” menurut penulis, memang layak menjadi pemenang Police Movie Festival IV 2017. Pesan-pesan yang disampaikan melalui film ini sangat tajam dan mengena.
Pesan-pesan ini, pertama, baik yang secara langsung bisa disimak dari dialog antara karakter Pak polisi dan karakter bapak gondrong yang bertugas menjaga jalan untuk pelaksanaan pengajian yang memakai sarana publik sebagai tempat mereka mengaji. Perdebatan antara polisi yang lengkap dengan dalil tentang toleransi begitu cadas menepis argumentasi lawan bicaranya yang bersikukuh bahwa dia sedang membela Islam, agamanya.
Tampak, dalam pemahaman penjaga jalan itu ketinggian Islam melebihi dan tiada mungkin disejajarkan dengan, selembar rasa welas-asih untuk memberi jalan demi menolong nonmuslim yang sedang meregang nyawa dalam mobil ambulans itu. Kalau begitu, betapa egois-nya beragama itu.
Bisa dibayangkan kebaikan macam apa bisa diharapkan tumbuh dalam jiwa pemeluk agama yang sejak semula menolak berseminya welas-asih dalam dirinya. Kalau kemarahan sudah menjadi ekspresi umum dari seorang muslim, itu menunjukkan kekanak-kanakkannya dalam penghayatan keberagamaannya. Sialnya, ini zamannya. Di mana kemarahan, makian dan umpatan umum dimuntahkan, bahkan pada sosok ulama sekalipun! Naudzubillahi min dzalik..
Kenyataan ini menjawil pemikiran kita untuk bertanya, jangan-jangan agama sedang menuju kegagalan dalam misinya untuk membentuk pribadi-pribadi berakhlak mulia dan membangun peradaban yang damai. Jarak antara perintah-perintah berbuat kebaikan dan kenyataan masih banyaknya kerusakan yang diperbuat manusia membuat dahi kita berkerut. Apanya yang salah? Agamanya? Bukankah ia lengkap, tinggi (luhur) dan tak ada yang lebih tinggi (luhur) lagi? Bukankah ia ajaran suci yang mengandung pedoman, prinsip-prinsip dan petunjuk yang bahkan teknis untuk berbuat kebaikan? Ia ajaran paripurna. Kalau begitu apanya yang korsleting? Mau tak mau, diakui atau tidak, manusianyalah yang tak sanggup memanggul ajaran suci tersebut. Kitalah yang terlalu lemah untuk mengemban ajaran mulia yang dibacakan Jibril (as) tersebut.
Sayangnya lagi, introspeksi bukanlah hal yang digandrungi di zaman sosmed ini. Pengakuan akan kelemahan diri untuk mengemban misi agung islam jarang kita dengar, sebaliknya pembenaran-pembenaran atas perbuatan merusak dan penghakiman serta pembunuhan karakter orang-orang mulia justru marak di hadapan kita. Cermin atas betapa kerasnya kita punya hati. Seolah-olah tak mempan lagi dilunakkan dengan nasihat-nasihat yang berserakan dalam teks-teks keagamaan. Apalagi menarik pembelajaran dari peristiwa-peristiwa alam, tak kuasa. Inilah jarak yang begitu jauh terbentang antara realitas kesanggupan kita berbuat baik yang lunglai dengan idealisasi yang semestinya sebagaimana disuratkan dalam ajaran agama kita.
Seperti yang dapat dimengerti dari pesan kedua dari film pendek ini. Mencermati pengadeganan pengajian yang diberikan oleh sang kiai tak ada yang salah. Bahkan secara visual kita diajak untuk menangkap pesan bahwa ini adalah pengajiannya kelompok sufi. Dari pakaian dan materi yang disampaikan. Semua merujuk pada sufisme. Sebuah kelompok yang lazim mengedepankan kelembutan dan kasih sayang dalam praktek keagamaannya. Sampai pada frase, “Kau adalah aku yang lain”, yang disampaikan oleh sang kiai yang menjadi judul dari film pendek ini, pun, merupakan kata-kata yang mengesankan kedalaman sufisme. Universal, sangat rahmatan lil alamin dan tentu saja benar dan bahkan sholeh secara sosial.
Namun apa yang terjadi, di tempat dan waktu bersamaan di mana kebenaran dan keluhuran dibacakan, toh masih ada kemungkinan ajaran dipraktekkan secara keliru. Sang kiai boleh saja mengumandangkan nilai-nilai luhur, tapi apa boleh buat, sebagian hadirin di majelisnya justru sedang bersikap bertolak belakang dengan arahannya. Lagi, ada jarak yang begitu jauh dalam idealisasi keluhuran-keluhuran ajaran dengan pelaksanaannya di kehidupan. Inilah pesan-pesan yang mengandung kritik terhadap ekspresi keberagamaan kita. Tentu, hanya orang yang bijaksana yang mampu menerima kritik dan menjadikannya pelajaran berarti.
Kemampuan film berdurasi 7 menit 41 detik ini dalam menyampaikan secara elegan pesan yang begitu membuat kita malu atas kelemahan-kelemahan kita dihadapkan kebenaran ajaran-Nya inilah yang layak kita acungi jempol. Betapa kita terlalu kenyang dengan agama yang nasihat, namun sangat malas menjadikannya bingkai mujahadah untuk memperbaiki diri. Kata orang di status-status sosmed, ini peradaban yang dibangun oleh generasi kebanyakan micin (penyedap rasa) lembek. Maunya instan, langsung jadi. Padahal sejak awal kita dihidupkan untuk diuji, digembleng, diproses, dilatih agar menjadi lebih pantas untuk menyandang dan mengemban ajaran-ajarannya, al-Islam.
Parahnya lagi, alih-alih bersyukur dengan adanya film berkuatan kritik nan halus ini, justru banyak yang tersinggung dengan film pendek ini. Terlepas apakah sedang ada sekelompok orang yang melakukan framing menggunakan film pendek ini dengan memenggal-menggalnya lebih pendek lagi, yang jelas kemarahan ini, lagi-lagi, semakin memperterang ihwal masih rapuhnya kedewasaan keagamaan kita. Dan, super parahnya lagi, yang marah justru tokoh-tokoh penting bangsa ini! Ampuuuun......!!!!
Penulis bisa ditemui di Twitter @fuad_alathor atau di Facebook: Fuad Al Athor