Opini

Santri Milenial dan Jihad Kebangsaan

NU Online  ·  Jumat, 15 Desember 2017 | 16:00 WIB

Oleh Hilful Fudhul

Bagi sebagian orang adanya hari santri dinggap mengarah kepada kelompok masyarakat tertentu. Jika melihat latar belakang sejarah lahirnya hari santri, ialah bagian dari sejarah bangsa saat kembali terjadi pengalihan kekuasaan atas bangsa Indonesia oleh para penjajah. Tepat pada tanggal 22 Oktober 1945, para ulama dan santri berkumpul untuk membahas cara mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Maka muncullah fatwa yang disebut Resolusi Jihad yang pada akhirnya mampu menggerakkan rakyat untuk ikut berjuangan melawan penjajah.

Fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari itu mendapatkan respons dan sekaligus sebagai sebuah semangat yang mampu memberi kekuatan bagi pejuang untuk tetap mempertahankan kemerdekaan. Kewajiban melawan penjajah demi mempertahankan kemerdekaan adalah seruan dari fatwa penting Mbah Hasyim.

Tidak sia-sia, perlawanan rakyat atas penjajah pasca resolusi jihad disampaikan kepada rakyat. Perlawanan itu pun diluar dari prediksi penjajah, sebab terus dilakukan oleh rakyat saat itu sehingga dalam kurun waktu yang relative singkat dapat menguasai wilayah Surabaya.

Peristiwa dikeluarkannya Resolusi Jihad adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang tidak dapat dihapuskan begitu saja, mengingat kontribusi santri dalam mepertahankan kemerdekaan. Peristiwa ini menepis anggapan bahwa santri dan ulama tidak berjiwa nasionalis. Resolusi Jihad adalah bukti kecintaan santri pada bangsanya. 

Pada peristiwa ini pula terbukti bahwa santri sebagai kaum agamawan sekaligus berjiwa nasionalis. Bangsa Indonesia perlu bersyukur atas kehadiran santri dan ulama yang begitu cinta atas negerinya. Ini pula yang tidak dimiliki oleh bangsa lain yang miliki ulama seperti di beberapa negara di Timur Tengah. Tidak hadirnya ulama dan santri yang berjiwa nasionalis adalah masalah yang kian penting di negara-negara di Timur Tengah yang dapat memicu konflik disebabkan oleh ulama yang tidak memiliki rasa nasionalisme.

Keadaan di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara di Timur tengah, Indonesia memiliki ulama dan santri yang begitu cinta akan bangsanya, bahkan siap mengorbankan jiwa dan raganya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang sering disampaikan oleh Gus Yaqut sebagai pimpinan GP-Ansor Pusat dan juga KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum PBNU. Hal itu bukanlah hal yang baru lagi sebab kecintaan terhadap bangsa itu telah ditunjukan oleh salah satu tokoh nasional seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah sehingga antara Negara dan agama dalam prinsip tertentu merupakan satu kesatuan.

Santri, Pembangunan dan Hilangnya Moralitas
Kini perjuangan dalam jihad kebangsaan yaitu melawan penjajahan telah usai. Tapi apakah santri juga harus berhenti berjihad atas bangsanya? Tentu saja tidak. Sebagai bangsa yang memiliki cita-cita dan capaian masa depan sangat banyak persoalan yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia seperti menguatnya paham keagamaan yang meniadakan prinsip-prinsip toleransi serta kemanusiaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh paham Wahabi ini juga turut menyerang bangsa Indonesia. Perlu sebuah simpul kebangsaan yang dibalut oleh pemahaman Islam yang rahmatan lill’alamin yaitu agama sebagai sebuah seruan persatuan dan persaudaraan agar menjadi rahmat bagi alam semesta.

Masalah lain yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah penuntasan kemiskinan yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain masih sedikitnya peluang lapangan pekerjaan. Maka persoalan bangsa hari ini merupakan bagian dari persoalan ulama dan santri. Jika dahulu santri berjihad melawan penjajahan sebagai representasi penderitaan rakyat, hari ini jihad kebangsaan ialah ikut serta dalam pembangunan nasional seperti ikut serta membuka lapangan pekerjaan sebagai salah satu cara mengentaskan kemiskinan. 

Begitu pula dengan zaman yang kian modern ditandai dengan hadirnya teknologi canggih dalam mempermudah urusan umat manusia seperti alat komunikasi dan teknologi lainnya. Tuntutan agar masyarakat mampu mengikuti arus gerak zaman, diperlukan penguatan skill bagi masyarakat melalui instansi pendidikan dan pelatihan. Pelatihan skill perlu diajarkan juga di pondok pesantren dan struktur yang ada di beberapa ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Keikutsertaan santri dalam membangun bangsa melalui bidang ekonomi, politik, pendidikan dan kesehatan tanpa meninggalkan moral sebagai basis atau modal pembangunan nasional yang berkemajuan serta berperadaban tinggi.

Moral menjadi penting mengiringi pembangunan nasional saat ini, mengingat banyaknya persoalan bangsa yang tidak diiringi dengan moralitas sumber daya manusia. Maka muncul persoalan seperti pornografi, korupsi, narkoba, miras yang disebabkan oleh merosotnya moralitas manusia dan juga menyumbang merosotnya moralitas bangsa. Ini juga yang menyebabkan penggunaan media sosial atau teknologi yang tidak disertai dengan penanaman moral terhadap masyarakat. 

Muncul kemudian persoalan hoaks yang beberapa bulan terakhir menyulut konflik yang tidak saja terjadi di dunia maya, akan tetapi juga menyebabkan konflik di dunia nyata. Sudah saatnya santri hari ini berjihad kebangsaan dengan ikut membangun Indonesia di berbagai bidang yang diiringi dengan moralitas yang tinggi agar Indonesia menjadi bangsa yang maju. 

Jelas rasanya bahwa antisipasi atas persoalan bangsa hari ini ialah pembangunan nasional yang tidak diirngi dengan penguatan moralitas. Penting kiranya pemerintah membahas persoalan moralitas yang kian merosot. Di era kepemimpinan Jokowi-Kalla hari ini yang terus membangun infrastruktur serta percepatan pembangunan ekonomi sudah dibuktikan dengan hadirnya berbagai infrastruktur seperti pembangunan tol sampai kereta cepat sebagai upaya dalam memajukan bangsa. Selain itu, pemerintah mendorong berbagai cara untuk mempermudah investasi untuk membangun negeri, ini juga akan dapat mendorong pembangunan infrastruktur lainya.

Akan tetapi, muncul persoalan seperti korupsi yang merugikan keuangan negara yang kian hari meningkat yang menjerat tokoh nasional sampai daerah yang tersandung kasus korupsi dengan bentuk yang beragam dari suap menyuap sampai jual-beli jabatan. Tentu persoalan ini dapat merugikan keuangan negara. 

Maka pemerintah harus menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi. Selain menghadirkan hukum positif yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi, perlu pula mendorong paham keagamaan yang kuat agar setiap orang tidak saja menghadirkan wajah agama hanya di mimbar-mimbar masjid sampai gereja, akan tetapi juga menghadirkan agama di instansi seperti kantor pemerintah. Moral yang kuat ini akan menjadi rem bagi seseorang dalam melaksanakan tugas kenegaraan maupun di setiap pekerjaannya.

Ajaran Islam sendiri, sebagaimana kita ketahui bahwa narkoba, korupsi, maupun hoaks sangatlah dilarang. Islam tidak membenarkan perbuatan mengambil harta yang bukan menjadi miliknya. Islam melarang memfitnah antara satu dengan yang lainnya karena dapat menyulut permusuhan. Begitu juga dengan narkoba; anjuran untuk tidak merugikan diri dengan menggunakan narkoba yang dapat merusak kesehatan juga dilarang dalam Islam. 

Artinya persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa hari ini, juga merupakan persoalan umat Islam secara keseluruhan. Maka jihad dalam melawan persoalan bangsa serta turut pula membangun bangsa yang lebih makmur merupakan tugas mulia yang dapat pula dilakukan oleh ulama dan santri hari ini. 

Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam PCNU Kota Yogyakarta