Opini

Rindu Guru Bangsa dalam Demokrasi Negeri Para Penanding

Sen, 5 Desember 2016 | 10:31 WIB

Oleh Aris Adi Leksono

Penanding dalam definisi ini adalah seseorang atau sekelompok orang yang suka tidak terima atas kehebatan orang lain, kemudian memunculkan kehebatan yang lainnya dari dirinya atau kelompoknya. Dalam bahasa agama Islam, orang atau kelompok semacam ini termasuk dalam indikator iri, dengki, hasut, yang tidak suka melihat kemajuan orang atau kelompok lainnya. Orang atau atau kelompok semacam ini termasuk indikator memiliki penyakit hati, yang tidak sama sekali ucapan dan perbuatannya dilandasi atas kesucian jiwa. Bagi mereka yang abadi adalah merebut kemenangan untuk kepentingan sesaat pribadi atau kelompoknya.

Dalam konteks bernegara, pemerintah melalui mandat rakyat Indonesia telah memilih pola demokrasi dalam menjalankan aktivitas kenegaraan dan kebangsaan. Esensi demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara substansial demokrasi Indonesia adalah sejalan dengan nilai Pancasila. Sebagai bangsa dan negara yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kegotong-royongan, keberagaman, dan kebermusyawararatan.

Dalam konteks usul fiqih, makna demokrasi sejalan dengan beberapa kaidah dasar, diantaranya "kebijakan pemerintah harus mendahulukan kemaslahatan rakyatnya", "menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mendatangkan kebaikan", dan lain sebagainya. Intinya kemaslahatan bangsa oleh negara melalui pemerintah adalah mutlak, jika pilihannya adalah demokrasi.

Secara formal pilihan model demokrasi di Indonesia memang sudah berjalan. Dalam kelembagaan negara misalnya berdiri Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Penyiaran, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman, dan lainnya. Dalam kebijakan telah disahkan banyak peraturan pemerintah, peraturan presiden, undang-undang, serta produk hukum lainnya terkait pelaksanaan subtansi demokrasi. Misalnya undang-undang keterbukaan informasi publik, peraturan pemerintah tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, undang-undang tentang ormas dan kebebasan berserikat, dan masih banyak lainnya. 

Kesimpulan sementara bahwa pilihan menjadi negara demokrasi sangat tepat, jika kemaslahatan umat adalah tujuan akhirnya. Implementasi kebijakan berdemokrasi sesungguhnya juga sudah mendapatkan banyak sarana, baik secara kelembagaan, maupun aturan produk hukum negara. Nah, ironinya yang terjadi akhir-akhir ini bukan menjunjung tinggi nilai demokrasi, tapi menjunjung tinggi kepentingan dan kemauan pribadi dan kelompok masing-masing. Akibatnya menegasikan kepentingan dan kemauan rakyat Indonesia.

Realitanya, muncul koalisi partai yang hanya membuat parlemen sibuk bagi-bagi kekuasaan. Munculnya oposisi yang hanya sibuk mengkritisi kebijakan untuk pencitraan, serta berujung pada pergantian dan menjatuhkan. Setiap kali pemerintah sibuk konsolidasi untuk “menenangkan”. Sebagian jabatan negara, seperti menteri atau selevelnya untuk "diperdagangkan". Akhirnya bekerja untuk pencitraan dan kepuasaan ndoro atau majikan pemilik semu gudang dagangan. Realitasnya bukan demokrasi Pancasila yang dicita-citakan, tapi demokrasi "penanding" yang dijanjikan.

Lebih menyedihkan lagi, sudah satu bulan lebih, wajah demokrasi Indonesia dipenuhi dengan para "penanding" atas nama penista agama, ancaman disintegarasi bangsa, istigotsah dan doa bersama untuk keselamatan bangsa, nusantara satu, ancaman makar, dan lainnya. Ending-nya yang dipertontonkan adalah counter isu atau opini tertentu. Semua itu, membuat kehidupan berbangsa dan bernegara stagnan pada opini media dan media sosial. Kalau kondisinya demikian, bagaimana bicara substansi pembangunan, kerukunan, gotong royong, keberagaman dan keharmonisan. Ya Allah... 

Kalau benar ramalan zaman akhir, maka seakan membenarkan ungkapan "susah membedakan mana yang benar dan mana yang salah", sebagaimana dawuh Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah Al Utsmaniyah, Syekh Ahmad Asrori Al Ishaqi r.a. "Zaman akhir iku serba kewalik, sek becik dadi elek, seng elek dadi becik", yang baik seakan menjadi jelek, yang buruk menjadi baik". Sebagai rambu-rambu dalam bersikap, Imam Al-Ghazali juga berkata:

(ضَرَرُ الشَّرْعِ مِمَّنْ يَنْصُرُهُ لَا بِطَرِيْقِهِ أَكْـــثَرُ مِنْ ضَـرَرِهِ مِمَّنْ يَطْعَنُ فِيْـهِ (الغزالي

"Pembela Islam yang menyimpang lebih bahaya dari Penistanya." (Al-Ghazali)

Ketidakpastian sikap dan keputusan, bermula dari lambannya pemerintah menyikapi tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh salah seorang calon Gubernur DKI Jakarta, memicu gelombang protes atas nama bela agama 411, kemudian dengan cepat diselenggarkan istighotsah dan do'a bersama atas nama keselamatan bangsa dan negara. Tuntutan hukuman tuduhan penista agama masih dalam proses, muncul rencana aksi bela agama 212. 

Tidak mau ketinggalan, kelompok lain membuat kegiatan kirab budaya bangsa atas nama Bhinneka Tunggal Ika, muncul mimbar nusantara bersatu. Pasca aksi bela agama 212, bergegas muncuk aksi parade kebangsaan 412. Secara awan sudah dapat disimpulkan bahwa rangkaian aksi atas nama apapun di atas, seakan mengisyaratkan perang para "penanding" atas nama demokrasi, agama, dan kebangsaan. Sembari ngelus dodo, seakan berkata semakin benar ramalan zaman akhir, semakin benar apa kata guru bangsa, apakah sesungguhnya benar kata Imam Ghazali? Wallahu 'alam...

Ya, kondisi hari ini semakin membuat substansi demokrasi terkaburkan. Apalagi bayang-bayang "penanding" seakan tidak ada puasnya bertanding dan mengorbankan rakyat jelata. Tidak hanya karena berbeda agama, suku, atau ras, mereka “menandingkan”, tetapi persoalan kebangsaan juga ditandingkan. Sehingga yang terjadi sesama ormas saling menjatuhkan, dan lain sebagainya. Benar al-Qur'an mengatakan kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun (Setiap kelompok atau golongan akan membanggakan golongan masing-masing). Mau benar atau salah, sudah tidak peduli, yang penting "aku dan kelompokku" menang. Na'udzubillah...

Terlepas dari persoalan sektoral, dendam kesumat kelompok, persoalan penistaan, kelambanan pemerintah dalam mengambil keputusan, yang semuanya memicu tontonan "pertandingan" yang akan mereduksi kepentingan kebangsaan. Apakah sudah tidak ada lagi bangsawan, negarawan, tokoh bangsa atau guru bangsa yang ingat akan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia? Lupa, atau sengaja dilupakan..

Dalam kondisi seperti ini, seakan rindu hadirnya sosok guru bangsa, tokoh bangsa, bangsawan, atau negarawan yang mampu menginspirasi dan memberikan pencerahan dalam penentuan keputusan kebangsaan. Sosok yang mampu menjadi "wasit" yang baik untuk para penanding. Menyatukan lagi semangat kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hidup penuh harmoni dalam keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Adil dalam kesejahteraan, sejahtera dalam keadilan. Semoga!

Penulis adalah Sekjen Asosiasi Sekolah Tinggi Agama Islam Se-Indonesia, Ketua PW Persatuan Guru Nahdlatul Ulama DKI Jakarta.