Oleh Hamidulloh Ibda
Alhamdulillah, kita bisa berjumpa lagi dengan bulan agung (syahrun adzim mubarok). Bulan ini juga disebut dengan sayyid al syuhur; bintang dari seluruh bulan dalam setahun. Ramadhan adalah waktunya menanam kebaikan (fastabiqul khairat); berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan (QS Al Baqarah: 148). Maka, bulan ini sangat tepat untuk menghapus lumpur-lumpur kemaksiatan politik maupun sosial yang sudah diperbuat. Melepas topeng keberpuraan selama ini sebagai politik pencitraan. Itulah salah satu poin penting yang harus direnungkan bersama.<>
Puasa merupakan jalan. Ia bagai perahu Nabi Nuh, yang mengantarkan pada kemerdekaan dari bencana. Orang-orang berpuasa adalah orang yang memiliki keyakinan, bahwa ia akan menikmati merdeka pada waktu nantinya. Nikmat itu, dalam ajaran Islam, adalah saat berbuka puasa dan bertemu Allah.
Ketika negara ini memproklamirkan diri merdeka, orang bersorak-sorai, seperti “orang gila”, tertawa dan menangis haru. Mereka menjadi orang merdeka. Waktu itu juga di bulan Ramadhan, bahkan sebelum pidato kemenangan itu, Bung Karno dan Bung Hatta makan sahur di rumah Admiral (Laksamana) Maeda. Dan, kemerdekaan itulah hasil “puasa” atau perjuangan demi perjuangan ratusan tahun rakyat Indonesia. Kebahagiaan itu lalu terabadikan melalui Masjid Istiqlal, yang memiliki makna kemerdekaan. “Proyek (masjid) tersebut sebagai tanda syukur kepada Allah terhadap anugerah kemerdekaan,” kata Bung Hatta (Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi).
Hal sama dialami rakyat India yang masih bermimpi untuk merdeka waktu itu. Pada 1940-an, Inggris masih berkuasa dan perang antara umat Muslim dan Hindu masih bergejolak di India. Adalah Mohandas Karamchand Gandhi (2 Oktober 1869-30 Januari 1948), salah satu sosok yang andil besar melerai perang itu. Gandhi tak ingin ada perpecahan rakyat India. Ia memutuskan puasa sampai kedua pihak meletakkan senjata. Ia berpuasa selama 12 hari dan pada puasa hari kelima, perang pun usai. Puasa Gandhi adalah salah satu jalan kemerdekaan bagi rakyat India, sampai akhirnya Inggris memberikan kemerdekaan India pada 15 Agustus 1947.
Sudahkah Merdeka?
Apakah manisnya puasa (kemerdekaan) itu, kita dapat rasakan sepenuhnya saat ini? Masalah demi masalah menimpa negeri ini, bahkan pengadaan kitab suci pun harus dikorupsi, karena merasa dirinya belum merdeka dan sejahtera. Puasa itu tak sekadar diartikan menahan lapar dan haus, tapi juga sebagai jalan kemerdekaan berkat Tuhannya. Bila kita ingin merdeka, puasalah untuk Tuhan, sebab puasa adalah ibadah paling mesra kepada Tuhan. “Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,” kata Rasulullah dalam sabdanya (HR Bukhari dan Muslim). Dan, tentu Tuhan memberkati dan melimpahkan kenikmatan tiada tara, jika jalan puasa itu dilakoni dengan benar.
Tapi, setiap tahun kita melakoni ritual ini, justru kita sering alpa di sebelas bulan berikutnya. Puasa kita tak memberikan kemerdekaan bagi sekeliling kita, karena puasa kita hanya sebatas lapar dan dahaga. Atau kita berpuasa agar dipuji atasan demi karier pekerjaan. Kita puasa sebagai politik pencitraan. Sayangnya, kita tidak “bermesraan” atau introspeksi diri dihadapan Tuhan. Akibatnya, di negeri ini masih banyak kemaksiatan politik, sosial budaya, mafia hukum, korupsi-kolusi-nepotisme, kemiskinan, perpecahan, peperangan antar agama dan suku.
Andaikata pemimpin negeri ini memberikan sabda; puasa sebagai kebijakan nasional, boleh jadi, kemerdekaan yang sesungguhnya akan kita raih. “Mulailah dengan apa yang benar, bukan dengan apa yang bisa diterima,” kata Sastrawan Jerman Franz Kafka (1883-1924). Maka, untuk menuju kemerdekaan hakiki, baik diri dan bangsa, umat Islam harus menjadikan Ramadhan sebagai momentum latihan memperbaiki diri dan melawan musuh untuk merdeka.
Momentum Latihan
Ramadhan dapat menjadi momentum bagi elit politik di Tanah Air untuk melatih diri dan emosinya sebagai bekal dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Keberadaan Ramadhan pada tahun 2012 ini sangat strategis karena kita akan menghadapi beberapa agenda penting. Semua pihak akan mengakui jika umat Islam, terutama kalangan pejabat dan elit politiknya telah biasa dan terlatih menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan.
Namun sayangnya, ibadah puasa yang dijalankan itu dipisahkan dari nilai praktis duniawi, sehingga tak memberikan pengaruh positif dalam sikap dan perilaku. Hal itu disebabkan ibadah puasa yang dijalani selama ini hanya dianggap sebagai proses menahan lapar dan haus. Agar memberikan perubahan bagi sikap dan perilaku, ibadah puasa harus dijadikan momentum latihan yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi kalangan pejabat dan elit politik. Imbauan tersebut lebih ditujukan untuk kalangan pejabat dan elit politik karena menjadi pihak yang menentukan berbagai kebijakan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bangsa ini harus mau belajar membersihkan visi kerakyatannya yang selama ini belum bersih akibat debu korupsi dan kekuasaan. Jika ingin membersihkan diri dan bangsa menuju kemerdekaan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, Pendidikan akidah/keimanan. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk mencetak generasi muda masa depan yang tangguh dalam imtaq (iman dan taqwa) dan terhindar dari aliran atau perbuatan yang menyesatkan kaum remaja seperti gerakan Islam radikal, penyalagunaan narkoba, tawuran dan pergaulan bebas (free sex) yang akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan.
Kedua, Pendidikan ibadah. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak kita untuk membangun generasi muda yang punya komitmen dan terbiasa melaksanakan ibadah. Seperti shalat, puasa, membaca Alquran yang saat ini hanya dilakukan oleh minoritas generasi muda kita.
Bahkan, tidak sedikit anak remaja yang sudah berani meninggalkan ibadah-ibadah wajibnya dengan sengaja. Di sini peran orang tua dalam memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya sangat diperlukan selain guru juga harus menanamkan secara mantab kepada anak-anak didiknya. Ketiga, Pendidikan akhlakul-karimah. Hal ini juga harus mendapat perhatian besar dari para orang tua dan para pendidik baik lingkungan sekolah maupun di luar sekolah (keluarga). Dengan pendidikan akhlakul-karimah akan melahirkan generasi rabbani, atau generasi yang bertaqwa, cerdas dan berakhlak mulia.
Penanaman pendidikan Islam bagi generasi muda bangsa tidak akan bisa berjalan secara optimal dan konsisten tanpa dibarengi keterlibatan serius dari semua pihak. Oleh karena itu, semua elemen bangsa (pemerintah, tokoh agama, masyarakat, pendidik, orang tua dan sebagainya) harus memiliki niat dan keseriusan untuk melakukan ini. Harapannya, generasi masa depan bangsa ini adalah generasi yang berintelektual tinggi dan berakhlak mulia.
Seluruh elemen bangsa ini harus bisa memaknai Ramadhan secara kaffah (menyeluruh). Ramadhan harus benar-benar dijadikan momentum pertaubatan nasional. Jutaan umat muslim sudah pasti menjalankan ibadah puasa sebagai sarana penyucian diri sebelum kembali fitroh pada Idul Fitri nanti.
Dengan memaknai Ramadhan secara substantif, maka sudah semestinya berbagai penyakit sosial yang menghantui negeri ini akan bisa dibersihkan. Misalnya saja soal penyakit koruptif. Jika saja momentum Ramadhan ini bisa dilalui secara baik, maka sudah pasti selepas Ramadhan, tidak akan ada lagi korupsi di negeri ini. Dengan demikian, setidaknya bangsa ini akan merdeka dari korupsi, kepalsuan, pencitraan, dan sebagainya. Wallahu a’lam bisshawab.
* Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua