Opini

Ramadhan Momentum Spiritualisasi Keilmuan

NU Online  ·  Jumat, 17 Juni 2016 | 12:13 WIB

Ramadhan Momentum Spiritualisasi Keilmuan

Waketum PBNU KH M. Maksum Mahfoedz

Oleh Mochammad Maksum Machfoedz
Teramat jelas digariskan tujuan diwajibkannya puasa Ramadlan: la’allakum tattaquun (QS 2-183), agar supaya kalian bertaqwa. Aneka stimulan melengkapi pencapaian tujuan dimaksud, mulai timulasi teknis yang mu’amalah dan hubungan antar-manusia sifatnya, stimulasi ubudiyah dengan aneka asesori ibadah puasa, sampai stimulasi fundamental berkait dengan mentalitas-kejiwaan manusia, urusan character building mendasar. 

Salah satu stimulasi fundamental adalah kemutlakan perintah: I’diluu huwa aqrabu li at-taqwa (QS 5-8), berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Kewajiban memenuhi karakter keadilan tercermin dari kalimat perintah yang absolut sifatnya bagi siapa saja: i’diluu. Begitu absolutnya, sampai lebih 30 kali kata adil diungkap dalam Al-Qur’an, dan bisa disimpulkan dalam QS 16-90: innallaha ya’muru bi al-‘adl, sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil; dan  QS 7-29: qul amara Robbi bi al-qishth, katakanlah ”Tuhanku menyuruhku berlaku adil’.

Relasi antara penegakan keadilan dan mutu ketaqwaan, dengan demikian menjadi ikatan keharusan yang menyatu dan tidak bisa disempal-sempal ketika dikehendaki siapa saja yang ingin menggapai tujuan puasa Ramadlan. Penegakan keadilan dalam kolektifitas, bermasyakat dan berbangsa juga begitu pentingnya: walau ‘ala anfusikum aw al-walidaini wa al-aqrabiin, in yakun ghaniyyan au faqiiraa (QS 4-135), meskipun terhadap diri sendiri, atau orangtua dan kerabat, kaya maupun miskin.

Begitu pentingnya keadilan dan penegakannya, sampai-sampai sebuah kitab mensarahi ajaran Imam Ibn Qayyim dengan menyimpulkan bahwa: laa tashluhu ad-dun-ya wa al-akhirah illa bi al-‘adl, tidak akan pernah ada kedamaian di muka bumi dan akhirat nanti, kecuali berlandaskan keadilan.

Pentingnya relasi perilaku adil sebagai karakter utama ketaqwaan, dengan demikian menjadi materi yang pantas direnungkan dalam Puasa Ramadlan. Kesiapan menjalaninya tidak lagi semata didasarkan atas kesempurnaan hubungan antar-sesama dalam urusan kemanusiaan dan mu’amalah, serta tidak hanya dilengkapi dengan aneka asesori ibadah seperti tarawih, shalat malam, tadarrus, dan sejenisnya. Akan tetapi, pada saat yang sama dilandasi pula oleh kesiapan berrevolusi mental, berlaku adil dan menegakkan keadilan bagi siapa saja.

Dalam konteks inilah kiranya, perilaku adil yang harus lempeng dan tegak lurus, setimbang, moderat dan menengah, tidak mirang-miring, dan menghargai orang lain, i’tidal-tawasuth-tawazun-tasamuh, bisa dihayati maknanya untuk tidak memungkinkan maraknya rasa benar sendiri, radikalisasi, dan apalagi munculnya aneka gratifikasi. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa jabaran dari rasa keadilan tersebut dalam konteks kemasyarakatan dan kebangsaan akan memperkaya bangsa ini melalui puasa Ramadlan, dengan ajaran karakter mendasar al-akhlaq al-karimah dalam urusan berbangsa yang dibingkai dalam mabadi’ khaira ummah: ash-shidiq al-amanah al-‘adalah at-ta’awun al-istiqamah, jujur-amanah-adil-gotongroyong-konsisten, lima karakter dasar bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang beradab.

Pertimbangan pentingnya keadilan itu pula yang kemudian mentradisikan peringatan penegakan keadilan sebagai penutup khuthbah Jum’at semenjak pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari 717 M sampai 720 M. Pemerintahan berkeadilan Umar menjadi melegenda bukan hanya karena telah berhasil menggeser khothbah dengan tradisi cacimaki selama 60 tahun sebelumnya menjadi seruan keadilan. Umar telah berhasil pula membangun peradaban pemerintahan berkeadilan.

Tentu bukanlah sekedar kerinduan terhadap sejarah Umar, ketika seruan keadilan cicit Umar bin Khatthab ini senantiasa menggelora dalam khutbah sampai kini, dibanding seruan lainnya. Efektifitasnya tentu perlu dibangun melalui gerak-langkah berkeadilan, untuk bisa lebih ngefek, dan mewarnai kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sebagaimana dicontohkannya.

Adalah sebuah tantangan bagi keberadaan program studi humaniora dengan aneka pendekatan keilmuannya untuk menterjemahkan cita-cita dan amanat spiritual keadilan. Sudah tiba waktunya untuk mempertanyakan eksistensi keilmuan hukum ketika ketidak-adilan justru kini menjadi raja-diraja. Tantangan yang sama juga dilontarkan serius bagi keilmuan humaniora lainnya, termasuk ilmu filsafat, sosiologi, psikologi, komunikasi, sampai ilmu pendidikan usia dini ketika dekadensi moral justru menjadi-jadi. Perihal yang sama muncul pula sebagai tantangan ilmu ekonomi, dalam terapan ilmu pembangunan, managemen dan akuntasi, yang kini semakin eksploitatif dalam perekonomian.

Krisis ekonomi dan keserakahan akan sumberdaya alam sepenuhnya mulai dari sini. Resource Accounting, Ilmu Akuntansi Sumberdaya dalam menjawab peringatan Allah urusannya dengan kemerosotan dan kerusakan sumberdaya alam masih sangat tidak memadai karena kontaminasi kepentingan jangka pendek dan politisasi. Kemerosotan ini berakibat pada takrif-takrif palsu ekonomi pembangunan dengan segala kebodohan indikator pilihannya yang tidak mencerminkan kemashalatan, jikalau tidak boleh dikatakan justru memicu rusaknya lingkungan hidup. 

Mudah sekali dilihat begitu banyaknya kebijakan tanpa spiritualitas memadai, sampai anti spiritualitas. Hingar bingar liberalistik yang menghamba pada kapitalistiknya ilmu kerekayasaan, melalui berkembang pesatnya ilmu dan teknologi informatika, elektronika, sistem informasi, industri, mekanika dan aneka ilmu keteknikan, sampai keilmuan pangan dan agroindustri, berdalih sangat mulia dengan tujuan meningkatkan nilai tambah dan efisiensi ekonomis. Keilmuan ini jelas sekedar jabaran atas Firman-firman Kauniyyah yang tak terbantahkan. Akan tetapi, apa jadinya ketika nihil basis spiritualitas? Semuanya akan berujung kecongkakan akademik, dan ulah eksploitasi, bukan kemajuan kemashlahatan, tetapi penyebaran kemiskinan yang melawan Firman Tuhan.

Sebagai ilustrasi akademis bisa diangkat kebidangan yang disebut terakhir: pangan dan agroindustri, yang sangat terkait dengan ibadah puasa Ramadlan pada hari ini. Simpati dan empati terhadap segala keterbatasan dalam pemenuhan pangan sebagai kebutuhan dasar, basic need, merupakan salah satu esensi yang melandasinya. Puasa, menahan diri dari makan-minum, merasakan lapar dan dahaga, meski baru merupakan keutamaan manusiawi tingkat awal, membuahkan keutamaan berikutnya sebagai refleksi kepedulian antar sesama, ketaatan ilahiyah tiada tara, sampai kesyukuran paripurna atas segala kebesaranNya. Bukan sekedar simbolisasi.

Kelaparan merupakan keseharian keadaan sang papa, saudara-saudara kita yang sedang tidak beruntung, fakir-miskin sekitar kita. Telah menjadi tanda-tanda zaman, bahwa dalam masyarakat materialistis, sikap abai kalangan luas cenderung mempersalahkan mereka sebagai pecundang akibat kalah perang ekonomis dengan kemenangan para pemilik modal, aghniya’, dalam rivalitas ekonomis dan teknologis. Sungguh asumsi nir-spiritualitas yang memprihatinkan kita semua.

Asumsi itu salah besar karena Islam justru memberikan kasih-sayang sempurna bagi fakir-mikin. Eskalasinya tercermin dalam puasa Ramadan dengan aneka ritual dan peringatan membayar zakat.  Hakekatnya, sebagian dari harta kekayaan aghniya’ adalah hak fakir-miskin, bukan hak si kaya. Karena itu, harus dibersihkan dan disucikan, tuthahhirukum wa tuzakkiihim biha (QS. 9: 103). 

Secara khusus, pelembagaan zakat fithrah sebagai kepedulian pangan sesama bahkan tidak terpisahkan dari kesempurnaan puasa untuk menggapai maghfirah dan ketaqwaan, sebagai jaminan kembalinya manusia kepada kesucian, al-fithr. Hal ini ditunjukkan dengan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah untuk setiap jiwa muslim yang mampu, dan harus dibayarkan  qabla ash-shalah, sebelum shalat Iedul Fitri. Begitu hadits Nabi menyebutkan. Hak atas pangan harus dibayarkan ketika menginginkan kembali ke kesucian, iedul fitri. Untuk hak ini, ijinkan untuk menyebut Ramadlan sebagai Bulan Pangan, syahru ath-tha’am. Bukan menyebutnya  bulan badhogan bagi abdul buthun. 

Fakta yang dipaparkan mensiratkan besarnya perhatian Islam terhadap hak atas pangan. Tata sistemnya pun dengan demikian harus berbasis kedaulatan, sebagaimana tercermin dalam kepedulian Muhammad terhadap urusan pangan yang sangat istimewa, seperti disabdakan: an-nasu syuraka-u fii tsalatsin: al-ma'u wa al-kala-u wa an-nar, manusia berserikat dalam tiga perkara: air, tetumbuhan dan api. Berserikat, syurakaa’, mensiratkan bahwa kekuasaan dan kedaulatan urusan ini berada di tangan rakyat, untuk  sebesar-besarnya kepentingan manusia sebagai kolektifitas, dan pantang eksploitatif. 

Perhatian Allah tentang hak atas pangan, bahkan ditunjukkan dengan menyebut pendustaan agama, yukaddzibu bi ad-din (QS. 107: 1-3), termasuk mereka yang: laa yakhuddlu 'ala tha'ami al-miskin, tidak mengajak memberi makan fakir-miskin. Tafsir Qurtubi menyebut makna utama ayat ini: isyaratun 'ala annahu la yuth'imu al-masakin idza qadara, mengisaratkan mereka yang tidak memberi makan ketika mampu.

Banyak pihak menjabarkan ayat ini lebih dari sekedar urusan pangan, tetapi pangan dan perekonomian umumnya. Surat al-ma'un ini menjadi inspirasi para pemimpin terdahulu, seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dengan syirkah mu'awwanahnya (gerakan koperasi), yang beliau kembangkan jauh hari sebelum NU dideklarasikan berdirinya oleh beliau.

Begitulah ketakwaan mensyaratkan tumbuhnya kepedulian sosial, mengamanatkan bahwa sebagian rejeki  harus dinafkahkan (QS. 2: 2), kepada yang berhak, dalam keadaan lapang maupun sempit (QS. 3: 134), agar gini rasio tidak njomplang, serta supaya aset ekonomi tidak terkonsentrasi kepada segelintir orang kaya, kay la yakuna duulatan baina al-aghniya'i minkum (QS. 59: 7).

Semoga kita beroleh rahmat untuk lebih manusiawi, semakin peka terhadap mereka yang lemah, terlebih yang paling tersingkir dalam pembangunan, , untuk kemajuan perekonomian bersama.  Jauhkanlah kami semua ya Allah, untuk tidak justru menari-nari bagai burung bangkai, di atas kelemahan mereka yang sedang tidak beruntung, na'udzu billaah..

Sungguh sebagai ilmuwan dan ilmuwan muda, mahasiswa-mahasiswi, sekelumit contoh yang menggambarkan betapa hinanya para ilmuwan, yang sehebat apapun, ketika tidak dilandasi kesiapan spiritualis sudah pasti akan keblinger, akan menjadi the most disadvantaged people, tidak mampu berlaku adil dan tidak bakal masuk dalam kategorisasi Allah sebagai ilmuwan yang ulama’. 

Kedalaman spiritualitas Ramadlan dengan segala paket ibadahnya, menempa kita semua, sebagai civitas akademika untuk insya Allah menjadi lebih komplit ketika tidak semata didukung rasa takut kepada Allah karena berbagai kealpaan hidup yang kita lakukan (khauf), akan tetapi didukung rasa takut nuraniah yang paling dalam kepada Allah, min khasyyatiLlah, yang dilandasi kesadaran, cinta dan penghormatan tulus kepada Allah SWT sebagai Yang Maha Agung, Maha Kuasa dengan segala kekuatannya, dan Maha Tahu dengan kesempurnaan ilmunya.

Rasa takut seperti ini terwujud, menggabungkan penafsiran Shobuni dan Ibn Katsir, liannahum ya’rifunahu haqqa ma’rifatihi li al-‘adlim al-qadiir atam, wa al’ilmi bihi akmal, karena para alim menghayati setulusnya akan keagungan, kesempurnaan kekuasaan, dan tidak terbatas keilmuan Allah. 

Attribut nuraniah khasyyatullah inilah karakterisasi Allah terhadap para ilmuwan yang memiliki basis spiritualitas: innamaa yakhsya Allaha min ibadihi al-ulamaa (QS 35: 28), sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah para alim. Signifikansi sosok ini ditegaskan pula dengan: wa hum min khasyyatihii musyfiquun (QS 21:28), dan karena rasa takutnya kepada Allah, mereka senantiasa berhati-hati.

Semoga Allah berkenan memberikan hidayah, sehingga kita semua tidak akan sekadar menjadi civitas akademika UNUSIA, tetapi civitas akademi yang sekaligus menghayati khasyyatullah, insya Allah.***

Penulis adalah Wakil Ketua Umum PBNU dan Rektor UNU Indonesia.