Sudah sepekan lebih kita malaksanakan ibadah puasa Ramadhan tahun 1438 H. Kedatangan bulan Ramadhan disambut gegap-gempita oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, bahkan yang non-Muslim ikut merasakan berkahnya Ramadhan. Di bulan suci Ramadhan ini, umat Muslim melaksanakan ibadah tahunan (annual worship) yaitu puasa (shiyam) Ramadhan selama satu bulan penuh.
Secara harfiah puasa atau shiyam memiliki makna menahan diri dari segala hal meskipun sebelumnya dihalalkan. Puasa bukan hanya melulu urusan makan, minum, dan berhubungan badan, tetapi kita bisa menarik makna puasa kepada dimensi yang lebih luas seperti menahan diri dari kerakusan harta benda, menahan diri dari yang bukan hak kita dan menahan diri dari sikap mementingkan diri sendiri.
Ramadhan merupakan bulan yang sangat unik. Bagaimana tidak? Hanya dalam satu bulan, kemapanan tatanan sosial yang berjalan selama sebelas bulan sebelumnya bisa berubah total. Di bulan-bulan lainnya kita bisa makan sesuka kita, minum sesuka kita dan berhubungan–tentunya dengan istri yang sah–sesuka kita, kapanpun. Tetapi dengan kedatangan Ramadhan, semua itu berubah. Setiap Muslim berlomba-lomba untuk lebih giat beribadah kepada-Nya. Ibarat sebuah penjualan, bulan Ramadhan menawarkan bonus dan door prize yang begitu besarnya sehingga kaum Muslimin tak ingin melewatkan itu semua dengan sia-sia.
Ramadhan merupakan mashdar (infinitive) yang berasal dari kata ramidha-yarmadhu yang secara literal bermakna membakar, menyengat karena terik dan panas sekali. Memang pada saat bulan Ramadhan, cuaca di wilayah Arab begitu panasnya sehingga mampu membakar sesuatu yang kering. Dengan diwajibkannya puasa Ramadhan sejak tahun Ke-2 Hijriyah, Ramadhan ditetapkan sebagai bulan pembakar dosa, pembakar syahwat dan pembakar sifat-sifat buruk. Ramadhan ibarat kawah candradimuka atau laboratorium pendidikan karakter setiap kaum Muslimin di seluruh dunia.
Selama bulan Ramadhan ini, kaum Mukminin digembleng baik fisik dan mentalnya untuk menjadi pribadi lebih baik dan bertakwa, sebagaimana firman Allah dalam Ssurat Al-Baqarah ayat 183. Ibadah puasa sangat berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, karena ibadah puasa adalah ibadah hamba langsung kepada Rabb-nya. Hanya dia dan Allah yang mengetahui. Maka dari itu, sangat wajar kalau bulan Ramadhan menjadi laboratorium pendidikan mental karena puasa mengajarkan orang berpuasa untuk jujur, kuat, dan memiliki integritas tinggi.
Ada beberapa nilai yang bisa digali dalam pelaksanaan ibadah puasa. Pertama, puasa senantiasa mengajari kita untuk menahan dan mengendalikan diri. Dengan berpuasa kita dilarang untuk makan meskipun terasa lapar, kita dilarang minum meskipun terasa haus dan dilarang berhubungan berhungunan badan suami-istri meski terasa ada hasrat. Selain mengendalikan diri dari hal-hal yang bersifat fisik, puasa juga mengajari kita untuk mengendalikan emosi dan psikis kita seperti mengendalikan diri dari korupsi, berbohong, dan dari sifat-sifat buruk. Kalau seandainya puasa para pejabat kita berkualitas dan sesuai dengan ajaran agama, maka tidak akan ada lagi korupsi, gratifikasi, dan suap-menyuap.
Kedua, puasa mengajari kita untuk peduli akan sesama (sense of responsibility). Ibadah puasa merupakan ibadah yang memiliki nilai sosial paling tinggi. Di dalam praktiknya, kita diminta untuk berlapar-laparan dan berhaus-hausan agar kita merasakan langsung penderitaan saudara-saudara Muslim kita yang kurang mampu. Hanya dengan mengalami dan merasakan langsung jiwa sosial dan kepekaan kita terhadap sesama akan muncul dan terasah. Puasa mengajari kita untuk saling berbagi dan memberi kepada saudara yang kekurangan. Tidak ada ibadah yang memiliki nilai sosial melebihi ibadah puasa. Maka patut dipertanyakan kalau seandainya ada orang yang berpuasa sebulan penuh dan ia masih saja acuh terhadap keadaan sekitarnya yang memprihatinkan.
Ketiga, puasa melatih kita untuk mempererat dan memperkokoh senasib, mencintai, dan menyayangi sesama Muslim lainnya. Saat puasa Ramadhan tiba, banyak kelompok, komunitas, organisasi dan LSM yang menggelar sahur on the road dan buka puasa bersama di masjid-masjid, rumah-rumah dan kantor-kantor. Padahal peserta yang hadir sahur dan buka tersebut tidaklah saling kenal, tetapi karena adanya ibadah puasa mereka disatukan dan dipererat dalam sebuah jalinan tersebut.
Sekali lagi bahwa puasa Ramadhan itu unik, ia mampu memutar 360% kemapanan sosial yang sudah berlangsung selama sebelas bulan sebelumnya. Sudah seyogianya kita mengisi bulan Ramadhan tahun ini dengan hal-hal yang bermanfaat dan memberi manfaat kepada yang lainnya, karena tidak ada laboratorium pendidikan karakter sebaik dan secanggih bulan Ramadhan ini.
*) Penulis adalah Jurnalis NU Online, Wasekjen MPII Pusat
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
3
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
4
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
5
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
6
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Wujud Syukur atas Kemerdekaan Indonesia ke-80, Meneladani Perjuangan Para Pahlawan
Terkini
Lihat Semua