Oleh Zulfikar Damam Ikhwanto
Bertemu dengan Ramadhan adalah kebahagiaan yang agung. Betapa kemuliaan dan keberkahan di bulan suci ini demikian melimpah ruah. Tidaklah mengherankan bila umat Islam di seluruh penjuru dunia bergegas dan beramai-ramai menyambut penuh suka cita dan mengisinya dengan amaliyah ramadhan yang tidak biasa dilakukan pada bulan yang lain. Semarak kajian keislaman, kajian dan tadarus Al-Qurāan, iātikaf, sholat tarawih berjamaah, safari ramadhan atau taraweh keliling, sahur atau buka puasa bersama, santunan fakir miskin dan yatim piatu, pengelolaan zakat fitrah dan amaliyah kebajikan lainnya. Inilah semangat yang terjadi saat ramadhan yang diberkahi tiba.Ā
Keistimewaan, kemuliaan dan keberkahannya tidak terhitung jumlahnya dan tidak diketahui oleh manusia secara pasti, namun mampu menjadi inspirasi untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan dan tidak mensia-siakan kesempatan di bulan suci ramadhan ini, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Masāud Al-Ghifari: āKalau hamba-hamba Allah SWT mengetahui balasan dan keutamaan Ramadhan, maka umatku pasti akan berharap agar sepanjang tahun menjadi Ramadhanā. (HR. Tabrani, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).Ā
Semangat ini sesungguhnya bukanlah tanpa tantangan yang dihadapi oleh umat Islam masa kini. Ternyata beribadah di era kekinian memang tidak bisa dilepaskan dengan pengaruh fenomena globalisasi yang dapat diilustrasikan bagai sebuah lokomotif tentang perubahan tata dunia dimana akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran maupun materi. Globalisasi dimaknai sebagai adanya arus orang-orang, barang-barang dan jasa, informasi dan gagasan yang melewati batas-batas negara, bangsa, dan kebudayaan lokal, nasional, atau regional.Ā
Terdapat beberapa dampak negatif globalisasi yang digulirkan oleh dunia Barat dan sangat rawan mempengaruhi kehidupan seorang muslim, dan sekaligus menjadi tantangan dalam menjalankan ibadah di era globalisasi ini, yaitu: Pertama, adalah kecenderungan maddiyyah (materialisme) yang selalu kuat pada zaman sekarang ini. Kedua, adanya proses atomisasi, individualistis. Kehidupan kolektif, kebersamaan, gotong royong, telah diganti dengan semangat individualisme yang kuat. Ketiga, sekulerisme yang senantiasa memisahkan kehidupan agama dengan urusan masyarakat, karena agama dinilai hanya persoalan privat antar individu semata. Dan keempat, munculnya relativitas norma-norma etika, moral, dan akhlak. Sehingga dalam suatu konteks masyarakat yang dianggap tabu bisa saja dalam konteks masyarakat yang lain dianggap boleh.Ā
Dengan tantangan-tantangan itersebut memang dibutuhkan pemecahan yang efektif agar kehidupan keberagamaan seorang muslim dapat benar-benar baik dan optimal, terutama pada upaya peribadatannya. Ibadah Puasa Ramadhan jika direnungkan lebih dalam, tidak hanya memiliki esensi ketuhanan saja, akan tetapi juga esensi kemanusiaan. Implementasi dua esensi ini untuk menyeimbangkan kehidupan manusia yang memiliki 2 (dua) dimensi hubungan, yakni pertama dimensi hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablun minallah), kedua dimensi hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya (hablun minannas).Ā
Berpuasa dapat menuntun seorang muslim menemukan kebaikan-kebaikan baik secara pribadi maupun sosial. Menurut M. Quraish Shihab dalam puasa setidaknya ada tiga hal yang terkandung sebagai hakikat puasa, yaitu upaya mengendalikan diri dari nafsu yang membelenggu atau sabar, terhindar dari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan siksa, sehingga memperoleh derajat muttaqin, dan berusaha mengembangkan potensinya agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan āpetaā Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya. Puasa sebagai upaya memperoleh kesabaran karena pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri dari keinginan-keinginan syahwat yang dapat mengganggu ketentraman jiwanya.Ā
Mengendalikan mata dari melihat hal-hal yang terlarang, menahan telinga dari sesuatu yang merusak (terlarang), menahan lidah dari mengucapkan hal-hal keji yang dilarang oleh Allah, menahan perut memelihara kehormatannya, memelihara tangan dari pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan dosa, memelihara kaki untuk tidak melangkah ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah. Mengendalikan inilah yang disamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa. Tidak dapat disangkal bahwa puasa merupakan suatu kewajiban yang memerlukan kesabaran. Bagi mereka yang berpuasa akan diberikan imbalan karena kemurahan Allah SWT, akan selalu dekat dengan-Nya dan terkabullah apa yang menjadi permohonan dan harapan.Ā
Sebagai pribadi, ada 3 (tiga) unsur yang melengkapi hidup dan kehidupan manusia, yakni otak (akal), hati dan jasmani. Otak mampu membuat konsep atau keinginan untuk mencapai sesuatu, sekalipun sesuatu itu baru sama sekali, misalnya alat elektronik canggih, komputer, internet, telepon selular dan produk kreativitas otak manusia lainnya. Hati bertugas menyaring apa yang patut dan tidak patut dikerjakan, hati yang baik akan memberikan arah apa seyogyanya diciptakan oleh otak, sebaliknya hati yang buruk akan membimbing otak untuk menciptakan semaunya, baik atau buruk, menyelamatkan atau membinasakan, tidak menjadi soal yang penting keinginan tercapai. Sedangkan jasmani berperan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh otak dan hati. Tanpa jasmani yang berdaya, gagasan atau konsep yang ideal tentu tidak akan mampu direalisasikan. Dengan berpuasa, maka ketiga unsur tersebut akan mendapatkan bimbingan dan pembentukan menuju pribadi yang baik.Ā
Hati dibersihkan melalui peningkatan kauntitas dan kualitas ibadah, seperti sholat, tadarus dan mengkaji Al-Qurāan, iātikaf, mengikuti kajian keislaman, sholat tarawih, menahan diri dari perbuatan tercela, seperti bohong, ghibah atau membicarakan kejelekan orang lain dan pemarah, sebaliknya akan senantiasa berlatih dan belajar untuk bersabar, menahan diri dari keinginan syahwat yang mengganggu ketentraman jiwa. Ketika kebersihan hati sudah diraih, maka akan berpengaruh pada kejernihan dalam berpikir. Gaya berpikirnya selalu berpola demi kemaslahatan atau kepentingan banyak orang, bernilai manfaat dan norma etika, moral, akhlak pun tidak ditinggalkan. Tindakan dan jasmaninya pun mendapatkan perlakuan yang selayaknya, bekerja dengan penuh semangat, sanggup mencegah dari perbuatan maksiat, seperti korupsi, tidak jujur, kolusi atau bertindak di luar prosedur. Selalu menghadirkan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan dalam berpikir dan bertindak, dilihat atau tanpa dilihat oleh orang lain.
Sehingga, pengaruh negatif dari luar, seperti pornografi-pornoaksi, taktik-strategi kejahatan, komsumerisme, hedonisme, liberalisme, sekulerisme dan sebagainya, yang dengan leluasa masuk pada rumah tangga, dan mempengaruhi sendi kehidupan masing-masing keluarga. Kemudian, kehidupan manusia yang semakin didorong semangat individualisme, sangat menonjolkan hak individunya, kehidupan keberagamaan hanya diambil ritualnya saja, dan agama hanya dipahami hanya untuk aspek kepentingan individual belaka. Ancaman-ancaman tersebut, dengan momentum ramadhan ini, yakni berpuasa dengan segala peningkatan ibadah di dalamnya, akan mampu menjadi madrasah membangun benteng pertahanan, membendung dan menjadi perisai bagi derasnya arus globalisasi yang dapat mengancam kehidupan bagi keluarga, masyarakat dan kemudian negara, apabila seorang muslim lengah, tidak waspada, dan kurang siap untuk menghadapinya.Ā
Belum lagi dengan persoalan secara langsung maupun tidak langsung, menurut Azyumardi Azra, globalisasi memberikan stigmatisasi dalam budaya Islam, sehingga menimbulkan stereotipe dalam Islam dan kini dikenal adanya Islam Modern dan Islam Tradisional lalu Islam Moderat dan Islam Fundamental. Konsekuensinya adalah timbulah perpecahan dalam tubuh umat Islam dalam menghadapi era globalisasi ini, hingga memunculkan dua kutub yaitu, pro-globalisasi dan anti-globalisasi. Namun demikian, umat Islam seharusnya tidak terpecah karena globalisasi merupakan proses yang pasti harus dihadapi oleh umat Islam. Tentu harus terus selalu diwaspadai dengan harapan ramadhan mampu memberikan formula penyadaran kepada umat Islam tentang arti penting ukhuwah (persaudaraan), baik sesama muslim, sesama manusia sebangsa dan setanah air. Ramadhan semestinya menjadi wahana penyemai kasih sayang, kepedulian dan kerukunan.Ā
Ibadah puasa Ramadhan dapat menjadi institusi pendidikan dan pelatihan mengenai kepekaan dan kepedulian umat Islam terhadap sesama. Selama sebulan penuh umat Islam dianjurkan untuk lebih banyak perenungan dan menahan diri, yaitu mengendalikan segala macam bentuk godaan nafsu syahwat dan duniawi. Rasa lapar dan haus yang kita alami sejak terbit fajar hingga terbenam matahari setidaknya menggugah hati dan jiwa, betapa banyak saudara kita yang kurang beruntung telah terlebih dahulu merasakan lapar dan haus.Ā
Ketika rasa lapar dan haus mendera, orang kaya maupun orang-orang miskin pun merasakan keadaan yang sama. Dengan kata lain, puasa mengajarkan sikap toleran dan empati sebagai bagian dari totalitas ketakwaan terhadap Allah SWT. Kehidupan sosial akan mampu mencapai kesempurnaannya apabila setiap manusia dalam kehidupan sosialnya mampu menumbuhkan sikap sensitif terhadap rasa sakit dan derita yang dialami sesamanya. Puasa sesungguhnya juga merupakan upaya sadar untuk mengimplementasikan sikap kasih sayang terhadap sesamanya melalui proses penumbuhan dan penyuburan nurani kemanusiaan. Proses semacam ini akan mampu menciptakan nilai-nilai kesalehan sosial dalam ranah kehidupan sejati meski berada di tengah situasi peradaban yang tengah tertekan oleh hantaman keras globalisasi.Ā
Dengan demikian, momentum ibadah puasa ramadhan, sesungguhnya sekaligus mengingatkan kepada umat Islam tentang pentingnya menghayati puasa sebagai instrumen mewujudkan solidaritas dan kepedulian sosial. Sejumlah ayat Al-Qurāan mengecam betapa bahayanya sikap ketidakpedulian sosial. Sebaliknya, menyanjung betapa indahnya sikap kesalehan sosial dan kepedulian sosial. Seperti dalam surat al-Maāun, al-Humazah, al-Takasur, dan al-Balad. sengaja diturunkan untuk mengapresiasi sikap kepedulian sosial.Ā
Pada prinsipnya, mengecam manusia yang kikir dan enggan membantu sesamanya, serta mengutuk manusia yang asyik menumpuk harta, berlomba dalam kemewahan dan kekayaan sebagaimana kharakter masyarakat karena dampak negatif globalisasi. Semoga ramadhan kali ini benar-benar dapat kita manfaatkan untuk terus meningkatkan kuantitas dan kualiatas ibadah, senantiasa mampu membangun kesalehan pribadi dan sosial, menjauhkan diri dari pengaruh buruk globalisasi seperti sekularsime, hedonisme, materialisme, dan individualisme serta mampu mengasah kasih sayang, empati, sikap toleran, menjaga kerukunan, sabar dan peduli terhadap sesama. Amiin.***
Penulis adalah Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Jombang, Jawa Timur.