Oleh Faisal Kamandobat
Jauh di masa remaja, saat jiwa masih begitu murni, saya menjalani kehidupan di sebuah pesantren di Jawa Timur. Di sana saya menjalani pendidikan klasik yang khidmat. Ruang dan waktu terasa suci karena selalu diisi dengan ibadah dan belajar. Para guru membimbing saya dengan sabar dan tekun, hingga terkadang, pada jam-jam yang longgar, mereka masih rela mengunjungi kamar saya sekadar untuk memastikan muridnya sedang menelaah kitab yang akan dikaji esok hari. Mereka akan merasa begitu senang manakala saya sedang membaca kitab-kitab lain sebagai pendukung materi pelajaran, meski kenyataannya beberapa kali justru merasa sedih karena mendapati muridnya sedang membaca novel.
Hampir semua materi pelajaran di pesantren, mulai aqidah, fiqh, tata bahasa, hingga tasawuf, di sampaikan dalam bentuk puisi (nadzam) yang harus dihapalkan secara bertahap dan disimak oleh seorang guru. Jumlahnya bervariasi sesuai tingkatan dan mata pelajarannya, mulai puluhan, ratusan, hingga ribuan bait puisi. Saya amat menyukai irama puisinya yang, meskipun monoton, repetisinya membentuk intensi dan perasaan sederhana—terutama jika dilantunkan bersama ratusan teman lainnya. Tidak sedikit santri yang tidak naik kelas karena tidak mampu menghapal jumlah bait yang disyaratkan–di samping ujian komprehensif terkait materi pelajaran dalam puisi tersebut.
Selain itu, beberapa pelajaran pokok diharuskan ditulis sendiri dengan menggunakan tinta cina dan pena khusus untuk kaligrafi Arab. Bagi yang menyukainya, itu bisa menjadi ajang menempa diri sebagai kaligrafer profesional. Jari-jari saya sering terasa kaku setelah menulis sebuah huruf hingga ribuan kali dari sebuah gaya kaligrafi (padahal jumlahnya belasan gaya) demi mendapatkan presisi sesuai standar kaligrafi klasik. Saya dapat merasakan bentuk-bentuk awan pada gaya diwany, cahaya yang berkelebat pada tsulus, rombongan kuda yang melaju cepat pada riq’i, yang semua itu ditempa terlebih dahulu dalam gaya elementer nakshi sebagai dasar dari semua keindahan khath Arab. Pada hari Jumat, di mana pengajian sedang libur, saya suka melatih keterampilan kaligrafi hingga berjam-jam, di samping bermain catur dengan para master tingkat kamar atau asrama tempat saya tinggal.
Bagi saya saat ini, masa lalu di pesantren itu adalah sebuah pengalaman puitis yang, meski sering terasa menjemukan, ia membentuk keuletan, ketekunan, serta rasa cinta pada kebajikan dan kebersahajaan. Dalam pengalaman tersebut, Islam adalah sebuah tradisi yang dipenuhi banyak ilmu yang dijelajahi secara bertahap dengan disertai kesadaran sebagai seorang fakir pada rahmat-Nya. Seorang santri tidak akan mudah mengutip Quran dan hadits sebelum menguasai dengan baik ilmu-ilmu pendukungnya; ia sering memilih diam dan mendengarkan sahabatnya yang lebih alim, untuk menghindari kerancuan pemahaman yang dapat menjauhkan diri dari Ilahi. Model pendidikan semacam ini, yang jika ditinjau secara modern kurang efektif dan efisien, justru membentuk pemahaman dan intensi penghayatan agama dengan halus, luas dan dalam.
Satu bulan menjelang ramadhan, rutinitas belajar semacam itu akan berakhir. Banyak dari para santri akan mudik ke kampung halaman, menghabiskan waktu bersama keluarga dan tetangga. Selama di kampung halaman, saya akan mengisi dengan kursus menggambar pada seorang guru, menyalin puisi-puisi yang saya tulis tangan dengan mesin ketik atau komputer, membaca lebih banyak novel, puisi dan biografi, atau mengunjungi pameran-pameran seni sebagai tradisi yang sama menyenangkannya dengan kaligrafi. Tapi, liburan yang menggairahkan itu tidak akan berlangsung lama, sebab bulan ramadhan akan segera tiba.
Pada bulan ramadhan, pesantren-pesantren akan membuka program mengaji kilat. Seorang santri akan mengaji di pesantren lain dengan memilih kitab sesuai minatnya. Kitab-kitab yang tidak menjadi materi pelajaran pokok akan dibacakan, beberapa di antaraya kitab-kitab dengan subjek yang unik seperti tentang manfaat kopi dan tembakau, perbintangan, prosody (ilmu puisi, dalam sastra Arab disebut arudh), seksualitas, pengobatan, sejarah, dan tasawuf atau hikmah. Saya akan dengan senang hati mengkuti pesantren kilat ini; bukan semata karena kitab-kitabnya yang unik, tetapi juga karena membuka kesempatan berkenalan dengan para guru dan dan santri dari tradisi pesantren yang berbeda.
Dalam pesantren kilat, mengingat kitab-kitab itu dipelajari dalam waktu teramat singkat, tidak banyak waktu longgar selama ramadhan. Hanya ada sedikit sekali kesempatan untuk sekadar bersenda gurau sambil minum kopi, atau membeli bermacam makanan. Menu berbuka puasa dan sahur hanya seadanya, yang kami masak dengan cepat mengingat keterbatasan waktu dan keterampilan kami. Sebaliknya, pada saat mengaji di malam hari, karena berlangsung amat panjang hingga larut malam, banyak santri yang mengaji sambil membawa kopi hingga bergelas-gelas, disertai rokok berbatang-batang, untuk melawan rasa kantuk. Tentu saja tidak semua pesantren memberlakukan aturan selonggar itu—banyak di antaranya menganggapnya kurang etis.
Demikianlah, dalam tradisi pesantren yang panjang, pesantren kilat merupakan medium untuk membentuk silaturahmi (sering disederhanakan menjadi, dan mengurangi maknanya, sebagai “jaringan”) para santri dari pesantren dengan kekhasan yang berbeda, kesempatan untuk menambah bekal referensi pendukung untuk materi pelajaran pokok, mencari perspektif lain dari guru yang berbeda mengenai kitab yang sama, mengamalkan intensi dan varasi belajar dari yang sudah biasa dilakukan. Dalam iklim seperti itu, ramadhan di terasa kontemplatif, kosmopolit, bersahaja dan tentu saja spiritual. Suasana tersebut dapat ditemukan di pesantren-pesantren klasik mulai Sumenep sampai Banten, dari Kediri sampai Kudus, dari Tasikmalaya sampai Pekalongan.
Dalam kesempatan itulah, seorang santri juga berkesempatan mengenal silislah pengajaran kitab sampai ke pengarangnya (mushannif), yang diturunkan secara sinambung hingga masa kini lewat jalur yang berbeda-beda. Bersamaan dengan itu, santri dari pesantren fiqh (hukum) bertemu dengan guru atau santri dari tradisi Quran, hadits, atau tasawuf, sehingga membentuk kekayaan khazanah. Meski begitu, setiap pengembangan pemikiran diperhitungkan dengan ketat dan seksama, dengan menyertakan ilmu-ilmu bantuanya —sebuah tradisi yang, bagi sebagian orang yang kurang sabar mengikuti prosedur dan kualifikasi keilmuan Islam klasik sering dianggap sebagai taklid (sementara belajar dari buku-buku terjemahan secara bebas dianggap sebagai “pencerahan” dan bahkan “kemajuan”).
Berangkat dari tradisi beragama seperti itu, bagi saya Islam bukan “agama tanpa surat wasiat” yang tiba-tiba diterima secara “kaffah”, tetapi sebuah keyakinan, wawasan, dan amal yang dibentuk secara sistematis dari hari ke hari lewat seorang guru yang bisa disaksikan akhlak dan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, di sebuah lingkungan dengan semangat yang sama dan perspektif yang kaya. Ibarat seorang pelukis, bagi santri kelana tradisional, Islam dipelajari secara bertahap mulai sketsa, gambar bentuk, nirmana dan komposisi, dalam berbagai ukuran dan medium, disertai pengenalan beragam konsep dari para seniman dari zaman dan aliran yang beragam. Baru setelah itu, seorang seniman punya landasan untuk membentuk visi dan tekniknya sendiri, yang jika cukup berbakat akan melahirkan konsep tersendiri—itu pun biasanya setelah mengikuti “pesantren kilat” (dulu disebut nyantrik, sekarang dipercanggih dengan istilah “workshop” atau “residensi”) kepada beberapa seniman master.
Dari latar belakang seperti itu, Islam yang datang secara sepotong-sepotong, dari orang yang tidak dikenali akhlak, penguasaan keilmuan, amal dan asal-usulnya, kurang menarik minat saya–betapapun dikemas dengan format komunikasi dan desain yang enak dilihat menurut selera umum zaman sekarang. Begitu pula Islam yang menawarkan kemajuan atau peradaban namun monolitik (tidak menimbang pendekatan yang berbeda-beda), instan (sepotong-sepotong dan tanpa menyertakan ilmu-ilmu pendukungnya), kering (lebih menekankan doktrin ideologi daripada pemahaman dan penghayatan), dan membosankan (miskin kreativitas artistik, sementara bahasa Al-Quran begitu puitisnya).
Jika teringat para santri saat pesantren kilat saat itu, saya merasa malu melihat ketekunan, kesederhaan dan kesalehan mereka. Beberapa dari mereka kadang hanya berbekal beberapa kilo beras selama sebulan, namun saat saya menemukan kesulitan mengenai subjek tertentu, mereka akan dengan senang hati, penuh takdzim dan humor memberi penjelasan yang membuat saya dibawa pada khazanah keilmuan Islam itu sendiri, sehingga apa yang saya dapatkan adalah sebuah wawasan akan kebenaran (bukan pembenaran) mengenai subjek tersebut. Tak jarang, mereka menyelipkan kaidah dalam bentuk syair yang membuat saya teringat materi pelajaran yang telah saya pelajari, sehingga otak saya berkembang seperti kepompong menjelma kupu-pupu yang terbang mengitari taman yang adalah tradisi Islam itu sendiri.
Sekarang, bolehlah saya membayangkan, seandainya taman yang dikitari kupu-kupu itu bukan hanya berupa ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang lahir dan berkembang dengan spirit yang sama, pesantren kilat di bulan ramadhan akan menjelma sebuah taman peradaban. Di sana, Ibn Khaldun akan dikaji bersama Braudel dan Hegel, Al-Fihris akan dibahas bersama Herodotus, Al Ghazali akan dikaji bersama St Agustine dan Aristoteles, buah pemikiran Al-Idrisi akan ditinjau bersama dengan mobilitas para sarjana muslim membentuk jejak dan geografi suci, dan ilmu kaligrafi ditransformasi membentuk ekologi monumental dengan menanam seribu pohon sebagai seribu alif, dan jika terdapat berjuta pohon maka Islam akan menjadi taman sekaligus laboratorium botani terbuka seperti halnya istana Madinah Azzahra di masa Andalusia.
Dari tradisi yang kokoh, kaya, kosmopolit khas santri kelana itulah mimpi tentang Islam sebagai peradaban bersemai. Tentu saja, itu adalah mimpi yang naif jika melihat kebanyakan umat Islam masih bekum sabar menekuni agamanya sendiri sehingga pesan Ilahi disederhanakan semata sebagai ideologi politik keagamaan yang ujungnya sekedar menjadi instrumen dari global powers, serta melihat kenyataan bahwa peradaban dibangun dengan teknokrasi yang kompleks, menyertakan aspek material, kultural dan struktural, serta mengakomodasi beragam ide, praktik dan tingkat kreativitas di berbagai bidang.
Banyak dari santri kelana itu kini telah mengembara ke banyak tempat di penjuru dunia dan menjadi ahli di berbagai bidang. Bersama mereka, semoga mimpi itu bersemai menjadi taman yang penuh rahmat baik bagi umat Islam maupun umat agama-agama lain, serta seluruh alam. Dan di malam ramadhan, bolehlah saya, sebagai santri kelana yang kurang taat dan tekun, mengingat dan menanam harapan itu bersama alunan syair yang dulu disenandungkan bersama-sama dengan mereka, menjadi spirit dan visi yang terus hidup.
Artikel ini saya persembahkan untuk Yasin Salma, seorang kakak kelas yang mengajarkan kaligrafi dengan baik, dan pergi begitu cepat dalam usia 15 tahun. Semoga Allah memberinya ampunan dan ridha dalam keabadian. Amin.
Penulis banyak melahirkan puisi dan esei, peminat seni rupa dan kajian budaya. Penyuka tempe mendoan.
Tulisan tersebut dimuat juga di http://syahrazade.com. di sini