Oleh Nasrulloh Afandi
Bulan Ramadhan bukanlah momentum simbolis takwa massal. Tetapi di momentum yang hanya datang setahun sekali itu, setiap individual (Muslim) harus menjadikannya semaksimal mungkin ladang untuk menanamkan nilai-nilai positif yang relevan dengan seruan agama (Islam) muaranya untuk menghasilkan ketakwaan secara massal di ranah publik.
Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya “Fiqhu Ash-Shiyam” , ia menegaskan, selain berbagai manfaatnya pencerahan – medis, psikologis, spritual, dan lainnya. Puasa Ramadhan sejatinya adalah sekolah unggulan untuk pendidikan yang sangat berharga, dan mempunyai arti tertinggi, dibuka oleh Islam setiap tahun, untuk setiap individu yang beriman kepada Allah SWT.
Perspektif ushul fiqih, Ia disebut Sar’un Man Qoblana (syariat yang sudah ada sejak masa umat para Nabi terdahulu) namun demikian, esensinya tetap sama, momentum menempa diri bagi setiap Muslim untuk menjadi lebih baik.
Ditegaskan oleh firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqoroh: 183)
“Puasa adalah syariat lama yang diwajibkan semenjak umat era Nabi pertama, Adam AS”, demikian komentar para ulama tafsir.
Selain ibadah puasa kewajiban setiap muslim (Fardu ‘Ain) Rukun Islam ke-empat umat Nabi Muhammad. Di sisi lain sungguh merugi, jika (esensi) Ramadhan tidak maksimal dijadikan momentum evalusi dan penempaan diri, plus mendekatkan diri pada Allah SWT (taqorrub ilalloh) oleh setiap Muslim. Juga mengimplementasikan berbagai hal positif religius. Vertikal yang berkaitan dengan Sang Pencipta, maupun horizontal yang berkaitan dengan sesama hamba-Nya.
Imam Syafi’I berpendapat: Berbagai ibadah dalam beragama Islam, itu dilatar belakangi maksud diciptakannya makhluk.
Firman Allah SWT: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(QS. Adz-Dzariat: 56)
Ramadhan adalah “garis start” Keberuntungan yang dianugerahkan kepada orang beriman. Identiknya, dengan datangnya Ramadhan, pasca-Ramadan nanti, setiap individu muslim bukan hanya (akan) Menjadi orang bertakwa kepada Allah SWT, untuk meraup “mutiara“ di luasnya "lautan” keberuntungan bernama Ramadan. Menjadi manusia yang lebih meningkatkan kualitas sumber daya dirinya dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan.
Dalam tinjauan Maqhosid Asy-Syar’iah (tujuan Syariat) ibadah puasa Ramadan, esensinya adalah, agar orang yang beriman, bisa menjadi bagian dari orang-orang yang bertakwa (La’allakum Tattaqun) Ketakwaan dimaksud adalah, bukan hanya semasa bulan Ramadhan belaka, tetapi tetap bertakwa meski Idul Fitri berlalu, dan sampai dengan datangnya Ramadan tahun berikutnya.
Syeikh Abdul Qodir Jailani, dalam Tafsir Al-Jailani-nya menyimpulkan: Takwa adalah hasil dari sebuah pekerjaan (taat kepada Allah SWT) Dengan melaksanakan segala perintahnya, dan menjauhi segala larangannya. Hal itu diungkapkan dalam penafsirannya terhadap surat Al-Baqoroh ayat dua: “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(QS. Al-Baqoroh: 2)
Yang dimaksud oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani itu adalah, barang siapa yang menjadikan Alquran pedomannya, maka Ia akan menjadi bagian dari orang bertakwa. Alhasil takwa adalah “Honoris Causa” Bagi setiap pribadi orang beriman yang telah berusaha maksimal (dan mampu) tunduk pada Syariat Ilahi.
Hal ini, perspektif maqhosid syariah (tujuan syariat) menurut Syeikh Muhammad Ratib An-Nabulsy, salah satu ulama terkemuka asal Syiria. Ia berpendapat: ”Maksud Allah SWT yang Maha Agung memerintahkan kita untuk berpuasa adalah, agar kita bisa menjadi bagian dari golongan orang yang bertakwa. Dan Allah SWT memenuhi hati kita dengan petunjuk, dan untuk bisa membedakan antara perkara yang hak dan bathil”.
Kesadaran individual untuk massal
Hemat penulis, kesalehan atau ketakwaan massal nihil terwujud jika tidak diawali oleh kesalehan (kesadaran) masing-masing individu di dalamnya. Dengan implementasi unsur-unsur positif (agama) kesalehan dan hal-hal positif yang dimaksud adalah, bukan hanya yang berkaitan dengan Sang Pencipta (vertikal) tetapi juga yang erat dengan sesama manusia (horisontal). Hal itu identik dengan sebagian hikmah disyariatkannya puasa Ramadhan: Untuk mebentuk pribadi Muslim yang kian kokoh dalam mengamalkan atau menerapkan nilai-nilai positif, yang berkaitan dengan Illahi, maupun sesama insani.
Contoh kecil, jika di suatu keluarga misalnya, masing-masing anggota keluarga telah menjadi individu yang saleh, maka keluarga tersebut telah menempati posisi keluarga saleh. Yang akan merembet kepada tetangga, terus lingkungannya. Karena suatu lingkungan tidak bisa menempati posisi lingkungan saleh, jika masing-masing warga di lingkungan tersebut tidak menjadi keluarga saleh. Dan level seterusnya yang lebih luas.
Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS.At-Tahrim: 6)
Adalah jelas sebuah perintah dari Sang Pencipta, untuk memprioritaskan -- diri sendiri -- secara individual sebagai orang bertakwa, kemudian berikutnya barulah melebar ke level keluarga dan orang sekitarnya.
Kebalikannya, tentu jika di suatu lingkungan terdapat satu individu atau oknum keluarga yang rusak akhlaknya, maka dari jauh pun publik menilai bahwa lingkungan tersebut tidak religius, warga satu lingkungan kena getahnya.
Alhasil, kondisi (proses) takwa, bagi totalitas suatu bangsa dan negara, harus diawali dari kesadaran dan upaya unsur-unsur individu yang berada dalam lingkup tersebut. Jika setiap individu muslim, maksimal dalam beramal ibadah di bulan Ramadhan, niscaya secara estafet suatu bangsa (akan) menjadi bangsa yang bertakwa secara masal dengan level nasional bahkan internasional, bukan? Efek samping simbolis “kesalehan massal”.
Empat mazhab fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sepakat bahwa, autentisitas ibadah puasa adalah vertikal, hanya Allah SWT yang tahu. Tidak seperti ibadah lainnya yang terkadang masih bisa dibuat pura-pura dilaksakan di mata sesama manusia.
Di sisi lain, jika Ramadan diposisikan sebagai simbolis “kesalehan masal”, berisiko setiap individu terjangkit virus tangung jawab (beribadah) pribadinya kurang maksimal. Rawan menganggap Ramadhan sebagai “kewajiban bersama”, bukan momentum lautan pahala (unsur positif) dan proteksi untuk diri sendiri. Sehingga kurang bersemangat dalam menggapai anugerah Illahi untuk dirinya sendiri di bulan suci itu, dianggap “hajatan” massal belaka.
Publik Muslim memang dianjurkan untuk bersuka cita menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sayangnya, di ranah Muslimin Indonesia “akar rumput”, hal yang kurang tepat adalah, adalah memposisikan Ramadan sebagai momentum “kesalehan masal”, yang datang setahun sekali, sehingga banyak sekali yang salah kaprah. Dan beresiko sikap “tidak perlu” menyiapkan diri sendiri (individual) secara maksimal dalam menyambut datangnya bulan penuh Rahmat itu, dominan menyambut Ramadan secara “Simbolis massal” sebagai suatu “seremonial” tahunan.
Di pranata Muslim Indonesia pun akut menjangkit, mulai mentradisi dan menguat. Bahkan terjadinya “pemutar balikan” fakta. Fenomenanya seolah-olah puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadan "tidak syah" jika tidak menjadi “orang Saleh” secara massal, bila perlu di muka publik, bahkan diekspose media. Cukup memprihatinkan.
Selamat melaksanakan berbagai ibadah di bulan Ramadhan. Mari kita (berusaha maksimal) menjadi individu bertakwa, sebagai upaya --partisipasi Individual-- menyumbangkan diri kita, untuk estafet membentuk totalitas sebuah bangsa yang bertakwa.***
Nasrulloh Afandi
Mustasyar PCINU Maroko. Pengajar senior Asy-Syafi'iyyah Kedungwugu Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat.