Opini

Puncak Etika Politik Gus Dur

Sab, 30 Desember 2023 | 13:45 WIB

Puncak Etika Politik Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Tepat hari ini, 30 Desember 2009, sekitar jam 18.45 WIB, Gus Dur pergi menghadap sang Khaliq. Meski sudah 14 tahun Gus Dur pergi meninggalkan kita, namun jejak-jejak sejarah dan nilai-nilai yang diajarkan  rasanya masih terlihat jelas dan relevan. Di tengah suasana politik yang penuh ketegangan seperti sekarang, etika politik Gus Dur semakin relevan untuk digali dan diteladani.


Gus Dur telah memberi teladan  bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan menggunakan kekuasaan. Dari Gus Dur kita dapat belajar bagaimana memegang prinsip dalam politik dan bagaimana bertahan pada prinsip ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan pelik dan berbagai tekanan politik. Inilah yang penulis maksud sebagai etika politik Gus Dur. Untuk melihat etika politik Gus Dur, kita perlu kembali mengingat peristiwa monumental yaitu pemakzulan Gus Dur sebagai Presiden RI beserta proses yang menyertainya.

 
Proses pemakzulan Gus Dur dimulai dari ketegangan hubungan antar Gus Dur sebagai presiden dengan para politisi di Senayan yang berkolaborasi dengan elit pejabat dan pengusaha. Ketegangan ini dipicu oleh beberapa kebijakan dan pernyataan Gus Dur yang dirasa merugikan dan membahayakan kelompok elit. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya, Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No. 19/2000.

 

Alasan pembentukan tim ini karena Gus Dur melihat terlalu lama kalau harus menunggu terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Gus Dur  TGPTPK merupakan embrio agar KPK segera dibentuk. Dengan tim ini pemberantasan korupsi segera dapat dilakukan.


Sebelumnya, Gus dur juga mengangkat dan melantik Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang merupakan realisasi dari UU no. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) yang dikeluarkan presiden B.J. Habibie. Komisi isi sangat ditakuti oleh para pejabat negara, karena memiliki otoritas yang kuat untuk memeriksa kekayaan pejabat negara secara langsung baik atas inisiatif sendiri maupun atas laporan masyarakat.

 

Jika ada kejanggalan atas kekayaan yang dimiliki oleh pejabat negara bisa dilaporkan dan ditindak lanjuti dengan pemeriksaan oleh KPKPN. Inilah yang membuat pelantikan Komisioner KPKPN ini menjadi kontroversi karena mendapat tantangan dari beberapa pihak yang merasa kepentingannya dan posisinya terancam.


Selain kebijakan yang mempersempit ruang gerak koruptor, Gus Dur juga sering membuat pernyataan yang membuat jengah para elit dan pejabat negara. Misalnya pernyataan tentang penangkapan Tommy Soeharto yang diucapkan setelah shalat jum’at di masjid al-Munawaroh Ciganjur pada 29 Desember 2000. Juga pernyataan Gus Dur tentang Tommy Winata (TW).


Dalam sesuatu dialog terbuka di SCTV, pada 24 April tahun 2000, Gus Dur secara terang-terangan menyebut TW sebagai pemilik bisnis judi di  Kepulauan Seribu. Kemudian secara tegas Gus Dur memerintahkan Kapolri agar segera menutup dan menangkap TW. “Saya mendapat laporan ada pulau di teluk Jakarta dipakai untuk perjudian. Karena itu, saya minta kepada Kapolri untuk menutup dan mengenakan tindakan tindakan hukum kepada para pelakunya. Ini bukan karena saya setuju atau tidak setuju, tetapi karena itu melanggar undang-undang”, demikian kata Gus Dur pada waktu itu. “Kalau kita tidak berani demikian, artinya kita semua bisa dibeli. Karena itu, saya mengharapkan, kita semua tunduk kepada hukum. idealisme hukum atau institusi akan tegak hanya karena kita laksanakan secara konsekuen secara bersama-sama," lanjut Gus Dur.


Di sisi lain, Gus Dur juga membuat kebijakan yang pro-rakyat, misalnya menaikkan gaji pengawai negeri Sipil dan TNI/Polri sampai 270%, pencabutan larangan ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat publik melalui PP No. 6/2000. Pada awal 2001 Gus Dur pernah menyatakan bahwa  40 persen tanah HGU yang dikuasai perkebunan adalah hasil menyerobot tanah rakyat. Oleh karena itu, ketika HGU telah habisGus dur menyerukan agar tanah tersebut hendaknya dibagikan kepada rakyat.


Beberapa kebijakan dan pernyataan inilah yang memantik ketegangan antara gus Dur dengan kaum oposisi, baik yang ada di parlemen maupun non-parlemen. Kebijakan-kebijakan ini tidak saja mengancam kepentingan sebagian elit politik yang sudah merasa nyaman, tetapi juga merugikan mereka..Kekhawatiran kelompok oposisi semakin meningkat, karena Gus Dur semakin mendapat simpati dari masyarakat akibat kebijakannya yang menguntungkan rakyat. Inilah yang membuat kaum oposisi semakin gencar melakukan tekanan dan serangan kepada Gus Dur.


Sebagai respon atas berbagai kebijakan dan pernyataan yang merugikan kelompok elit itu, maka muncul kasus bulog gate dan Brunei Gate. Dalam kasus ini Gus Dur dituduh menggunakan uang Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dolar AS dan penyelewengan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta AS. Berdasarkan tuduhan ini, Gus Dur dianggap melanggar UUD 45 tentang Sumpah Jabatan dan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN. Dari sini DPR membentuk Pansus untuk menyelidiki kasus tersebut. Ketegangan ini terus memuncak, hingga muncul isu pemakzulan terhadap Gus Dur.


Dalam suasana politik  yang makin panas, muncul inisiatif beberapa elit politik untuk melakukan kompromi politik. Mereka menawarkan sejumlah solusi alternatif kepada Gus Dur untuk menghentikan ketegangan yang ada. Isu ini muncul setelah Gus Dur memberikan jawaban atas Memorandum DPR  Namun secara tegas Gus ur menolak tawaran kompromi politik tersebut.


Di tengah ketegangan itu, penulis berkesempatan bertemu Gus Dur. Penulis lupa tanggal persisnya, tapi pertemuan itu terjadi pada bulan Juni 2001, di rumah jalan Irian. Dalam pertemuan tersebut penulis memberanikan diri  bertanya, mengapa  Gus Dur menolak kompromi politik. “Bukankah itu cara terbaik mengakhiri konflik dan ketegangan antara presiden dengan pihak oposisi?” tanya penulis pada Gus Dur.


Atas pertanyaan penulis Gus Dur menjawab bahwa dia menolak kompromi politik karena isinya tidak sesuai dengan konstitusi. Tanpa menjelaskan secara rinci apa isi dari tawaran kompromi politik, dengan tegas Gus Dur bilang: “isi kompromi itu mengamputasi kekuasaan dan wewenang presiden, tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Kalau kompromi saya terima, saya tidak dapat lagi membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat, sebagai presiden saya juga tidak dapat melakukan pemberantasan korupsi secara cepat, karena kewenangan seperti itu sudah diambil,” demikian penjelasan Gus Dur pada penulis.


“Tapi katanya kalau kompromi itu diterima, posisi sampean aman, Gus. Mereka akan akan menjaga dan menjamin sampean tetap menjadi presiden sampai akhir periode,” kata penulis menelisik.


“Buat apa berkuasa kalau tidak dapat menyejahterakan rakyat, buat apa jadi presiden kalau tidak dapat melawan koruptor?” kata Gus Dur dengan suara tinggi sambil menatap tajam ke penulis.


“Saya duduk di sini ini ingin memberikan manfaat yang lebih besar kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Kalau ada yang menghalangi akan saya lawan. Yang penting saya benar, sesuai konstitusi. Saya akan melawan meskipun saya kalah, yang penting saya tidak salah,” demikian penjelasan Gus Dur dengan tegas dan jelas.


Pernyataan Gus Dur ini ternyata tidak hanya disampaikan pada penulis, tetapi juga di hadapan publik. Selesai shalat Jumat di Masjid Kyai Hasan Besari, Jetis, Ponorogo, saat itu Gus dur menyatakan bahwa dia menolak anggapan telah menerima kompromi politik dengan lawan politiknya, terutama mereka yang telah terlibat KKN. Gus Dur akan menerima kompromi politik jika untuk membangun bangsa dari keterpurukan.


Terus terang, mendengar jawaban Gus Dur, penulis hampir menangis meneteskan air mata. Di sini penulis melihat secara gamblang etika dan nilai-nilai politik Gus Dur. Beliau rela mempertaruhkan jabatan dan kekuasaan demi membela dan mempertahankan nilai dan etika politik yaitu kemaslahatan umat dan keselamatan bangsa dan negara.


Bagi penulis, pernyataan Gus Dur, “Akan saya lawan, meskipun harus kalah, lebih baik kalah dari pada salah” adalah puncak dari etik politik seorang Gus Dur. Artinya etika politik Gus Dur adalah menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan umat, membela yang lemah dan terpinggirkan, bersikap tegas pada mereka yang serakah dan melawan kedhaliman.


Di tengah hiruk pikuk politik yang sedang terjadi, etik politik Gus Dur ini menjadi penting untuk terus ditanamkan dan digaungkan, sebagai energi untuk melawan perilaku politik yang mengagungkan semangat “biar salah yang penting tidak kalah.”


Ngatawi Al-Zastrouw, penulis buku Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritis atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, eks Sekretaris Pribadi Gus Dur