Opini

Puasa dan Pendidikan Kepekaan Sosial

NU Online  ·  Sabtu, 2 Juli 2016 | 04:00 WIB

Oleh Misbahul Munir

Banyak pembahasan mengenai puasa. Mulai dari hal yang diwajibkan dalam berpuasa, hal yang disunahkan dalam berpuasa, hal apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam berpuasa. Bila bicara mengenai puasa, seolah tidak akan ada habisnya materi yang hendak kita diskusikan. Telah banyak para ustadz-ustadz yang membahas mengenai puasa. Seperti pada acara rutinan saat Ramadhan di beberapa televisi swasta, acara pengajian di masjid-masjid umum, serta banyak tulisan di media yang menyediakan halaman secara khusus yang membahas mengenai puasa.

Memang ada banyak hal yang bisa kita bicarakan ihwal puasa. Salah satunya adalah mengenai tujuan dari puasa. Sebagaimana yang telah tercantum dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 183, bahwa salah satu tujuan dari adanya ibadah puasa adalah agar bertambahnya ketaqwaan umat Islam kepada Allah SWT. Umat Islam diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar bertambah keimanan dan ketaqwaannya. Bertambah dalam hal keyakinannya, yang kaitannya dengan keimanan kepada Allah, bertambah teguh dan mantap eksistensi imannya umat Islam sebagai mahluk yang menghambakan diri kepada Tuhannya.

Allah juga menempatkan posisi hamba yang berpuasa di tempat yang sangat istimewa. Bahkan kaitannya dengan pahala berhubungan langsung dengan Allah tanpa adanya perantara. “puasa itu untuk-Ku. Tidak ada yang tahu. Dan aku sendiri yang akan memberikan pahala dengan kehendak-Ku”. Begitulah betapa amalan ibadah puasa ini dijalankan berhubungan langsung kepada Allah tanpa ada mediasi yang menjadi lantarannya. Puasa urusannya langsung kepada Allah. Berbeda dengan amalan ibadah yang lain seperti sholat, zakat, sedekah, haji dan lain sebagainya yang masih menggunakan perantara dalam proses pengamalannya, baik perantara melalui sesama manusia maupun perantara melalui malaikat.

Selain tujuan dalam hal agar bertambahnya ketaqwaan seorang hamba, puasa juga mempunyai manfaat terhadap diri pribadi seorang hamba yang melakukannya. Puasa mempunyai keutamaan secara lahiriah maupun bahtiniah. Secara lahirian, sabda Rasulullah “Shûmû tashihhû (Berpuasalah kalian! Niscaya kalian akan sehat)”. Sudah jelaslah bahwa seorang yang berpuasa itu akan mendapatkan kesehatan. Baik kesehatan jasmani maupun rohani. Secara gamblang Rasul menegaskan hal tersebut. Tidak sedikit terdapat cerita bahwa ada seseorang yang sebelumnya mempunyai penyakit tertentu, ketika puasa selama bulan Ramadhan, maka sembuhlah penyakit tersebut. Ini merupakan salah satu bukti konkrit bahwa berpuasa itu menyehatkan secara jasmani.

Lalu jika kita membahas mengenai puasa dari sisi rohani (ruhiah), jelaslah sebenarnya katika berpuasa, umat Islam sedang ditempa, digembleng, digojlok oleh kawah candra dimuka pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Yang tadinya mempunyai sifat tidak sabar, maka puasa melatih agar dapat bersabar. Jika sebelumnya tidak bisa menahan amarah, maka puasa melatih dapat memanajemen amarah. Jika sebelumnya belum bisa menahan nafsu, maka puasa melatih agar dapat menahan hawa nafsu. Pendek kata, secara rohani puasa dapat mensehatkan kita dalam segi kejiwaan.

Ada salah satu riwayat hadis yang menjelaskan bahwa setan menggoda manusia melalui aliran darah. Sepanjang darah manusia masih mengalir, maka sepanjang itu pula setan masih menggoda. Maka ketika umat Islam berpuasa, aliran darah yang disalurkan melalui makanan tidak berjalan lancar seperti biasanya yang ketika tidak berpuasa, nadi yang dilalui darah menjadi lebih mengecil, dan disitulah jalan setan menggoda bisa diperkecil. Dari situ dapat disimpulkan bahwa dengan berpuasa, maka kita dapat terjaga dari godaan setan. Walau kadang dalam kenyataannya ketika orang berpuasa masih ada saja yang berbuat dosa, namun setidaknya dengan puasa ini umat Islam dapat lebih manjaga diri dari godaan tersebut.

Lalu bagaimanakah jika kita bahas puasa ini melalui aspek sosial. Jika kita sudah mengetahui secara jelas, bahwa puasa bertujuan untuk menambah ketaqwaan umat Islam, memberikan kesehatan secara jasmani dan rohani kepada umat Islam, menjauhkan dari godaan setan. Adakah kautamaan puasaini dalam aspek sosial? Maka, sesungguhnya puasa juga mempunyai nilai-nilai sosial. Puasa tidak hanya membahas urusan seorang hamba dengan tuhannya (hablum minallah), tetapi puasa juga membahas urusan hamba dengan hamba (hablum minannas) atau aspek sosial sesama manusia.

Aspek Sosial

Ternyata titik fokus eksistensi puasa bukanlah pada menambah ketaqwaan saja. Bukan hanya kaitannnya antara hamba dan Tuhannya, tetapi juga terdapat kaitan antara sesama hamba. Banyak perihal puasa yang kaitannya antara sesama hamba, antara lain dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa seperjuangan, rasa seimanan sekeyakianan, rasa persaudaraan, rasa lebih memiliki teman ketika sama-sama berpuasa dan juga dapat menebarkan kasih sayang terhadap sesama Muslim yang sedang melakukan ibadah puasa.

Ketika umat Islam berpuasa, di mana sedang berjuang bertahan melawan rasa lapar yang melilit perut, haus yang mencekik tenggorokan, di situ membuat tersadar dan ikut merasakan bagaimana rasanya ketika menjadi seorang yang dalam keadaan kekurangan. Ikut merasakan penderitaan saudara sesama Muslim yang memang dalam kesehariannya selalu lapar dan haus karena memang memiliki kondisi ekonominya serba kekurangan.

Jika umat Islam dapat merasakan kesusahan yang dirasakan oleh saudaranya yang dalam kekurangan, maka di situ akan tergugahlah jiwa sosial seorang Muslim. Setelah mengetahui bagaimana rasanya hidup dalam rasa lapar dan kekurangan karena tempaan puasa, diharapkan akan tumbuh kesadaran dan pada akhirnya mau saling membantu dan mengulurkan tangan pada saudara yang kekurangan. Dengan demikian, salah satu hikmah dari puasanya ini adalah tergugahnya jiwa sosial pada diri umat Islam.

Walhasil, pada momentum bulan yang penuh rahmah ini, marilah kita tingkatkan rasa solidaritas dan kepekaan sosial sekaligus toleransi kita terhadap sesama.Puasa dapat menjadi mediasi bagi kita untuk memperoleh pendidikan kepekaan sosial. Harapannya, setelah melewati puasa Ramadhan ini, tergugahlah jiwa sosial umat Islam yang kemudian menjadikan terciptanya suatu tatanan masyarakat Muslim yang sejahtera, saling mengasihi dan menyayangi. Semoga!

Penulis adalah santri di Pondok Pesantren Tegalsari Sleman; mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan