Opini

Puasa dan Kebajikan dalam Masyarakat Pluralis

NU Online  ·  Ahad, 8 Oktober 2006 | 14:31 WIB

Oleh: KH A. Hasyim Muzadi

Puasa Ramadhan sebenarnya  tidak hanya bermakna  secara individual, justru tekanan  terhadap makna sosialnya lebih didominankan. Karena itu, banyak anjuran bagi mereka yang berpuasa  untuk melakukan banyak kebajikan yang begitu dibutuhkan dalam masyarakat. Karena Indonesia dikenal sebagai  negara yang sukses melakukan toleransi  antara umat beragama, belakangan –terutama  sejak reformasi– masalah kerukunan antarumat beragama ini terusik. 

<>

Saya tidak akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah atau keyakinan  karena sudah jelas itu urusan masing-masing  pemeluk agama. Yang ingin kita kembangkan ke  depan, bahwa sekarang ini kita tak terhindarkan hidup dalam masyarakat pluralis atau majemuk  dengan berbagai keyakinan agama. Karena itu, berbuat kebajikan atau amal sosial antara umat  beragama tampaknya menjadi hal yang perlu diperluas dan diintensifkan. 

Pertama, karena kondisi negara  kita dewasa ini masih terpuruk dan  terus terbelit krisis ekonomi, sehingga  pemecahannya memerlukan  kerja sama dan koordinasi antara  sesama anak bangsa, antarpemeluk umat beragama.

Kedua,  ada potensi yang bisa digerakkan antar umat beragama dalam rangka untuk  membuat kebajikan sosial bersama- sama, misalnya untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Jadi, pluralisme di sini tidak ada kaitannya dengan masalah  akidah atau keyakinan, tetapi lebih  pada aspek sosial atau muamalah. Dalam konteks kebangsaan dan kemasyarakatan, di mana kita tak  bisa terhindarkan dengan kondisi  sosial yang majemuk, maka umat  Islam sebenarnya tak perlu kiranya  membesar-besarkan adanya perbedaan. 

Yang harus kita cari dan kita  dorong sekarang ini adalah bagaimana  mencari kesamaan visi dan  misi terutama soal kerja sosial dan  kemanusiaan. Yang jelas, Alquran  juga memberi penegasan bahwa  segala perbuatan amal saleh manusia  tetap akan mendapat balasan  dari Allah. Mengenai keyakinan kepercayaannya, Allah sendiri yang akan memutuskan. 

Banyak hal yang bisa diperbuat di negeri ini dengan mengembangkan kerja sama dan koordinasi untuk penegakan amal sosial dan proyekproyek  kemanusiaan. Proses pemberdayaan masyarakat yang nuansanya untuk pemberdayaan kemiskinan dan pengangguran tampaknya perlu untuk kita tingkatkan. Namun, dengan catatan, janganlah proyek seperti ini diarahkan untuk kembali  membenturkan keyakinan antar umat beragama, atau untuk mengajak orang masuk ke agamanya. 

Islam menjunjung toleransi beragama, dan justru menghormati dan menghargai adanya perbedaan  karena latar belakang sosiologis, antropologis, maupun agama. Bahkan, di dalam perintah Allah dalam Alquran yang mewajibkan puasa Ramadan sebagai puasa wajib, juga menyebut  tentang toleransi beragama, yaitu bahwa puasa itu juga telah dilakukan kaum atau umat beragama lain sebelum Islam.

Banyak ayat-ayat  dalam Alquran yang mengakui adanya  pluralitas ini, seperti firman Allah: ”Dan Kami telah turunkan kepadamu  Alquran, dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan  meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan  aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap  pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba- lombalah berbuat kebajikan. Hanya  kepada Allah-lah kembali kamu semua,  lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa  yang telah kamu perselisihkan itu (QS  Al-Maidah (5): 48).

Jadi jika kita menyimak ayat di atas, jelas Allah menginginkan adanya pluralisme itu justru bisa dijadikan ajakan untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan.Saya kira, ayat  tersebut sangat kontekstual dengan keberadaan bangsa Indonesia, yang sekarang harus dipacu, ber-fastabiqul  khoirah dalam rangka keluar dari krisis, dan menuju kondisi negara yang lebih baik, makmur dan adil, atau menuju negara baldatun thoyibatun  warabbun ghofur.