Opini

Persoalan Dakwah di Hong Kong dan Macau

NU Online  ·  Sabtu, 8 Juli 2017 | 03:03 WIB

Oleh Saepullah 

Sebagian orang mungkin merasa tidak nyaman dengan tulisan ini karena saya ingin mengawalinya dengan pembahasan tentang kloset. Namun saya percaya hikmah bisa datang dari mana, saja termasuk dari kloset.

Bisa dibilang kota Hong Kong dan Macau merupakan kota yang sulit bila kita mencari kloset jongkok. Sebagai Muslim saya tentu kerap kesulitan untuk buang air besar karena tidak adanya kran air di sisi kloset. Terkadang mesti menyiapkan botol minuman sebelumnya. 

Orang Hong Kong dan Macau terbiasa hanya menggunakan tisu untuk membersihkan istinja. Mereka juga dikenal jarang mandi. Hanya sekali dalam sehari mereka mandi, yaitu saat pulang kerja di malam hari. Salah satu yang menjadi alasan ialah untuk menghemat air. Mereka tak mengenal mandi walau sehabis berhubungan suami istri. Bagi mereka yang penting sikat gigi dan memakai minyak wangi.

Maka begitu landing di bandara Soetta pada Selasa, 27 Juni pukul 19.45 WIB, saya senang bertemu kloset jongkok. Betapa saya semakin bersyukur, dimana lahir dan besar sebagai orang Indonesia yang beragama Islam. Airnya melimpah deras, serta bisa bebas menjalankan ibadah. Semakin juga bertambah kesadaran saya bahwa Islam sebagai agama yang mengajarkan kebersihan dan kesucian dalam segala aspeknya. Yang mencakup aspek lahiriyah dan aspek batiniyah. 

Ketika shalat misalnya tak cukup bersih dari najis, kita juga harus suci dari hadast kecil maupun besar. Demikian juga makanan, tak cukup hanya halal (secara zat dan cara memperolehnya), tapi juga ada thayyib (baik untuk kesehatan, tidak membahayakan secara jasmani dan rohani). Itu sebabnya selama di Macau ataupun Hong Kong perlu berhati-hati menyangkut makanan dan masakan. Betapapun, tuntunan dan ajaran Islam amat sesuai dengan fitrah manusia. 
*

Sebelumnya pada pukul 16.00 waktu Hong Kong kami berlima—saya, Ustad Taufik Munir, Ustad Saifullah, Ustad Saiful Mujab, Ustad M Qadar Syahidin—take off dari Hong Kong International Airport. 

"Berangkat bareng, pulang bareng," ungkap saya. 

Selama di Hong Kong dan Macau, aktivitas dakwah kami punya cerita masing masing. Kalau ditanya apa yang paling berkesan buat saya pribadi, sebetulnya akan banyak peristiwa  yang berkesan. 

Namun, jika harus memilih diantara episode yang paling menark selama berdakwah di sana ialah adanya semangat beragama yang kuat di tengah masyarakat yang bergaya hidup bebas, seperti rutinnya shalat tarawih dan pengajian di tengah malam walau sudah lelah bekerja. Itu menjadi sebuah kesan tersendiri bagi saya. 

Bagi saya sendiri, selama di Hong Kong dan Macau, ada beberapa catatan. Pertama, tak seperti yang lain yang tetap berada di Hong Kong, justru saya ditugaskan ke Macau sejak tanggal 31 Mei sampai 24 Juni. Saya bisa melihat kehidupan secara langsung masyarakat setempat dan masyarakat Indonesia yang ada di sana. Bagaimana situasi dan kondisi di Macau—yang juga dikenal sebagai kota judi—juga menambah cara pandang saya. 

Kedua, saya meyakini bahwa Islam sebagai agama yang berlaku sepanjang zaman dan waktu, dan itu bisa diaplikasikan walau berada di lingkungan yang nonmuslim. Karakteristik ajarannya yang tidak ingin menyulitkan, membuat siapa pun yang beragama Islam, tak perlu berkecil hati apalagi psimis dalam menjalankan agama. 

Ketiga, berdakwah kepada masyarakat yang notabene belum mengenal Islam dilakukan dengan kasih sayang, cinta dan dakwah bil hal (akhlak yang mulia). Paling tidak ada kesan yang diterima baik tentang agama Islam melalui pemeluknya. 

"Kamu kalau carikan aku yang berjilbab ya," begitu cerita Bu Lastri saat dimintai majikannya yang non Muslim untuk mencarikan BMI. Ada pula yang senang dengan shalawat bahkan saling men-share untuk menemani tidur anak-anak Macau.

Keempat, setiap Muslim di manapun sebetulnya membawa citra Islam, BMI yang di Hong Kong maupun di Makau selalu saya ingatkan terkait hal ini. Bukan hanya itu mereka juga membawa citra Indonesia. Kesan masyarakat setempat terhadap Islam dan Indonesia ditentukan olehnya. 

Kelima, adanya budaya berkelompok dan berorganisasi (walau tidak secara mapan) di Macau ataupun Hong Kong sangat potensial untuk dimanfaatkan secara optimal. Hanya saja memang yang menjadi problem ialah perlunya bimbingan, kaderisasi, pelatihan dan manajemen yang baik serta dorongan moril ditengah pengaruh gaya hidup dan individualistis masyarakat setempat. 

Tak jarang juga banyak BMI justru bergaya hidup bebas ala Hong Kong ataupun Macau karena minimnya benteng masyarakat atau proteksi sosial. Keberadaan PCINU, LAZISNU maupun Muslimat NU yang kuat dan bersinergi adalah harapan-harapan bagi terlindung dan majunya masyarakat Nahdiyiin di luar negeri.

Saya menemukan masalah yang beragam, dari pengamalan agama di tengah minoritas. Belum lagi kondisi psikologis dan kesehatan mental, faktor ekonomi dan pengelolaan keuangan, bahkan faktor politik di Indonesia yang juga mewarnai iklim masyarakat di Macau ataupun Hong King sehingga saya perlu menanamkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Ada juga konflik dengan keluarga, jodoh, cinta sampai hubungan terlarang. 

Di sini seorang dai dituntut bukan hanya memberikan bimbingan keagamaan, tapi juga menjadi seorang motivator dan memberikan konseling bahkan siap bila hapenya berisi curhatan atau pertanyaan. Namun demikian, keikhlasan ialah hal priorotas utama dalam menjalankannya.

Pernah suatu ketika ada seseorang mendatangai saya. Ia ceritakan sudah menghabiskan uang hingga sekitar 40 jutaan untuk biaya konseling mengenai problemnya. Problemnya unik, bahwa ia suka dengan seseorang akhirnya dia berusaha menggunakan ajian pelet dari internet. Sejak kejadian itu ia merasa terganggu. Dan ini salah satu potongan curhatan yang saya terima. 

Semoga apa yang saya lakukan di Macau dan di Hong Kong walau masih terlalu jauh bila dikatakan berdakwah, bisa menjadi pelajaran hidup sekaligus pengalaman yang berharga sebagai modal untuk berdakwah di negeri berikutnya aamiin. 

Berdakwah jangan hanya dimaknai sempit. BMI yang menguasai bahasa setempat amat potensial untuk mengenalkan Islam di negeri Tiongkok secara lisan. Amat banyak lahan dakwah di Macau dan Hong Kong yang belum tergarap. Namun yang utama sebagaimana saya sebutkan di atas ialah dakwah dengan bahasa cinta dan kasih sayang serta keteladanan sebagaimana Baginda Nabi Muhammad SAW.


Penulis adalah anggota Tim Inti Dai Internasional dan Media (TIDIM) LDNU dengan penugasan ke Macau dan Hong Hong. Kegiatan ini bekerjasama dengan LAZISNU