Sejarah selalu berulang. Paling tidak, mirip. Maka, amat pas ketika semangat itu dikurung Polycarpus (P) Swantoro ke dalam judul buku yang diterbitkan pada 2007; Masalalu Selalu Aktual.
Setidaknya, ada tiga makna kata “aktual” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pertama, perihal kebenaran. Aktual berarti betul-betul ada. Kedua, obyek perbincangan. Ia difungsikan untuk menyasar pada hal ihwal yang tengah banyak diobrolkan.
Makna terakhir, aktual adalah penceritaan suatu peristiwa yang baru saja terjadi. Barangkali, definisi inilah yang paling bernilai berseberangan dari kata “masa lalu”, sejarah, atau sejenisnya.
Di sini pula menariknya. Satu lema yang dibentuk untuk menyebut kejadian lampau, digandeng dengan pengistilahan untuk sebabak kabar hari ini. Dan kembali ke Swantoro, ia mendaulat kalimat ajaib itu untuk mengikat 62 tulisan mingguannya yang pernah dimuat dalam rubrik Fokus Peristiwa Pekan Ini di harian Kompas sejak 1970-an.
Swantoro, memang empunya history journalism alias jurnalisme sejarah di Indonesia. Ia meramu secara apik kejadian silam untuk meramaikan, mengomentari, dan merefleksi peristiwa-peristiwa paling hangat. Basisnya, bisa tokoh, atau remah-remah kejadian yang mengelilingi sosok terkait.
Di eranya, kepiawan Swantoro tak banyak diikuti para penulis, termasuk oleh insan pers sendiri. Namun belakangan hari, kontekstualisasi sejarah dalam media pemberitaan, rupanya mulai dilirik kembali.
Historia docet!
Pertanyaanya, bagaimana cara mengawinkan sejarah dengan kabar aktual?
Memasuki tahun 2012, geliat media daring Indonesia disemarakkan oleh satu platform berbeda. Historia Online, kehadiran laman berita ini cukup membuat para penggemar sejarah terlongo-longo. Cerita lampau, oleh situs tersebut disajikan secara populer, ringan, namun tetap berkelas.
Sejatinya, Historia masih memanfaatkan peluang yang sudah diawali Swantoro. Keberadaannya dijagat maya langsung disambung dengan kelahiran versi cetak. Dan sesekali, jargon Sejarah Selalu Aktual dituliskan di satu lembar sebelum halaman terakhir.
Usaha Bonnie Triyana, pendiri sekaligus pemimpin redaksi majalah ini tak sia-sia. Jika Swantoro dulu cuma memuat keterampilannya di salah satu rubrik saja, oleh Historia secara total dijadikan wajah dan identitas. Maka, tak ayal, Museum Rekor Indonesia (MURI) tak ragu memberinya penghargaan sebagai majalah sejarah populer pertama di Indonesia pada 2014 lalu.
Sebelum Historia, mungkin majalah Tempo sudah lebih dulu memulai. Cuma saja, sifatnya masih berpatokan pada momentum. Biasanya, pembaca akan kenyang mendapatkan ini dalam bentuk edisi-edisi khusus.
Mulai tahun lalu, geliat kontekstualisasi sejarah kian menarik dengan kehadiran portal Tirto.id. Dari penamaannya saja, sebenarnya pembaca sudah boleh curiga. Sekilas dengar mirip Tirto Adhi (Soerjo), pendiri surat kabar Soenda Berita, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia.
Tidak seperti Historia, Tirto.id memang tidak melulu mengangkat cerita sejarah. Tulisan-tulisan yang diunggah lebih mengedepankan semangat kedalaman, istilah jurnalismenya; indepth report. Laman ini menjadikan wawasan sejarah sebagai porsi tersendiri.
Tak butuh waktu cukup lama, Tirto.id pun dianggap sebagai pilihan bagus di tengah belantara portal berita online yang menyemburat sekarang ini.
Keberanian media-media yang disebutkan tadi merujuk pada peluang dari adagium Historia docet, sejarah itu mengajar, atau tepatnya kepada peristiwa lampau manusia bisa belajar.
Ujung dari pemahaman itu ialah kontekstualisasi sejarah. Kekayaan peristiwa masa lalu sangat memungkinkan untuk dijadikan bahan refleksi atas hiruk pikuk yang terjadi hari ini.
NU Lebih Kaya
Semuanya mengarah pada bagaimana cara memanfaatkan peluang. Apalagi, jurnalisme sejarah masih diyakini sebagai sesuatu yang bisa tampil beda di tengah banyaknya media pemberitaan pascareformasi 1998.
Khusus media daring, mengutip data Dewan Pers (2016), sekarang ini ada 43.400 situs. Meski dikatakan, yang memenuhi syarat sebagai media massa cuma 234 portal berita saja.
Peluang makin lebar ketika menengok data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis akhir 2016 lalu. Disebut bahwa dari jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 132,7 juta orang dan 129,2 juta pengguna aktif media sosial, sebesar 127,9 juta digunakan untuk mengakses berita dan informasi.
Tentu, dengan ini persaingan menjadi makin ketat. Belum lagi, misalnya, tidak semua pengakses website tersebut memiliki ketertarikan dengan konten-konten peristiwa yang bersifat ala kadarnya.
Sajian berbau sejarah, lalu menjadi pilihan. Meski dalam hal menuliskan ulang sebuah peristiwa masa silam, bukan perkara gampang.
Tidak sembarang orang bisa menulis dengan berkiblat pada teknik jurnalisme sejarah. Modalnya cukup mahal, paling tidak, mesti memiliki selera sejarah dan pembacaan pustaka yang kuat. Kemudian ditambah sedikit banyak keterampilan dalam memilah dan mengingat sumber dan cerita.
Soal ini, media-media di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) semestinya lebih memungkinkan. Sebab, di dalamnya terdapat bekal berupa sumber-sumber sejarah dan khazanah klasik yang luar biasa kaya.
NU, bukan jamiyah yang berdiri kemarin sore. Penanda tahun 1926, menjadi rentang waktu panjang yang sudah barang tentu menyimpan banyak cerita dan peristiwa. Penulis dan media pemberitaan NU, tinggal ambil dan merefleksikannya untuk menyambut isu yang tengah digandrungi pembaca hari ini.
NU Online, Risalah, dan Aula, yang selama ini banyak mewarnai sindikasi media nahdliyin akan tampil sempurna jika turut meramaikan geliat kontekstualisasi sejarah melalui pemberitaan.
Meski, bicara media NU tidak cukup pada pertimbangan besar kecilnya jumlah pembaca. Melainkan di dalamnya tentu mengandung misi paling luhur, yakni syiar keislaman yang moderat. Dan melalui jurnalisme sejarah, pers NU bisa memberi tamsil-tamsil lebih mengena.
Tidak bisa dipungkiri, misalnya, media-media pemberitaan NU hari ini sudah banyak mengangkat khazanah klasik sebagai daya tawar yang disuguhkan kepada publik. Tapi, tentang sejarah sebagai sesuatu yang berkait-paut dengan peristiwa hari ini boleh dibilang masih jarang.
Manfaat lainnya, penggiat media NU akan lebih mudah menjelaskan sesuatu yang sudah telanjur simpang siur. Ambil misal, kesalah-kaprahan sebagian masyarakat memahami langkah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam mendukung penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Melalui kontekstualisasi sejarah, ijtihad PBNU ini akan menjadi terang dan sama sekali tidak berkiblat pada hal-hal pragmatis sebagaimana yang selama ini difitnahkan.
Penekenan Perppu Ormas oleh Presiden Joko Widodo, seperti yang diyakini PBNU, amat berbeda dengan otoriterianisme Orde Baru (Orba), atau cikal bakal Undang-undang (UU) Subversif yang diterbitkan Presiden Soekarno. Tidak semua mafhum, ada perbedaan mencolok yang hal itu menjadi pertimbangan matang para kiai sebelum mengambil keputusan.
Dalam historiografi, memang tidak semuanya lengkap. Ada sedikit celah yang terwujud dalam adagium 'Sejarah, tergantung siapa yang mengungkapkan, atau menuliskannya'. Jika pers dan penulis NU sedikit lengah, maka kekayaan sejarah yang dimiliki akan dengan mudah diambil alih, lalu diselewengkan maknanya.
Barangkali, memang sudah waktunya NU membuka kulkas sejarahnya untuk disajikan kepada pembaca lebih banyak. Melalui seri penulisan yang populer, kesulitan menghafal nama-nama dan angka-angka dalam mitos pembelajaran ilmu sejarah tak akan ada lagi.
Kontekstualisasi sejarah sebagai kunci pembukanya. Terlebih, pepatah Belanda bilang, In het heden ligt het verleden, in het nu watkomen zal. Dalam masa sekarang, kita mendapati masa lalu dan masa depan.
*) Santri Cirebon, bekerja sebagai content editor di Metro TV.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jangan Ikut Campur Urusan Orang, Fokus Perbaiki Diri
2
Khutbah Jumat: Menjadi Hamba Sejati Demi Ridha Ilahi
3
3 Instruksi Ketum PBNU untuk Seluruh Kader pada Harlah Ke-91 GP Ansor
4
Ketum GP Ansor Kukuhkan 100.000 Banser Patriot Ketahanan Pangan, Tekankan soal Kemandirian
5
Sanksi Berat bagi Haji Ilegal: Dipenjara, Dideportasi, dan Didenda Rp224 Juta
6
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
Terkini
Lihat Semua