Opini

Perhatian Ulama terhadap Ilmu Kesehatan Terkait Corona

Ahad, 15 Maret 2020 | 05:00 WIB

Perhatian Ulama terhadap Ilmu Kesehatan Terkait Corona

Melindungi jiwa (hifdhun nafs) adalah hak asasi manusia dalam Islam yang dijamin oleh syariat.

Sejak pertengahan November 2019, masyarakat dunia dihebohkan dengan munculnya pertama kali penyakit virus Corona (Covid-19) di Wuhan, Hubei, China. Per 14 Maret Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit ini telah memakan korban di 130 negara di dunia dengan jumlah meninggal dunia sebanyak 5.400 jiwa, dan 70.000 berhasil disembuhkan.

 

Terkait bahaya virus ini, banyak tokoh agama atau ulama memperhatikan secara serius terhadap imbauan para ahli kesehatan tentang perlunya menghindari berkumpulnya orang dalam jumlah besar. Hal ini untuk meminimalisasi penyebaran penyakit ini melalui kontak langsung antara satu orang dengan lainnya. Para ulama menghormati ilmu kesehatan dengan menyelaraskannya dengan ilmu agama.

 

Pemerintah Arab Saudi, misalnya, sejak beberapa minggu lalu atas masukan Kementerian Kesehatan membatasi secara ketat kunjungan kaum Muslimin khususnya dari berbagai negara ke Tanah Suci untuk melakukan ibadah umrah. Banyak calon jamaah Umrah dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, dibatalkan atau ditolak visanya untuk masuk ke kerajaan itu demi menghindari bahaya yang bisa mengancam keselamatan jiwa.

 

Pemerintah Iran beberapa minggu lalu meniadakan shalat Jumat di masjid-masjid. Peniadaan salat Jumat itu dilakukan agar masyarakat tidak berkumpul di satu ruangan dalam jumlah besar dalam satu waktu. Sejumlah pejabat Iran, termasuk Wakil Presiden Iran Urusan Wanita dan Keluarga, Masoumeh Ebtekar, dan beberapa mullah dilaporkan positif terjangkit virus Corona. Di negara ini dilaporkan sebanyak 26 orang telah meninggal dunia akibat virus ini dari jumlah penderita mencapai 245 orang.

 

Di Malaysia, Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis, mengeluarkan perintah agar shalat Jumat di seluruh Negara Bagian Perlis pada tanggal 13 Maret 2020 ditiadakan. Sebagai gantinya dilakukan shalat Dzuhur di rumah masing-masing. Hal ini terkait perkembangan terbaru Covid-19 yang semakin banyak menelan korban jiwa. Perintah itu didasarkan pada masukan dari Kementerian Kesehatan Malaysia dan Fatwa Negeri Perlis agar berkumpulnya orang dalam jumlah besar hendaklah dihindari sekalipun itu merupakan kegiatan ibadah.

 

Di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 11 Maret mengumumkan penundaan pelaksanaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2020 yang sedianya dilangsungkan 18-19 Maret ini di Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang Jawa Tengah, ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. Penundaaan ini sebagai bagian upaya bersama membangun kewaspadaan dan membantu pemerintah mencegah meluasnya virus Corona. Pemkot Surakarta Jawa Tengah memberlakukan KLB Corona yang berlaku mulai 13 Maret 2020 hingga 14 hari ke depan.

 

Menurut Sekretaris Jenderal PBNU, H Helmy Faishal Zaini, PBNU berpijak pada kaidah fiqih yakni Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih(menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan). Munas Alim Ulama dan Konbes NU memamg akan melibatkan ratusan peserta dan ribuan penggembira dari berbagai daerah di Indoesia. Jumlah ini cukup besar dan dikhawatirkan akan rawan terhadap penularan virus Corona.

 

Keselarasan Ilmu Agama dan Ilmu Kedokteran

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumidin mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua kelompok, yakni ilmu fardu a’in dan ilmu fardu kifayah. Yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam di mana shalat merupakan rukun kedua. Sedangkan yang termasuk dalam ilmu fardu kifayah antara lain ilmu kedokteran, ilmu berhitung, ilmu pertanian, dan sebagainya.

 

Di zaman penjajahan dahulu ilmu agama dipertentangkan dengan ilmu-ilmu di luarnya termasuk ilmu kedokteran, yang disebut ilmu umum. Beberapa pesantren di zaman itu menolak ilmu-ilmu umum yang dianggap ilmunya para penjajah yang kafir. Mereka khawatir mempelajari ilmu-ilmu umum bisa menyeretnya pada “kekufuran”. Sikap ini bisa dipahami sebagai sikap politis yang kondisional. Artinya sikap bisa berbalik ketika keadaan telah berubah.

 

Ketika zaman telah merdeka, banyak pesantren melalui madrasah-madrasah atau sekolah-sekolah yang didirikannya membuka diri terhadap ilmu-ilmu umum dan mengajarkannya seperti ilmu berhitung (matematika), ilmu hayat (biologi), ilmu alam (fisika), ilmu bumi (geografi) dan sebagainya. Perubahan sikap ini semakin mantap diterima ketika pada akhirnya pesantren mengambil kesimpulan bahwa semua ilmu yang bermanfaat adalah ilmu agama karena berasal dari sumber yang sama, yakni Allah subhanahu wata’ala.

 

Sejak itulah banyak ulama atau kiai di Indonesia memperhatikan ilmu-ilmu kesehatan dengan menaati aturan-aturan yang disampaikan para dokter. Kehadiran dokter diterima penuh di pesantren-pesantren dan mulai banyak alumni pesantren yang melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan mengambil program studi ilmu kesehatan atau kedokteran. Apalagi ternyata beberapa ulama dahulu ada yang juga sekaligus ahli ilmu kedokteran seperti Ibnu Rusyd dari Kordoba Andalusia (Spanyol).

 

Oleh karena itu, ketika para dokter mengimbau agar masyarakat tidak berkumpul dalam jumlah besar dalam rangka menghindari penyebaran virus Corona demi keselamatan bersama, para ulama meresponsnya dengan tidak mengadakan shalat Jumat, membatasi secara ketat jumlah jamaah umrah, menunda bahtsul masail yang akan dihadiri banyak orang. Semua itu adalah ibadah, tapi pelaksanaannya diselaraskan dengan situasi dan kondisi riil kesehatan di masyarakat.

 

Jadi dalam kasus virus Corona ini yang terjadi bukan ilmu agama dikalahkan oleh ilmu umum atau para ulama harus kalah dengan para ahli kesehatan, tetapi memang menjaga jiwa (hifdhun nafs) adalah hak asasi manusia dalam Islam yang dilindungi oleh syariat. Para ulama “berterima kasih” kepada para dokter atas ilmu mereka sehingga mereka bisa membuat fatwa untuk melindungi masyarakat luas demi menghindari kerusakan dengan menerapkan kaidah “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.”

 

Bagaimanapun para dokter itu juga ulama dalam arti luas; bidangnya adalah ilmu kesehatan. Ilmu mereka tidak berasal dari setan terkutuk, melainkan dari Yang Maha Mengetahui (Al-Alim). Dialah yang mengajari apa yang tidak diketahui manusia (‘allamal insâna mâ lam ya‘lam) (QS Al-Alaq: 5).

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.