Opini

Perempuan Perekonomian Rakyat

NU Online  ·  Sabtu, 23 September 2006 | 08:41 WIB

Khofifah Indar Parawansa

Menjelang Ramadhan, sebagaimana biasanya, tingkat kegairahan beraktivitas di bidang ekonomi cukup tinggi. Harga barang-barang kebutuhan pokok mulai naik. Hal ini ditandai dengan perputaran nilai uang yang begitu meningkat dibanding hari-hari biasanya. Bagaimana tingkat peran perempuan dalam bidang ekonomi kerakyatan inilah yang akan dibahas dalam kesempatan ini.

Sesungguhnya tingkat usia produktif bagi perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Namun, tingkat partisipasi dan penyerapan tenaga kerja perempuan maupun kegiatan ekonomi mandiri lebih rendah dari pada laki-laki. Akses perempuan terhadap kesempatan dan sumber daya yang mampu mempengaruhi struktur ekonomi dalam masyarakat sangat rendah.

<>

Dalam sektor informal dimana 68,2 persen angkatan kerja perempuan berada, pilihan usaha perempuan sangat di pengaruhi oleh peranan jendernya. Misalnya kaum perempuan yang bergerak di sektor informal lebih banyak memilih di bidang perdagangan bahan pangan, pertanian, produksi skala kecil, dan sebagainya.

Di pedesaan lebih mengenaskan lagi, karena dari 70 persen terdapat jumlah tenaga kerja perempuan akan tetapi dari segi kualitas, jenis pekerjaan dan pendapatan perkapita belum menggembirakan. Dalam sektor pertanian umpamanya perempuan lebih banyak sebagai buruh tani dari pada sebagai petani pemodal, ini disebabkan akses modal dan penguasaan tanah oleh perempuan sangat menjadi problem.

Keterbatasan modal dan akses sumber daya serta kurangnya hak kepemilikan merupakan yang sangat mempengaruhi usaha permpuan oleh karena itu perempuan sulit bersaing dalam mengembangkan usaha.

Rendahnya tingkat pendidikan dalam keterampilan perempuan sebagai akibat segregasi jender dalam budaya kita menyebabkan berbagai diskriminasi terhadap perempuan dalam aktivitas ekonomi. Dampaknya nilai pekerjaan perempuan masih di anggap rendah dari pada laki-laki yang tercermin dan perbedaan upah yang diterima. Keterbatasan pendidikan mempengaruhi perempuan di dunia kerja hanya menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan tidak mempunyai daya tawar (bargaining position), misal dalam sektor industri perempuan banyak bekerja sebagai buruh kasar, buruh lepas dengan upah rendah tanpa jaminan sosial yang memadai.

Dalam mempercepat proses pembangunan nasional, maka ikhtiar dan program pemberdayaan perempuan, tidak dapat diabaikan. Jumlah penduduk perempuan yang mencapai 50,3 persen dari total penduduk Indonesia dengan kualitas yang terus meningkat patut diperhatikan setiap kebijakan pembangunan. Partisipasi aktif antara laki-laki dan perempuan secara seimbang akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya salah satu pihak, akan dapat memperlambat proses pembangunan atau bahkan akan menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Akan tetapi dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki, seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses sumber-sumber ekonomi dan peningkatan SDM, sistem upah yang diskriminatif, serta tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah.

Kenyataan di atas menggambarkan bahwa hak-hak perempuan untuk mengaktualisasikan potensi dirinya dan untuk memperoleh akses berbagai segi terutama di bidang ekonomi belum menggembirakan. Dalam hal ini perjuangan untuk memberi pemahaman dan kesadaran akan kesataran dan keadilan jender lewat berbagai kebijakan dan peraturan yang mendiskreditkan perempuan hingga hak asasi manusianya untuk memperoleh kesemapatan bekerja dan beraktivitas menjadi terbuka harus ditingkatkan dan terus menerus disosialisasikan.

Jalan alternatif

Beberapa alternatif pemecahan ditinjau dari perspektif jender. Pertama, harus ada garansi konstitusional dari parlemen dan negara tentang persamaan upah perempuan dan laki-laki, pemberian hak untuk memperoleh semua akses dan menghilangkan peraturan yang mendikriminasikan perempuan.

Kedua, dari aspek pendidikan harus mendeseminasikan informasi yang mereka butuhkan, mengembangkan tenaga kerja dan informasi, serta memastikan perempuan miskin memperoleh akses terhadap pelatihan di tempat kerjannya. Mengembangkan kebijakan terutama dalam pendidikan untuk mengubah perilaku yang memperkuat pembagian kerja secara jender.

Ketiga, selama ini peran domistik asumsinya hanya tugas kaum perempuan maka ketika perempuan bekerja diluar publik beban pekerjaanya makin sarat. Karena itu, perlu dikembangkan program pendidikan dengan konsep tanggung jawab bersama untuk keluarga dan pekerjaan rumah tangga, terutama yang berhubungan dengan pendidikan anak. Jika perempuan masih dibebani dengan pekerjaan rumah tangga maka perlu ditingkatkan akses mereka pada teknologi yang membantu pekerja