Beragam alasan orang tua untuk memasukan putra-putrinya ke pesantren. Mulai dari ingin anaknya berakhlak baik, pandai mengaji, mandiri, ataupun memiliki karakter kuat sebagai seorang Muslim.
Ada juga kalangan orang tua yang mengirimkan anak ke pesantren karena tak sanggup lagi mendidik anak-anaknya. Tak tahan dengan sikap anak-anak mereka. Mereka berharap akan ada perubahan positif yang terjadi setelah putra-putrinya mendapat pendidikan di pesantren.
Harapan orang tua tersebut tentu tak salah. Pendidikan di pesantren memang mengedepankan disiplin diri dan menuntut tanggung jawab pribadi. Jika di rumah masing-masing santri bebas mengatur waktu, di pesantren mereka terikat pada aturan yang dibuat oleh pesantren.
Waktu dijadwal sepresisi mungkin. Mulai dari bangun tidur sampai malam menjelang. Mengaji, sekolah, shalat, olah raga, maupun aktivitas lain diatur sedemikian ketat. Tak heran jika seleksi alam berlaku, mulai dari santri menjejakan kakinya di pesantren.
Tak semua santri mampu bertahan. Hanya yang kuat yang sanggup bertahan. Beberapa misalnya menyerah karena tidak tahan dengan disiplin yang diterapkan. Atau ada juga yang mengeluh karena aturan pesantren yang dianggap kaku.
Mentalitas dan daya tahan di segala kondisi hidup inilah yang penting bagi konstruksi karakter santri. Mereka langsung belajar mengatasi permasalahan-permasalahan di dalam maupun di luar dirinya. Belajar bernegosiasi dengan diri dan orang lain. Memposisikan diri pada keterbatasan yang mereka hadapi selama di pesantren.
Maka ketika ada lembaga pendidikan pesantren menawarkan kemewahan fasilitas pendidikan justru akan kontraproduktif dengan semangat dan nilai-nilai pesantren. Fasilitas lengkap digunakan untuk memudahkan proses pembelajaran, bukan justru memanjakan.
Di pesantren, setiap santri ditempa melalui proses panjang. Tak ada istilah instan bagi seorang santri dalam upaya untuk memperoleh pendidikan di pesantren. Ilmu dan ahli ilmu benar-benar dihormati.
Ada kekhasan dalam penghormatan para santri terhadap para ahli ilmu. Bukan sekadar penghormatan formal, seperti di pendidikan formal. Seperti yang diungkap oleh Gus Dur dalam bukunya Menggerakan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Wahid, 2001) bahwa seorang santri seumur hidup akan terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moral dalam kehidupan pribadinya.
Kesan mendalam terhadap kiai juga tercermin dalam kisah yang disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang Pesantren (Zuhri, 2001). Salah satunya misalnya, bagaimana sang kiai terkesan dengan gurunya Ustadz Mursyid yang menerapkan kedisiplinan tanpa paksaan. Ketika kedisiplinan pertama kali diinternalisasikan lewat dongeng, kisah, nasihat dan yang paling penting melalui perbuatan sehari-hari.
Para santri pun dihadapkan pada permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat. Bagaimana berlatih berorganisasi ditempa selama di pesantren.
Para santri juga biasa bergaul dengan beragam komunitas. Beragam budaya dan adat hadir di pesantren menyebabkan mereka terbiasa bergaul lintas kultur. Mereka terbiasa menghadapi perbedaan, menghadapi keberagaman. Karena santri yang memasuki pesantren biasanya berasal dari beragam kalangan. Bervariasi dari kelas sosial, ekonomi, maupun budaya. Santri tak pernah gagap dengan mereka yang berbeda.
Hal tersebut sesungguhnya bekal penting bagi mereka sebelum terjun dan mengabdikan diri di masyarakat. Selain belajar menjadi seorang yang memahami kaidah keagamaan secara baik, juga belajar menjadi Indonesia.
Di pesantren juga diajarkan beragam tradisi pemikiran. Varian madzhab dikenalkan kepada santri. Mereka berhadapan langsung dengan argumentasi pemikiran dari beragam tradisi ilmu. Mereka belajar menghormati cara pandang ulama dalam menafsirkan Al Quran dan Hadist. Diajarkan tidak alergi terhadap perbedaan. Ruang dialog tetap dibuka, karena masing-masing pihak tentu punya argumentasi.
Modernisasi yang terjadi di pesantren tentu tak bisa dihindarkan. Teknologi yang masuk, pola-pola baru dalam proses pendidikan, dan beragam hal lainya bukan musuh yang harus dihindari. Komponen-komponen tersebut harus dapat dimanfaatkan untuk melejitkan prestasi para santri. Yang terpenting adalah nilai-nilai positif dari pesantren yang sudah teruji zaman harus tetap lestari. Pewarisan nilai inilah yang penting.
Pesantren tak boleh gagap terhadap kemajuan zaman, tetapi juga harus mampu mengatur ritme. Setiap pesantren tentu memiliki visi yang berbeda tentang arah pendidikannya. Yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana visi itu dapat dituju tanpa meninggalkan acuan-acuan lama yang dianggap sudah baik.
*Alumni Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat ini menjadi Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua