Oleh M. Solahudin
Sepanjang hari kemarin, tulisan di dunia maya dan media sosial banyak dibanjiri oleh berita wafatnya Dr (HC) KH Ahamad Hasyim Muzadi. Juga tidak sedikit yang menulis kesan dan kenangannya bersama Pak Hasyim, termasuk humor-humornya juga tak ketinggalan. Kujuga ingin berbagai sisi lain dari Pak Hasyim yang mungkin tidak banyak ditulis.
Ya, pukul 06:15 WIB, kemarin, Pak Hasyim telah dipanggil Sang Khaliq. Lahir di Tuban 1944, Pak Hasyim bernama asli Ahmad Hasyim. Adapun Muzadi adalah nama sang ayah. Pak Hasyim tidak berdarah biru pesantren. Orangtuanya adalah penjual tembakau. Ijazah terakhirnya adalah sarjana (S1) dari Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Malang. Namun, dia mendapat gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari IAIN (sekarang UIN) Surabaya.
Pendidikan pesantrennya diselesaikan di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Di pesantren ini, Pak Hasyim memiliki teman-teman yang kemudian menjadi tokoh besar, seperti KH. Syukron Makmun (da’i kondang ibukota tahun 1990-an dan Pengasuh PP Darur Rahman Jakarta), Cak Nur alias Prof Dr Nurcholish Madjid (cendekiawan muslim kenamaan asal Jombang), dan Prof Dr Din Syamsuddin (mantan Ketum Pengurus Pusat Muhammadiyah).
Pak Hasyim terkenal sebagai tokoh nasional sejak memimpin NU (1999-2010). Ia berkarir di NU mulai dari kepengurusan tingkat paling bawah, yakni tingkat ranting (desa/kelurahan) hingga terpilih sebagai Ketum PBNU dalam Muktamar NU ke-30 tahun 1999. Kita dapat membandingkannya dengan Ketum PBNU sebelum dan setelahnya, yakni Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan Kang Said (Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA).
Gus Dur adalah putra dari KH. Wahid Hasyim atau cucu dari KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, sedangkan Kang Said adalah putra dari KH. Aqil Siroj dari Pesantren Kempek Cirebon. Kang Said juga masih memiliki hubungan famili dengan KH. Mahrus Aly–pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri yang berasal dari Cirebon−dan KH. Idris Kamali–menantu kharismatik KH. Hasyim Asyari Tebuireng yang berasal dari Cirebon.
Pendek kata, Gus Dur dan Kang Said berdarah biru pesantren, sedangkan Pak Hasyim “hanya” anak seorang penjual tembakau di Tuban. Dan Gus Dur maupun Kang Said berkarir di NU langsung masuk kepengurusan pusat (PB/Pengurus Besar), sementara Pak Hasyim mulai dari tingkat ranting (desa/kelurahan). Bahkan, Pak Hasyim lebih dulu masuk kepengurusan NU daripada Gus Dur. Saat Gus Dur masih kuliah di Baghdad, Pak Hasyim telah menjadi pengurus NU meski di tingkat desa (ranting) di daerah Malang.
Satu-satunya keluarga Pak Hasyim yang bergelar kiai haji adalah KH A. Muchit Muzadi yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Bahkan, Pak Muchit−panggilan KH. Muchit Muzadi−pernah berseloroh bahwa ia disebut “kiai” karena adiknya, yakni Pak Hasyim, menjadi kiai. Jadi, Pak Muchit disebut kiai karena merasa “numpang” ketenaran adiknya. Saat masih hidup, Pak Muchit termasuk kiai yang dituakan di NU dengan posisi terakhir sebagai Mustasyar PBNU, meski kakak dari Pak Hasyim yang tinggal di Jember ini tidak memiliki pesantren.
Pak Hasyim, seperti ditulis Pak Hasyim dalam salah satu bukunya, menjadi NU atas jasa kakaknya. Orangtua Pak Hasyim sangat cinta kiai dan NU. Pak Muchit yang usianya terpaut 19 tahun dengan adiknya, Pak Hasyim, ini lebih dulu masuk dalam kepengurusan NU. Pak Muzadi−ayah dari Pak Muchit dan Pak Hasyim−“kuatir” jika Pak Hasyim kemudian tidak menjadi orang NU lantaran ia adalah lulusan Pondok Modern Gontor, pesantren yang dikenal netral alias tidak berafiliasi dengan NU. Maka, Pak Muzadi menyuruh anaknya, Pak Muchit, untuk memasukkan adiknya, Pak Hasyim, ke dalam NU meski di tingkat ranting (desa/kelurahan).
Karir Pak Hasyim perlahan-lahan naik hingga tingkat wilayah (PWNU Jatim). Ketika itu, nama Pak Hasyim tenggelam oleh nama para kiai lainnya. Pada tahun 1992 dilaksanakan konferensi pengurus wilayah (Konferwil) NU Jatim untuk menentukan ketua PWNU Jatim. Ada empat nama yang muncul sebagai calon Ketua PWNU Jatim: H. Syafi’i Sulaiman, KH. A. Wahid Zaini, Mohammad Thohir dan KH. A. Hasyim Muzadi alias Pak Hasyim. H. Syafi’i Sulaiman dan KH. A. Wahid Zaini sama-sama memiliki pendukung yang kuat.
Para kiai sepuh merasa khawatir jika salah satu menang akan terjadi perpecahan di lingkungan NU Jatim. Maka, diputuskan kedua kiai itu “harus” mau duduk di kepengurusan Syuriyah, bukan Tanfidziyah–dimana ketua adalah pimpinan Tanfidziyah. Dengan kata lain, kedua kiai tersebut “dilarang” menjadi calon Ketua PWNU Jatim. Lalu tinggal dua nama yang tersisa: dr. Mohammad Thohir dan Pak Hasyim. Singkat cerita, Pak Hasyim yang namanya tidak diperhitungkan itu terpilih sebagai Ketua PWNU Jatim. Dapat dikatakan, Pak Hasyim menjadi Ketua PWNU Jatim karena “ketidaksengajaan”.
Sukses memimpin NU tingkat Jatim, Pak Hasyim terpilih menjadi Ketum PBNU dalam Muktamar NU di Pesantren Lirboyo Kediri tahun 1999. Nah, sejak saat itulah, nama Pak Hasyim dikenal sebagai tokoh nasional, bahkan sempat menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2004, dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Pelajaran penting dari sosok Pak Hasyim adalah bahwa sukses itu hak semua orang, bukan hanya milik mereka yang berdarah biru atau dari keluarga berkecukupan. Pak Hasyim yang berasal dari keluarga biasa, bukan dari kalangan kiai atau orang kaya raya, pernah memimpin NU yang merupakan ormas Islam dengan mayoritas pengurusnya adalah orang-orang yang berasal dari kalangan ulama atau berdarah biru pesantren.
Selamat jalan Pak Hasyim, kiai yang humoris, nasionalis dan pluralis. Semoga engkau memperoleh tempat yang mulia di sisi-Nya dan kami bisa meniru jejak perjuanganmu. Amin.
Penulis tinggal di Kediri, Jawa Timur; menulis buku berjudul "Nahkoda NU".