Opini

NU STUDIES, PERSPEKTIF DAN METODOLOGI

NU Online  ·  Rabu, 18 Oktober 2006 | 14:07 WIB

Oleh Ahmad Baso*

NU Studies, Masalah Marwah Sebuah Komunitas dan Bangsa
Buku NU Studies (2006) yang saya tulis ini adalah cara orang-orang NU menulis dirinya sebagai fa’il, sebagai pelaku, sebagai subyek. Ini adalah sebuah peralihan subyektifitas. Ia adalah perlaihan dari subyektifitas sebuah komunitas yang selama ini menjadi obyek wacana dan penelitian, obyek advokasi dan kampanye global, menjadi subyek yang melakukan sendiri kerja-kerja tafsir dan penelitna, yang melakukan sendiri reclaiming atas isu-isu lokal, nasional, maupun global.

Apa arti menulis-diri?
Menulis diri bukan hanya masalah membangun ekmbali harga diri atau marwah sebuah komunitas yang bernama jamaa’ah nahdyiyyin, yang kini mulai digerogoti atas nama “pernag melawan teroris”, atas nama “toleransi, pluralisme dan liberalisme”, atau “benturan peradaban”. Menulis diri adalah invensi atau penemuan kembali arti sebuah komunitas dalam konteks kehadirannya di sebuh neegri bernama Nusantara. Ia menulis-diri sesuatu yang bangkit (nahdlah), sebuah cita-cita tentang masyarakat-bangsa dimana para ulama menjadi penerang dan penunjuk arah yang lebih baik bagi masa depan mereka. Seperti ada yang menyebut KH Ma'ruf Amin sebagai seorang “kiai nasionalis”.

<>

Nun jauh di sana, sebutan “kiai nasionalis” juga muncul ketika sejumlah ulama Sulawesi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, berkumpul mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1932, yang difasilitasi oleh raja Bone, Andi Mappanyukki. “Jikalau semangat nasionalisme rakyat Bone masih tertidur nyenyak, maka dengan berdirnya Nahdlatul Ulama di Bone dengan pelopor utamanya para ulama, maka jiwa nasionalisme mulai berkobar-kobar. Dimana-mana di Nusantara Indonesia tumbuh berbagai organisasi kebnagsaan maupun keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) di Bone, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah abad,” demikian penuturan A.M. Hanafie, yang pernah menjadi saksi kehadiran NU di Bone.2

Kini kata-kata nasionalisme sudah terkesan peyoratif di telinga sejumlah pejabat dan sejumlah elemen masyarakat. Bahkan ia diidentikkan dengan “balkanisasi”, yang dianggap memecah-belah seperti yang terjadi di negara Yugoslavia dulu. Tapi justru di kalangan ulama-lah kata-kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat menggerakkan semangat mereka untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing.

Sepulang dari Mekkah, Kiai Wahab Hasbullah berencana mendirikan organisasi pemuda di kalangan umat Islam yang bertujuan menggelorakan semangat nasionalisme. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya.
Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.


Sejak itu Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair seperti berikut:

Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan....
Wahai bangsaku, wahai bangsaku...
Cinta tanah air adalah bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan
harus dibuktikan dengan perbuatan...

Gelora nasionalisme ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945 saat negara Indonesia baru berdiri. Saat itu bangsa kita menghadapi tantangan akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Tentara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat rakyat dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

NU Studies, Tradisi dan Penjinakannya
Tapi, kini, dalam konteks global pasca 11 September, NU betul-betul diposisikan sebagai pasien, yang bahkan tidak boleh keluar dan lari dari rumah sakit tempat ia dirawat.
Ceritanya dimulai dari satu forum USINDO-TAF di Washington DC tentang Islam di Indonesia Modern, 7 Februari 2002 lalu. Saya membaca transkrip proseding lengkap acara tersebut. Dan ternyata membuat saya kaget. Forum ini dihadiri oleh sejumlah intelektual Indonesia: Azyumardi Azra, Ulil Abshar-Abdallah, Muslim Abdurahman, Rizal Sukma, Lies M