Opini

Nasihat Mendidik Anak dari Julie Lvthcott-Haims

NU Online  ·  Rabu, 19 Juli 2017 | 03:00 WIB

Oleh Waliyadin

Penulis sarikan nasihat yang disampaikan oleh Julie Lvthcott-Haims dalam TED Talks tentang nasihat bagi orangtua dalam mendidik anak supaya anak-anak mereka menjadi sukses. Sebelumnya penulis perlu menjelaskan tentang latar belakang Julie. Dia tidak secara tegas mengidentifikasi dirinya sebagai ahli parenting namun dia lebih senang mengatasnamakan dirinya sebagai seorang ibu yang telah diberi kesempatan mendidik kedua anaknya, Sawyer dan Avery.

Pengalaman mendidik dua anaknya itulah yang kemudian dia bagi di depan khalayak  tentang bagaimana sebaiknya mendidik anak agar bisa berhasil. Nasihat yang pertama adalah soal bagaimana orang tua mendefinisikan arti sukses. Selama ini banyak yang menganggap suskes seorang anak ditentukan dengan pencapaian akademik yang bagus katakanlah nilai rapor yang bagus, berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah favorit, dan meraih karir di bidang tertentu.

Namun, Julie yang merupakan mantan dekan di Standford, menyayangkan definisi sukses semacam itu karena menurutnya itu terlalu sempit. Julie menyinyalir ada beberapa kekeliruan pola pengasuhan anak yang selama ini orangtua terapkan. Pertama, orangtua memiliki kekhawatiran yang berlebihan terutama dalam prestasi akademik dan karir yang menurutnya prestisius. Kekhawatir akan prestasi akademik sangat jelas ditunjukkan ketika anak pulang sekolah yang menjadi pertanyaan orang tua adalah pekerjaan rumah atau nilai ulangan di sekolah.

Orangtua akan sangat kecewa bila mendapati nilai anaknya jelek kemudian memunculkan omelan-omelan. Selanjutnya, mereka mengawasi secara ketat gerak-gerik anak yang sekiranya melenceng dari arahan orangtua. Banyak sekali larangan yang muncul seperti tidak boleh ini, itu dan lain sebagainya. Anak harus ini itu supaya nilainya bagus sehingga bisa masuk sekolah favorit, bisa kuliyah di universitas ternama dengan jurusan favorit sehingga lulus bisa mendapat pekerjaan yang bagus.

Kedua, orangtua terlampau khawatir akan masa depan anak jika tidak mengikuti arahannya secara mutlak. Mereka berfikir bahwa masa depan anak ada di tangannya. "Anak tidak akan berhasil jika tidak ada campur tangan dari orangtua". Sehingga segalanya sudah disetting sedemikian rupa oleh orangtua tanpa melibatkan komunikasi yang hangat antara keduanya.

Julie mengibaratkan anak seperti bonsai yang ditaruh di pot. Setiap saat tanaman bonsai itu bisa dipotong daunnya, dibelokkan batang atau rantingnya sesuai selera pemilik. Padahal, anak bukanlah bonsai atau jenis tanaman tertentu.

Itulah setidaknya dua kesalahan orang tua dalam memperlakukan anak-anaknya sehingga anak menjadi kerdil secara mental, banyak tekanan, dan rasa takut yang berlebihan, dan akhirnya takut mengaktualisasikan dirinya.

Lebih lanjut Julie memberikan nasihat agar orangtua memberikan kesempatan bagi anak untuk menumbukan self-efficacy karena inilah yang  akan mengantarkan keberhasilan anak dalam bidang apapun.  Menurutnya, self-efficacy adalah aksi seorang anak yang nantinya dapat membuahkan hasil. Bukan aksi orangtua untuk mengubah perilaku anak. Self-efficacy jauh lebih penting dari pada self-esteem yang terbentuk atas hasil pujian atas keberhasilan anak dalam hal akdemik misalnya.

Untuk menumbuhkan self-efficacy, orangtua perlu memberikan kebebasan bagi anak untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Dengan menumbuhkan self-efficacy memungkinkan seorang anak untuk berfikir, berencana, memutuskan, melakukan, memecahkan masalah, trial dan error. Mereka juga berani bermimpi dan mengalami kehidupan untuk diri mereka sendiri.

Namun, Julie mengingatkan bahwa tidak semua anak memiliki motivasi dan vitalitas yang tinggi maka memberikan kebebasan  bukan berarti melepas anaknya  begitu saja dan tidak memperdulikan sama sekali. Yang dimaksud kebebasan dalam gaya pengasuhan anak seperti itu adalah senada dengan gaya pangasuhan otoritatif yang dikonsepsikan oleh D. Baumrind (1971) dalam artikelnya yang berjudul the Current Patterns of Parental Authority yakni orangtua tetap memberikan pengawasan dengan mengkombinasikannya dengan cara yang penuh dengan kehangatan, kepedulian, demokrasi dan komunikasi antara anak-orangtua yang terbuka. Selain itu ada momen dimana orangtua bisa menanyakan pendapat anak dan memberikan alasan atas hukuman yang diberikan orangtua kepada anaknya manakala mereka berbuat kesalahan.

Dalam pemaparannya, Julie memberikan  penguatan atas pandangannya dengan menyampaikan hasil penelitian Harvard Grant Study tentang karakter orang yang sukses dan benar-benar dibutuhkan dalam bidang pekerjaan tertentu. Pertama, seseorang dikategorikan sukses manakala dia mampu memiliki pola pikir (mindset) ketika ada orang lain yang merasa tidak nyaman dengan suatu pekerjaan dia siap untuk menerima pekerjaan itu, kesediaan untuk memberikan manfaat bagi rekan-rekannya, dan kemauan untuk berbuat lebih dahulu atau lebih banyak demi mencapai kesuksesan bersama.

Kedua, kesuksesan tercapai manakala seseorang bisa mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan itu diperoleh dari cinta bukan cinta pada pekerjaan namun cinta kemanusiaan: cinta pada orangtua, saudara, teman kerja dan lain sebagainya. Dan semua cinta itu adalah tanpa syarat.

Juli menegaskan orang bisa sukses dimanapun tidak tergantung pada lulusan dari perguruan tinggi ternama mana, atau nilai IPK cumlaude atau tidak. Yang terpenting adalah mereka bisa berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki dan memiliki kepedulian terhadap orang lain.

Julie mengakhiri pembicaraan dengan menegaskan bahwa tugas orang tua untuk menyukseskan anak bukanlah menjadikan anak seperti yang orang tua inginkan  melainkan mendorong agar mereka sukses menjadi seperti yang mereka inginkan. Julie mengilustrasikan dalam mendidik anak itu seperti menanam pohon supaya bisa bertumbuh dan berkembang, seseorang perlu menciptakan nourishing environment, lingkungan yang banyak mengandung nutrisi.


Penulis adalah pemerhati pendidikan dan penerima beasiswa luar negeri Program 5000 Doktor Kementrian Agama