Opini

Mudik, Tanah Air, dan Spirit Merekatkan Persaudaraan

Rab, 27 April 2022 | 13:00 WIB

Mudik, Tanah Air, dan Spirit Merekatkan Persaudaraan

Mudik, Tanah Air, dan Spirit Merekatkan Persaudaraan

Salah satu fenomena sosial-budaya yang melibatkan massa besar dan dijalankan rutin tiap tahun adalah mudik. Rasanya aneh bagi masyarakat urban di Indonesia, terutama saat musim Lebaran tiba, tidak ada agenda mudik. Tidak heran, ketika keran mudik ditutup atau dibatasi pada tahun 2020 dan 2021, publik mengalami semacam shock culture, goncangan emosional lantaran meninggalkan kebiasaan bertemu sanak keluarga yang saban tahun mereka lakukan.

 

Mudik seringkali disinonimkan dengan pulang kampung. Secara kasat mata, fenomena yang tampak memang bergeraknya massa perantauan dari kota-kota besar menuju ke desa-desa alias kampung, asal mereka dilahirkan dan tumbuh menjadi dewasa. Sebagian mereka datang ke kota untuk mengadu nasib di saat daerah pedesaan mereka dianggap tak menjanjikan rezeki yang memadai. Sebagian lain datang dengan tujuan studi lebih lanjut lantaran menganggap kota menyediakan kualitas pendidikan lebih baik. 

 

Alhasil, urbanisasi bisa dibaca sebagai cermin ketakberdayaan desa atau ketidakpercayaan orang-orang desa akan potensi kampung halamannya. Mereka rela berpisah untuk sementara waktu dengan keluarga, kerabat, dan tetangga dengan harapan bisa menuai hasil diidam-idamkan.

 

Salah satu yang penting kita bicarakan adalah bagaimana memulihkan “kerenggangan” hubungan persaudaraan yang selama dua tahun terakhir mungkin sangat terganggu dengan hantaman pandemi yang melarang kontak fisik dan membatasi mobilisasi kita dalam bersilaturahim. Dengan demikian, goncangan emosional yang sempat terjadi itu bisa kita normalisasi dengan suasana baru Indonesia masa kini ketika keran mudik ditutup dan suasana krisis akibat pandemi sudah nyaris tidak ada lagi.

 

Rindu Tanah Air

Sebagai rutinitas tahunan, mudik hendaknya memang tidak sekadar menjadi “ritual” perpindahan tempat semata, yang memanfaatkan aji mumpung waktu cuti yang cukup lama. Ia mesti menjadi momentum penuh makna dengan mengintensifkan kembali silaturahim, memperkuat persaudaraan, dan menjadikannya sebagai momen kerinduan akan tanah air dalam pengertian lebih lokal.

 

Kerinduan akan kampung halaman adalah gejala alamiah manusia. Rasulullah pun ketika hijrah ke Madinah tak kuasa menyimpan rasa kangennya pada Makkah, kota yang beliau diami selama sekitar 53 tahun, mulai dari beliau masih anak-anak, remaja, menikah, hingga masa menerima risalah dari Allah swt untuk pertama kalinya.

 

Namun demikian, kecintaan Nabi terhadap Makkah tidak lantas membuatnya tidak mencintai Madinah yang menjadi tempat mukim kedua beliau. Karena itu, Rasulullah pernah memanjatkan doa agar dikaruniai rasa cinta pada kota yang semula bernama Yatsrib itu.

 

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ 

 

“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari).

 

Dalam konteks para pemudik hari ini, doa tersebut mengandung pelajaran bahwa seyogianya seseorang tidak hanya mencintai kampung halamannya tetapi juga tempat perantauannya. Keduanya memiliki arti penting karena berkontribusi besar bagi kehidupan kita. Dengan begitu, kita pun bisa menyesuaikan sikap untuk memiliki sense of belonging dan kepedulian yang sama dengan masyarakat sekitar selayak kampung halaman sendiri.

 

Memperkuat Persaudaraan

Melalui mudik ini, ada beberapa makna yang perlu dicatat sehingga mudik kita tahun ini benar-benar berkualitas. Kerinduan akan tanah air mesti berlanjut dengan niat untuk memperkuat silaturahim dan solidaritas baik kepada orang-orang di kampung halaman atau lainnya, terutama yang selama pandemi jarang kita sapa atau tidak pernah kita temui. Dengan semangat ini, mudik kita tahun ini juga bermakna “pulang” kepada spirit keguyuban dan persaudaraan, yang memang sudah menjadi ciri budaya masyarakat Indonesia.

 

Mudik yang identik dengan lebaran juga kian menyempurnakan etos persaudaraan yang hendak dipulihkan. Pasalnya, di sana budaya saling memaafkan dijalankan. Tradisi positif ini membantu memecah sekat-sekat permusuhan dan kebuntuan akibat masih menguatnya ego pribadi ataupun kelompok. Akhirnya, antarpribadi dan antarkelompok bisa menjadikan ini sebagai momen rekonsiliasi, memulihkan persatuan, dengan saling “menghalalkan” kekhilafan masing-masing, saling menghapus kecurigaan, dan berkomitmen untuk menjalin hubungan yang saling menopang satu sama lain.

 

Mudik memang bagian dari peristiwa kultural. Tetapi bila kita mampu mengelolanya secara baik maka yang tampak bukan hanya kemacetan parah di sepanjang jalan, berjubelnya manusia di terminal dan stasiun, atau naiknya harga sejumlah komoditas, melainkan juga pos-pos filantropi dan aksi kemanusiaan, posko mudik gratis, zakat fitrah, budaya memaafkan, semangat berbagi, dan tentu saja menguatnya jalinan persaudaraan.

 

Nidlomatum MR, pengurus Pimpinan Cabang Fatayat NU Kabupaten Bogor


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dam UNDP