Opini

‘Moderasi Beragama’ Perlu Definisi yang Tegas

Ahad, 28 November 2021 | 16:00 WIB

‘Moderasi Beragama’ Perlu Definisi yang Tegas

(Foto ilustrasi: NU Online/Dok. PP Sirojuth Tholibin Brabo)

Saat presentasi paper di konferensi internasional PCINU Belanda, penulis yang keberangkatannya disponsori UIN Sunan Ampel Surabaya mendapat masukan dari diskusan asing tentang atribut Islam “moderat” yang kerap disematkan kepada paham Nahdlatul Ulama. Menurutnya, diksi “moderat” adalah diksi yang lemah seperti tidak mempunyai orientasi. Akan lebih berarti kalau diganti.

 

Memang tampak demikian jika dibandingkan dengan atribut Islam yang lain: Islam “progresif” yang disematkan oleh Hassan Hanafi (w. 2021) pada komunitasnya; Islam “modernis” yang disematkan oleh kelompok Islam modern seperti Muhammadiyah dan penganut paham pembaharuan; Islam liberal yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal; dan Islam sekuler yang disematkan pada paham keislaman Ali Abdurroziq (w. 1966), Muhammad Sa’id Asmawi (w. 2013), dan Taha Husein (w. 1973) yang merupakan para pemikir Mesir. Atribut progresif, modernis, liberal dan sekuler, menunjukkan sebuah sikap aktif yang mendorong terjadinya perubahan sosial. Bahkan jika dibandingkan dengan atribut “tradisionalis” atau “konservatif” sekalipun, dua atribut itu meski pro status quo atau mempertahankan sekadar yang ada (the existing), ia telah menunjukkan sebuah sikap. Sementara “moderat”, ia memposisikan diri di tengah tanpa kejelasan orientasi ideologi dan misi perubahan.

 

Ketidakpastian ini menjadikan Islam moderat sebagai entitas yang lemah yang mengundang tanya seputar jati diri yang sebenarnya. Tidak salah jika ia dibilang tidak jelas karena memang tidak jelas ke kiri atau ke kanan; ke barat atau ke timur, ke rasionalis atau tekstualis. Tidak salah pula jika Nahdlatul Ulama pengusung Islam moderat dikritik karena ketidakjelasan itu.

 

Selain kelamin ideologi yang kabur, ia juga rawan terhadap tarik-menarik kelompok kanan dan kiri. Ulama Saudi yang kerap menyerang kaum Syiah dan kaum Sufi dan menghancurkan situs-situs bersejarah dan makam sahabat dan wali juga menyerukan moderasi Islam (al-wasatiyyah). Tidak mengherankan jika belakangan heboh anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ahmad Zain an-Najah, diciduk Densus 88 karena terlibat terorisme. Komitmen MUI terhadap moderatisme beragama seperti diucapkan Din Syamsudin Ketum MUI pada munas ke-9 MUI pada 2015 di Surabaya terbukti tidak menjadikan organisasi steril dari anasir ekstremisme. Hal ini lantaran jargon moderatisne adalah jargon yang lemah yang tidak mampu mengeluarkan anasir yang bertentangan dengannya. Jika kata moderat dari awal berpotensi bias, maka perlu definisi yang mani’ yang mampu mengeluarkan yang tidak termasuk.

 

Mengamati 4 indokator moderasi beragama yang menjadi program utama kementerian agama saat ini, yaitu: kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan pro budaya lokal, perlu adanya penjelasan yang lebih konkret. Indikator kebangsaan diharapkan mampu mengeluarkan kelompok yang anti-paham kebangsaan. Seperti penganut sistem khilafah yang ingin menyatukan seluruh umat Islam sedunia (lintas negara) di bawah satu penguasa, khalifah. Sementara paham kebangsaan mendasarkan bukan atas kesamaan agama, Islam, tapi atas dasar kesamaan tanah air. Indikator toleransi mengeluarkan kelompok yang tidak bisa menghargai perbedaan paham atau keyakinan. Kelompok Islam yang secara terbuka menyerang dan mencemooh keyakinan agama Kristen, Hindu, Budha, dan agama lain dan sebaliknya, tertolak oleh indikator ini. Seperti Muhammad Kece, pendeta yang rajin menyerang Islam, atau Yahya Waloni, ustaz yang kerap menyerang Kristen, keluar dari grup moderasi dan masuk grup ekstrem. Juga sesama penganut agama yang sama namun beda aliran. Seperti oknum Syiah yang gemar menghina sahabat Rasulullah yang kaum Sunni memuliakan mereka; oknum Wahabi yang agresif menyesatkan bahkan mengafirkan kaum tradisionalis Islam; atau oknum aliran Protestan atas tradisi Katolik dengan merusak patung Bunda Maria, dan aksi provokatif lainnya lawan aluran intra agama yang sama. Hilangnya kesadaran akan perlunya menjaga hubungan baik antar sesama menjadikan yang bersangkutan keluar dari batas merah moderasi.

 

Indikator menolak kekerasan menyasar kelompok yang menyerang secara fisik individu atau kelompok demi menerapkan ajaran agama atau ideologi. Seperti kelompok Islam yang melakukan sweeping terhadap warung makanan yang buka di siang hari saat Ramadan. Apalagi sampai menyerang dengan senjata atau bom aparat pemerintah dan rumah ibadat agama lain, jelas keluar dari kategori moderat. Ia bahkan tidak lagi berada di domain ekstremisme beragama tapi termasuk delik hukum yang sudah jelas hukumannya.

 

Sedangkan indikator penghargaan atas budaya lokal, keluar dari kategori moderat kelompok agama yang melarang kesenian daerah seperti tarian, musik dan lagu. Apalagi hingga melarang anak taman kanak-kanak menari seperti yang pernah terjadi di negara Saudi oleh oknum yang mengaku melakukannya demi menjalankan syariat. Penganut pemurnian agama rawan melanggar indikator ini. Mereka tidak bisa membedakan materi agama dan budaya. Materi agama berasal dari wahyu yang terbatas dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah (mutanahiyah). Sementara budaya berasal dari kreatifitas manusia yang terus mengiringi kehiduoan manusia. Ada kisah pelajar Hindu Bali meniti ilmu agama Hindu di India tempat agama itu berasal. Setelah pulang kampung, dia gemar menyalahkan praktek agama Hindu Bali karena tidak ada di India. Dia pun berpakaian ala India tanpa memahami bahwa ada agama dan ada budaya. Dua hal yang berbeda. Tidak harus orang Hindu di Bali berpakaian seperti orang India, atau orang Islam berpakaian seperti orang Arab. Sebab Islam dan Hindu adalah agama sementara pakaian adalah budaya. Kelompok yang ingin memurnikan ajaran agama hingga membuang budaya setempat telah keluar dari garis moderat.

 

Penolakan terhadap budaya lokal mengandung arti tercerabutnya seseorang dari akar komunitas yang seharusnya dijaga. Pemahaman yang sempit terhadap ajaran agama menjadikannya menolak sesuatu yang sebenarnya agama mendukungnya. Seperti dalam shalat meninggalkan memakai sarung, baju takwa dan kopiah yang khas indonesia, dan memilih memakai jubah yang khas Arab atau busana khas Pakistan.

 

Bagaimanapun definisi moderasi beragama tidak semata untuk menghindari aksi kekerasan atas nama agama apalagi terorisme yang sudah jelas tertolak. Lebih dari itu, ia harus menjangkau potensi disharmoni akibat kegemaran menyelisihi yang umum berlaku dan menolak produk budaya lokal. Moderasi sedari awal cenderung sumir karena posisinya di tengah. Dibutuhkan definisi yang mampu menghilangkan kesumiran itu agar yang tidak termasuk di dalamnya sadar bahwa dia tidak moderat tapi ekstrem.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya