Nasional PENGAJIAN GUS BAHA

Dua Modal Dasar Merajut Kebangsaan Menurut Gus Baha

Sab, 20 November 2021 | 07:30 WIB

Rembang, NU Online


Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan dua modal dasar dalam merajut kebangsaan di Indonesia. Modal tersebut yaitu sistem sosial dan merasa bahagia atas diri sendiri.


Hal ini disampaikannya saat ulang tahun ke-10 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disiarkan langsung dari Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3iA) Kragan Rembang, Jawa Tengah.


“Merajut kebangsaaan dimulai dari menjaga sistem sosial. Kedua, bahagia dengan diri sendiri. Menikmati anugerah yang diberikan Allah," jelasnya, Jumat (19/11/2021)


Menurutnya, modal besar dalam merajut kebangsaan adalah sistem sosial baik yang sudah berjalan bertahun-tahun di masyarakat. Jauh sebelum sistem formal seperti Dinas Sosial yang mengurusi bantuan untuk masyarakat miskin berlaku di Indonesia. Sistem sosial sudah berlaku yaitu berbagi makan ke tetangga. 


Bahkan saat perang kemerdekaan, masyarakat membantu pejuang dengan menyediakan stok makan saat gerilya. Tanpa bekal, bisa jadi pejuang tidak kuat dalam berperang. 


“Mana yang bagus sistem kerja kiai apa modern. Keduanya sama bagusnya. Sistem modern seperti dinas sosial berguna untuk hal besar dan tidak mendesak. Sistem sosial ala kiai berguna untuk hal mendesak," bebernya.


Gus Baha mencontohkan, ketika terjadi kecelakaan, secara sistem sosial ala kiai, yang harus menolong adalah orang terdekat. Tidak menunggu datangnya Satlantas. Begitu juga saat ada yang tenggelam, yang harus menolong adalah orang terdekat.


"Kalau kiai, semua ditolong. Kalau modern, ada sistem kerjanya. Tidak usah menunggu Satlantas untuk merawat kecelakaan. Kalau ketemu orang tenggelam, jika mampu, maka tolong. Tidak menunggu SAR," kata putra KH Nur Salim ini.


Dikatakan, fungsi sistem sosial bisa dilihat saat terjadinya pandemi Covid-19. Sistem sosial bekerja secara masif. Masyarakat saling menolong dan berkirim obat atau makanan. Tidak kenal agama dan suku.


Di beberapa daerah banyak masjid yang bersebelahan dengan gereja melakukan kegiatan sosial. Banyak orang muslim kerja bareng Kristen. Ini modal sosial yang bagus. Dari dulu baik-baik saja. Dari dulu sistem pertanian masyarakat juga berjalan tanpa ada rapat pemerintah.


"Jangan lembaga formal resmi ada, lalu menghilangkan tatanan sosial. Sistem model dinas resmi kita dukung. Namun, sistem sosial adalah segala-galanya," tegas Gus Baha.


Menurut Gus Baha, sistem sosial ini penting dijelaskan agar setiap orang punya tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga tanggap setiap ada peristiwa yang terjadi bukan malah ditinggal pergi. 


Tanggap maksudnya dimulai dari siklus terkecil yaitu dirinya sendiri lalu keluarga dan kemudian masyarakat sekitar. Jika ada anak yang terlantar maka yang harus tanggung jawabnya adalah orang tuanya. Bukan menyalahkan pemerintah terus.


"Orang yang memiliki tanggung jawab sosial tidak mudah menyalahkan orang lain ketika terjadi sebuah musibah. Karena setiap orang punya tanggung jawab dalam sistem sosial. Tidak dilempar ke dinas resmi," pinta Gus Baha.


Ia menambahkan, modal merajut kebangsaan kedua yaitu bahagia dengan diri sendiri. Bahagia di sini bukan bermaksud egoisme, tapi menerima nikmat yang sudah ada dan tidak sibuk melihat nikmat orang lain.


Seringkali seseorang itu mengatakan bahwa orang lain itu hidupnya enak dan semua keinginannya mudah tercapai. Sehingga ingin merebut nikmat orang lain. Padahal tidak begitu adanya. Banyak hal yang tidak bisa diwujudkan hanya dengan modal uang.


"Barakahnya mengurus diri sendiri dan keluarga sendiri yaitu tidak menyibukkan diri menyalahkan orang lain. Dengan seperti itu enak. Tidak terjadi konflik," ungkapannya.


Gus Baha mencontohkan, orang kaya belum tentu bisa mewujudkan semua keinginannya dengan harta yang dimiliki. Hal ini dikarenakan keinginan setiap orang berbeda.


Orang kaya bisa jadi keinginannya bukan lagi makan enak saja, tapi ingin menjabat dan itu tidak pernah terwujud karena tidak dipilih.


"Setiap orang ada porsi dan kemampuan masing-masing. Fokus pada kemampuan diri. Agama tidak mengajarkan melakukan di luar kemampuan atau iri," tandasnya.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syakir NF