Bulan Ramadhan telah berakhir. Sehingga bulan Syawal menggantikan perginya bulan Ramadhan. Bulan Syawal dianggap sebagai bulan kemenangan setelah selama sebulan di bulan Ramadhan umat Muslim mengekang hawa nafsunya. Bulan Syawal yang di dalamnya terdapat sebuah hari yang menjadi momentum saling memaafkan meskipun saling memaafkan harus dilakukan setiap waktu. Bulan Syawal di dalamnya terdapat Idul Fitri yang dianggap sebagai momen kembali kepada kesucian. Bulan Syawal disambut suka cita sehingga seringkali kita melupakan evaluasi terhadap sikap kita selama bulan Ramadhan.
Secara bahasa, Idul Fitri memang memiliki arti kembali kepada kondisi yang suci. Hal ini disebabkan setelah melalui masa-masa pengendalian hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan. Pada bulan tersebut juga Tuhan melimpahkan ampunan dan pahala bagi kaum Muslim yang memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya ibadah dan perilaku. Ditambah lagi, bulan Ramadhan diakhiri dengan zakat fitrah untuk menyucikan harta benda yang dimiliki. Lalu disusul dengan Idul Fitri, momentum saling memaafkan antarsesama. Dengan demikian, kesucian yang terkandung dalam Idul Fitri bisa meliputi kesucian terhadap Tuhan karena mendapat ampunan, kesucian harta benda karena menzakatkan hartanya, kesucian terhadap sesama karena saling memaafkan. Pada akhirnya, Idul Fitri dimaknai sebagai momentum kemenangan bagi kaum Muslim setelah mengekang hawa nafsu selama bulan Ramadhan.
Satu hal yang sering dilupakan adalah, apakah kita benar-benar menang melawan hawa nafsu dan kembali suci? Apakah kemenangan yang dimaksud berdampak pada kehidupan kita? Pertanyaan reflektif yang jika senantiasa dipegang teguh dan direnungkan jawabannya, akan bisa memunculkan sikap yang berbeda dalam menyikapi berlalunya Ramadhan dan datangnya Idul Fitri. Sikap yang bukan euforia semata, sikap yang bukan seperti seekor binatang yang lepas dari kandang sehingga kembali menampakkan sifat-sifat negatifnya. Penting untuk menengok bahwa betapa sedihnya para generasi Muslim awal, yang semakin giat dan rajin mendekatkan diri pada Tuhan karena Ramadhan akan pergi. Sehingga, sikap ini yang mempertahankan perubahan perilaku dan derajat ketakwaan pun bisa diraih.
Saat ini, banyak kaum Muslim ketika bulan Ramadhan pergi, menyambut suka cita Idul Fitri dan menganggap dirinya menang serta kembali suci. Ditambah lagi, kapitalis saling berlomba dalam merebut perhatian kaum Muslim untuk membeli baju dan segala perlengkapan menyambut Idul Fitri. Sehingga, banyak kaum Muslim yang juga tergiur dengan godaan kapitalis tersebut. Padahal patokan menang bukan terletak waktu Idul Fitri, namun justru terletak pada waktu sebelas bulan mendatang sampai Ramadhan selanjutnya datang kembali.
Ibarat karantina atau masa belajar, manusia diberi waktu sebulan oleh Tuhan untuk belajar mengendalikan hawa nafsunya. Tuhan bukan ingin mematikan dan menghabisi manusia. Tuhan hanya ingin memperlihatkan dan menyadarkan manusia bahwa ada hal dalam diri manusia yan harus dikendalikan, karena jika tidak dikendalikan maka akan bersifat destruktif. Waktu sebulan selama Ramadhan harus dimaknai sebagai bulan pembangunan karakter dan kepribadian. Karakter mampu memahami kondisi orang lain atau disebut dengan empati sehingga memunculkan sikap berbagi, karakter mampu mengendalikan dorongan sehingga menjadi manusia yang bermartabat, karakter giat mendekatkan diri pada Tuhan, karakter ringan berbuat kebajikan, dan karakter merasa diawasi oleh Tuhan.
Setelah karantina atau proses belajar di bulan Ramadhan, sebelas bulan selanjutnya, sebenarnya kita justru baru melewati masa-masa ketika kita harus tetap mempertahankan perubahan yang sudah berhasil dilakukan di bulan Ramadhan. Jika ternyata di sebelas bulan selanjutnya manusia tidak dapat mempertahankan perubahannya, apakah pantas disebut mendapatkan kemenangan? Seperti halnya ketika kita harus menempuh studi pada derajat tertentu, kita akan mendapatkan kelulusan dalam waktu tertentu. Namun, kelulusan tersebut harus dibuktikan dengan kemampuan kita untuk menghadapi dunia kerja dan kehidupan masyarakat.
Puasa sendiri merupakan momentum untuk mengendalikan hawa nafsu yang cenderung bersifat destruktif jika dibiarkan. Dalam struktur kepribadian, manusia memiliki hawa nafsu. Hawa nafsu, dalam perspektif psikoanalisis, identik dengan id dan insting kematian atau thanatos. Id ini bersifat biologis dan memiliki orientasi kenikmatan (pleasure oriented) dan tidak mempedulikan nilai dan norma sehingga bisa bersifat destruktif, sedangkan thanatos bisa menimbulkan perilaku agresi. Dengan menundukkan id, maka manusia semakin memperbesar superegonya. Gambaran id secara nyata dapat diilustrasikan pada seorang bayi atau anak yang belum memahami nilai, sehingga melakukan apapun yang dia suka (Sigmund Freud, 2009, A General Introduction to Psychoanalysis, halaman 334–382).
Menurut Ibnu Maskawaih, jiwa manusia terdiri dari tiga fakultas, yaitu fakultas berpikir (nathiqah), fakultas menolak yang membahayakan (ghadhab), dan fakultas yang menginduksi kesenangan (syahwat). Selain itu, natur asli dari nafsu dan syahwat ini mengarah pada hal buruk (Abdul Mujib, 2006, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, halaman 129 – 152). Ibnu Maskawaih juga menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat jiwa binatang lunak (an-Nafs al-Bahâmiyah) dan jiwa binatang buas (an-Nafs as-Sabu’îyah). Sementara itu, Al Kindi menyatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari daya nafsu syahwat, daya pemarah, dan daya berpikir; Al Farabi berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri dari jiwa penggerak (an-Nafs al-Muharrikah), jiwa menangkap (an-Nafs al-Mudrikah), dan jiwa berpikir (an-Nafs an-Nâtîqah); dan Ibnu Sina menyatakan jiwa manusia salah satunyaa terdiri dari jiwa binatang atau an-Nafs al-Hayawanîyah (Yadi Purwanto, 2007, Psikologi Kepribadian : Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islami, halaman 96).
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kimiya-us Sa’adat, jasad digambarkan sebagai sebuah kerajaan, di mana jiwa atau ruh sebagai rajanya serta berbagai indera dan bagian lain sebagai tentaranya. Nalar bisa dianggap sebagai perdana menteri, nafsu diilustrasikan sebagai pemungut pajak, dan amarah digambarkan sebagai polisi. Nafsu (digambarkan pemungut pajak) cenderung untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah (digambarkan polisi) cenderung pada kekerasan. Pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhinya secara proporsional. Jika nafsu dan amarah menguasai nalar (digambarkan perdana menteri), maka jiwa (digambarkan sebagai raja) akan runtuh, sehingga jasad beserta perilakunya akan rusak. Jiwa yang membiarkan bagian yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan bidadari kepada seekor anjing.
Dengan demikian, baik ilmuwan sekuler macam Sigmund Freud maupun para ilmuwan Islam, sepakat bahwa dalam diri manusia, ada dorongan-dorongan yang harus dikendalikan dan ditundukkan karena jika tidak disadari dan tidak dikendalikan, maka dorongan tersebut bersifat merusak dan merugikan sehingga mengganggu harmonisasi kehidupan. Puasa merupakan sebuah metode untuk mengendalikan dorongan-dorongan tersebut, atau bisa disebut dengan mengendalikan hawa nafsu.
Terlebih lagi tujuan puasa itu sendiri adalah untuk mencapai derajat ketakwaan. Derajat takwa dimaknai sebagai suatu derajat yang berwujud kesatuan sikap dan perilaku menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan Tuhan. Patokan bertakwa ini tentu akan sempit sekali jika hanya dikontekskan dari Ramadhan sampai Idul Fitri itu saja. Sehingga patokan takwa justru harus dimaknai sebagai menetapnya perubahan perilaku (yang didapatkan pada bulan Ramadhan) dalam menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan Tuhan selama sebelas bulan setelah Ramadhan. Sehingga, indikator kemenangan yang sebenarnya adalah bukan terletak ketika Idul Fitri, tetapi terletak pada waktu-waktu setelah Ramadhan sampai Ramadhan selanjutnya tiba kembali. Yaitu ketika manusia bisa mempertahankan ketakwaan di waktu-waktu selain Ramadhan, ketika manusia mampu mempertahankan perubahan karakternya dan perilakunya untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhan, merasa diawasi oleh Tuhan, bersikap empati dan suka berbagi, dapat mengendalikan dorongan-dorongan dalam diri, serta tidak suka merugikan orang lain.
Penulis adalah Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Tengah
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
4
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
5
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
6
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
Terkini
Lihat Semua