Opini

Menilik Kembali Makna Fitrah dan Fitri

Rab, 12 Mei 2021 | 04:45 WIB

Menilik Kembali Makna Fitrah dan Fitri

Mari kita pahami makna fitrah dan fitri sesuai dengan maksud dan esensi maknanya, sekaligus meluruskan makna yang salah kaprah tersebut

Oleh Abdul Syukur

 

Kebiasaan umat Islam jelang dan dalam suasana lebaran Idul Fitri pada 1 Syawal adalah selalu mengucapkan dan memahami makna Idul Fitri sebagai kembali kepada kesucian. Id berarti kembali, dan fitri berarti suci. Bahkan, sering disamakan makna fitri dengan makna fitrah. Untuk itu, melalui tulisan  ini mari kita pahami makna fitrah dan fitri sesuai dengan maksud dan esensi maknanya, sekaligus meluruskan makna yang salah kaprah tersebut.

 

Kata  Fitrah ( فطرة) berbeda makna dengan kata Fitri (فطر). Namun karena tulisan, bacaan, dan terdengarnya hampir sama, pada umumnya masyarakat menyamakan makna dua kata itu meski beda makna.

 

Dalam tinjauan Al-Qur’an, kata Fitrah terdapat dalam Al-Qur'an surat Ar- Rum ayat 30 yang artinya: "Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah".

 

Ibnul Jauzi dalam Kitab Zadul Masir, jilid 3 halaman 422 menjelaskan makna fitrah di sini sebagai kondisi awal penciptaan, di mana manusia diciptakan oleh Allah pada kondisi tersebut. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang merupakan potensi atau sifat dasar bagi manusia. Berarti fitrah manusia (فطرة الناس) adalah sifat dasar atau potensi yang ada atau dimiliki oleh manusia. Fitrah manusia diciptakan oleh Allah untuk dikembangkan oleh manusia.

 

Pada hakekat awalnya, fitrah merupakan potensi relijius, faktor dasar ketauhidan manusia untuk mengenal Allah sebagai Rabb dan Khaliq yaitu Tuhan dan Pencipta bagi makhluk (manusia). Dengan fitrah, manusia telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa. Bahkan di alam arwah, manusia ditanya oleh Rabb-nya:

 

الست بربكم؟ قالوا بلى شهدنا

"Bukankah Aku sebagai Tuhan kalian? Mereka menjawab: Ya kami bersaksi (Engkau Tuhan bagi kami)."

 

Namun demikian, lengah dan lupa kepada Tuhan dan keesaanNya. Sebagai mana penghujung ayat Al-Qur'an itu berbunyi:

 

انا كنا عن هذا غافلين

"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

 

Akibat tak menjaga janji dengan Tuhan, mereka lengah, kemudian mereka (manusia) mengalami gesekan dengan lingkungannya, atau perubahan fitrah manusia akibat pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Sehingga ada manusia yang fitrahnya baik dan menganut ajaran Islam atau menjadi muslim dan mukmin, namun ada juga manusia yang menganut ajaran Nasrani atau agama lain.

 

Singkatnya, makna fitrah adalah potensi atau faktor dasar bagi manusia yang dalam bahasa Yunani menurut Aristoteles disebut Idea innatea yaitu keadaan baik, suci tanpa dosa, dan bisa potensi jahat atau kotor atau salah.

 

Hal ini disinyalir dalam QS. Asy-Syams ayat 7-10:

 

ونفس وما سوىها. فالهمها فجورها وتقوىها. قد افلح من زكىها. وقدخاب من دسىها.

“ Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)-nya. Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan kebaikan. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa).Dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwa itu”.

 

Kata fitrah juga bermakna jiwa ( النفس) yang menjadi bagian inti dan esensi dari jiwa. Fitrah yang membuat jiwa tetap suci adalah orang yang selalu dzikrullah dan shalat sebagaimana termaktub dalam QS. Al-A'la: 15

 

 وذكر اسم ربه فصلى

"Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat."

 

Sebaliknya, yang membuat jiwa kotor adalah dusta dan ekstrem, ghuluw /thaghau atau kebohongan dan tindakan melampaui batas (zalim). Ini diterangkan dalam QS.Asy-Syams: 11

 

كذبت ثمود بطغوىها

 "(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas (zalim).

 

 

Sementara kata Fitri ( فطر) berasal dari kata afthara (افطر) yufthiru (يفطر) yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Hal ini tersebut ketika kita berdo'a berbuka puasa:

 

 اللهم لك صمت وبك آمنت وعلى رزقك افطرت

"Ya Allah, kepadaMu aku berpuasa, dan kepadaMu aku beriman, dan atas rejekiMu aku berbuka (puasa Ramadhan)"

 

Adapun berbuka puasa terakhir (hari terakhir) di bulan Ramadhan, disebut idul fitri (عيد الفطر). Berarti secara etimologis, Idul Fitri bermakna hari raya berbuka puasa. Sebab, berakhirnya puasa Ramadhan ditandai dengan berbuka terakhir, dan esok harinya, pada tanggal 1 Syawwal umat Islam haram berpuasa, dan wajib tidak berpuasa dan harus berbuka puasa.

 

Tetapi, masyarakat lumrah atau salah kaprah mengartikan Idul Fitri sebagai kembali suci, kembali pada kesucian, atau kembali ke suci. Pemahaman ini berargumentasi pada kondisi manusia yang telah berpuasa Ramadhan kembali suci bagaikan bayi baru lahir tanpa dosa. Untuk memperkuat argumen disandarkan pada dalil hadits Nabi:

 

كل مولود يولد على الفطرة

"Setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah

 

Lagi-lagi, makna fitrah dalam hadits ini juga bukan suci, namun berarti potensi/sifat dasar dengan sambungan redaksi اadits tersebut:

 

فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه.

"Maka kedua orang tuanya (bayi/anak itu) akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

 

Dan aksentuasi hadits ini adalah pada peran orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga.

 

 

Fitrah dan Fitri Manusia di Bulan Syawal

 

Bulan Syawal adalah bulan peningkatan amal ibadah kita untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Swt. Sesuai dengan namanya, kata Syawal/ Syawwal adalah bentuk Masdar yang berasal dari bentuk kata kerja (fi'il) yaitu syawwala, yusyawwilu (شول يشول), bermakna meningkatkan, dan syawwal berarti peningkatan.

 

Tanggal 1 Syawwal merupakan momentum dan gerbang masuk bagi orang-orang yang telah berpuasa selama Ramadhan untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Swt.  Pancaran iman dan takwa menjadikan mereka makin tekun ibadah baik yang mahdhah dan ghairu mahdhah. Akhlakul karimah juga mewarnai kehidupannya sebagai puncak keimanan dan ketakwaan bagi umat Islam yang telah memperoleh kemenangan.

 

Mereka yang memperoleh Kemenangan (من الفائزين)  adalah orang-orang yang bebas dari belenggu hawa nafsu, bebas dari budak nafsu, merdeka sebagai jati diri manusia sebagai hamba Allah. Mereka hanya menghamba (ibadah) kepadaNya dan termasuk orang-orang yang bebas. Kemudian ini juga diungkapkan dengan kalimat (من العائدين) yang secara bahasa berarti "termasuk dari orang-orang yang berbuka."

 

Makna filosofisnya adalah harapan agar Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bebas dari budak hawa nafsu. Hal ini selaras dengan manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki derajat yang mulia harus mampu mengembalikan hawa nafsu dalam dirinya. Bukan nafsu yang mengendalikan diri manusia sehingga manusia diperbudak oleh nafsunya.

 

Sehingga, orang yang telah memperoleh kemenangan mengalahkan hawa nafsu dinamakan al-muflihun, al-faizun, al-'aidun yang pada tanggal 1 syawal atau Idul Fitri diwujudkan dalam budaya dan selalu mengucapkan Minal Aidin wal Faizin (Semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang berbuka dan berbahagia).

 

Dalam konteks kekinian, di antara cerminan seseorang mampu mengendalikan hawa nafsu setelah Ramadhan adalah kemampuan untuk meninggalkan kemadlaratan dari pada mengambil manfaat. Seperti pada pandemi Covid-19 yang belum berakhir saat ini, maka sebaiknya kita tunda mudik, tidak pulang ke kampung halaman demi menjaga kesehatan dan keselamatan semua. Terkait silaturrahim bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung memanfaatkan hasil perkembangan teknologi internet. Daripada mudik tetapi akan beresiko pada kesehatan dan keselamatan diri kita serta keluarga di kampung.

 

كل عام وانتم بخير

Semoga sepanjang tahun kalian dalam keadaan baik.".

Wallahu A' lam bish-shawab

 

Penulis adalah Wakil Ketua PWNU Lampung dan Dosen UIN Raden Intan Lampung