Opini

Mengindonesiakan Generasi Bangsa

NU Online  ·  Jumat, 1 Juni 2018 | 20:30 WIB

Mengindonesiakan Generasi Bangsa

Ilustrasi: metrotvnews.com

Oleh: Nanang Qosim

Saat ini bangsa Indonesia punya masalah terkait dengan keindonesiaan kita. Sangat ironis, nilai-nilai keindonesiaan tak terpahami dengan baik di kalangan masyarakat luas. Akibatnya, kecintaan pada bangsa, negara, dan tanah air, terkesan kian memudar.
Benih kepudaran itu mulai tampak tatkala era global melanda masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Ketika kita bersikap terlalu mudah meninggalkan tradisi dan sesuatu yang asing acapkali menyilaukan mata, tradisi luhur yang kita miliki ditinggalkan begitu saja.

Sikap ini berbeda dengan negara maju seperti Jepang dan Inggris yang begitu menghargai dan memanfaatkan tradisi dalam kancah era global. Mereka memahami, tradisi merupakan modal budaya untuk membangun karakter bangsa. Tradisi telah dianggap sebagai sebuah kekuatan fundamental dalam era global.

Nenek moyang bangsa kita pasti bersedih. Sebab, budaya kita ternyata tak terwariskan pada generasi bangsa. Terlebih lagi, sampai terberdayakan untuk pembangunan kepribadian generasi bangsa. Dan, ironisnya lagi, yang justru kemudian banyak memanfaatkan kearifan lokal kita adalah bukan bangsa kita sendiri.

Akibat tak terperhatikannya kekayaan budaya kita, banyak di antaranya yang terjual murah ke luar negeri, dan tentunya amat sedikit yang kemudian tersimpan di museum bangsa kita. Padahal, kekayaan budaya itu sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk pembentukan karakter bangsa. Implikasinya, fundamen kepribadian generasi bangsa tak terbangun dari akar tradisi yang kuat.

Pada era reformasi, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa tersadari ternyata kita juga telah mengabaikan Pancasila. Padahal, sebagai ideologi negara, Pancasila itu juga sarat dengan nilai-nilai keindonesiaan. Pancasila merupakan warisan budaya (culturalheritage) dari para pendiri negara (foundingfathers). Pancasila juga telah menjadi konsensus nasional. Pancasila, tegasnya, adalah dasar negara kita.

Dalam masa Orde Baru, nilai-nilai Pancasila memang telah dicoba dihayati dan diamalkan, meskipun tentunya belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Di masa Orde Baru, sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan pengelolaan atas ideologi negara, diakui atau tidak, memang telah diupayakan. Akibatnya, pada masa itu, nilai-nilai Pancasila cukup tersosialisasi pada masyarakat kita. Namun demikian, di masa itu, memang masih terdapat banyak penyimpangan, seperti adanya korupsi dan cara-cara doktrinasi.

Dengan demikian, patut diluruskan bahwa yang bermasalah bukan Pancasila-nya. Semua itu tak seharusnya dijadikan alasan untuk mengabaikan keberadaan Pancasila. Penyimpangan itu terjadi karena orang-orangnya yang belum mampu mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Sejak saat itu, Pancasila memang tergamangkan sebagai ideologi negara, dan berarti menjauhkan bangsa kita dari keindonesiaan. Akibatnya, tak terjadi peningkatan sosialisasi, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Selama ini, kita juga kurang menganggap penting memberi pemahaman tentang keniscayaan keindonesiaan, sehingga ideologi negara begitu mudah ingin diganti. Keniscayaan Indonesia adalah sebagai masyarakat plural dan multikultural. Bahwa Indonesia terdiri atas suku, agama, ras, antargolongan yang berbeda dalam negara kepulauan yang luas, merupakan realitas tak terbantahkan. Maka dari itu, harus ada ideologi yang mengikat kesadaran kebangsaan, agar bangunan negara-bangsa kita dapat tersatukan. Keniscayaan ini tampak tak cukup dipahami dalam generasi kita.

Isu aktual yang jadi penyebab memudarnya cinta bangsa, negara, dan tanah air adalah karena masih terjalnya kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat, ketidakadilan dan krisis supremasi hukum, krisis keteladanan, dan ketakberpihakan negara kepada rakyat. Untuk itu, kondisi negara-bangsa ini perlu dikelola dalam iklim demokrasi yang lebih sehat dan sungguh-sungguh.

Dalam demokrasi, sistem pengelolaan negara yang harus dijiwai adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Reformasi juga seyogianya dilaksanakan dalam kesungguhan dan secara menyeluruh, mulai dari reformasi politik, ekonomi, sampai pada reformasi mental dan budaya bangsa.

Untuk membangkitkan kesadaran kebangsaan kembali saat ini, perlu dimulai dengan upaya mengindonesiakan generasi bangsa. Ini merupakan langkah yang harus ditempuh, agar generasi kita memang menjadi generasi yang disemangati nilai keindonesiaan. Dengan begitu, niscaya rasa cinta bangsa, negara, dan tanah air secara berangsur-angsur akan pulih kembali.

Penulis adalah kolumnis dan peneliti, pengurus Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang.