Opini Dakwah Transformatif: (bagian III)

Mengantar Da'i sebagai Pendamping Masyarakat

NU Online  ·  Ahad, 1 Oktober 2006 | 13:35 WIB

Oleh Khamami Zada

Indikator Dakwah Transformatif

Dakwah transformatif tidak akan bisa disebut transformatif jika tidak memenuhi, setidaknya, lima indikator. Pertama, dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, para da’i sudah mulai memperkuat materi dakwahnya pada isu-isu sosial, seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Sehingga para da’i tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrowi. Materi-materi sosial untuk zaman sekarang ini terasa penting sekali karena banyaknya problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat. Penyebaran Islam sosial ke masyarakat secara terus-menerus melalui dakwah merupakan cara yang paling ampuh untuk mengubah pemahaman keagamaan masyarakat, bahwa beribadah bukanya secara vertikal kepada Allah, tetapi juga secara horisontal terhadap sesama manusia. Sehingga akan terjadi suatu masyarakat yang saleh individual dan saleh sosial. Ibaratnya ibadahnya rajin, kepekaan sosialnya juga tinggi, sehingga ada keharmonisan dalam beragama secara sosial.

<>

Dari aspek materi juga ada perubahan; dari materi dakwah yang ekslusif ke inklusif. Para da’i tidak lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi non muslim. Kecenderungan selama ini para da’i sering menyampaikan dakwah yang bernada permusuhan terhadap agama lain. Padahal cara ini justru membuat masyarakat ikut memusuhi agama lain hanya karena agamanya yang berbeda. Karena itulah, dakwah sudah mulai diarahkan pada paradigma beragama yang toleran dan inklusif. Paradigma ini telah menjadi  semangat teologi al-Qur’an bahwa Islam bukanlah agama yang memusuhi umat lain, hanya karena berbeda agamanya. ”Kalimatun sawa” (titik temu yang sama) antar berbagai agama yang sudah digambarkan dalam al-Qur’an menjadi kata kunci dalam dakwah transformatif. Bahwa setiap agama diajak untuk mencari titik temu agar jalinan kerukunan dapat tercipta dan terbina dengan baik. Bahkan, penghormatan kepada agama lain sudah menjadi praktik Rasulullah Saw ketika di Madinah yang ditunukkan dengan hidup berdampingan bersama agama Yahudi, dan kaum Musyrik untuk membangun komunitas baru secara bersama-sama. Bahkan, dalam kisahnya, Rasulullah Saw pernah mempersilahkan kepada pendeta Nasrani yang hendak melaksanakan kebaktian. Rasulullah justru mengizinkan masjid Nabawi dijadikan sebagai tempat kebaktian kaum Nasrani. Teologi toleran yang diajarkan dalam al-Qur’an dan praktik Rasulullah inilah yang mestinya terus-menerus dipupuk ke dalam pemahaman keagamaan masyarakat melalui dakwah transformatif.

Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Para da’i sudah berubah cara penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan sudah melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh da’i dengan kemampuan yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah. Dakwah dengan model dialog inilah yang akan memancing keaktifan jamaah untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial dalam dimensi keagamaan. Jika yang dilakukan hanya melulu pengajian monolog, tanpa adanya umpan balik dari jamaah, maka yang terjadi adalah sekadar menghilangan  dahaga spiritual, bukan melakukan perubahan pemahaman, sikap dan perilaku sosial. Dakwah dengan model dialog dilakukan dalam rangka mencapai cita-cita dakwah transformatif.

Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Para da’i mesti menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Dalam kerja-kerja transformasi, agenda perubahan biasanya didukung oleh basis massa atau institusi yang pada gilirannya akan digunakan sebagai perangkat kerja perubahan. Maka, dalam dakwah transformatif, institusi merupakan indikator penting untuk memuluskan jalan perubahan. Kekuatan kerja dakwah transformatif, bukan saja secara individual pada diri sang da’i, tetapi juga basis institusional yang dimilikinya, sehingga bargaining position (posisi tawar) terhadap negara, pelaku pasar, dan masyarakat bisa didapat relatif lebih mudah. Tanpa institusi yang menjadi pendukung, da’i transformatif akan kesulitan untuk melakukan aksi terhadap stakeholder-stakholder yang ada di sekitarnya.

Keempat, ada wujud keberpihakan pada mustad’afin. Para da’i terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya semisal kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib nelayan dan petani. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi da’i yang menggunakan pendekatan transformatif. Rasa empati sosial terutama ditujukan pada si korban,  baik itu korban penggusuran, korban penindasan, korban permainan ekonomi, korban konflik, dan masih banyak lagi. Empati terhadap korban menjadi modal dasar untuk melakukan langkah strategis untuk membantu par