Mengantar Da'i sebagai Pendamping Masyarakat
NU Online · Jumat, 29 September 2006 | 10:25 WIB
Oleh Khamami Zada
Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, Islam telah mengubah kehidupan sosio-budaya dan tradisi keruhanian masyarakat Indonesia. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha.
<>Islam masuk ke Indonesia melalui jalan dakwah yang panjang yang dilakukan oleh para da’i dari bebeberapa negara, seperti bangsa Arab dan Gujarat. Dakwah Islam yang dilakukan para da’i di masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati masyarakat Indonesia yang waktu itu menganut agama kepercayaan, Hindu dan Budha. Keberhasilan para da’i di abad ke-16-17 itu lebih banyak disebabkan oleh cara dakwah mereka yang menunjukkkan hubungan yang dialogis, akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Para da’i ketika itu memainkan peran penting sebagai penyebar agama hingga pengayom masyarakat. Sehingga hubungan antara da’i dengan masyarakatnya sangat dekat, tanpa sekat yang menjauhkan antara keduanya. Hal inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah yang dilakukan Walisongo dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya lokal untuk menarik simpati dari masyarakat. Walisongo menyebarkan Islam di Indonesia tidak dengan menggunakan pendekatan halal-haram, melainkan memberikan spirit dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga Islam kemudian bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat secara substansial. Tak pelak lagi, kondisi inilah yang kemudian memudahkan penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah, memang da’i pada awalnya menjadi cultural broker atau makelar budaya (Clifford Geertz). Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Hiroko Horikoshi (1987) memberi penegasan, bahwa peran kyai sekaligus sebagai da’i tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, para da’i memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi perubahan sosial melalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Contoh yang paling konkret adalah ketika KH. Basith mengadvokasi petani tembakau di Guluk-Guluk, Madura. KH. Basith sebagai kyai dan da’i mampu memainkan peran ganda; sebagai ahli agama sekaligus sebagai pendamping masyarakat yang sedang mengalami problem sosial. Ini adalah bentuk dari peran da’i sebagai agen perubahan sosial.
Peran ganda da’i; sebagai ahli agama dan pendamping masyarakat sesungguhnya merupakan wujud dari pemahaman Islam yang sempurna (Islam Kaffah). Sebab, selama ini para da’i lebih banyak difokuskan pada peran penyebaran Islam ke masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Islam yang seringkali dipahami hanya sebagai persoalan ibadah saja, yang pemaknaannya masih terbatas pada pola hubungan hamba dengan Tuhan (vertikal). Sehingga penyebaran dakwah yang terjadi di masyarakat lebih banyak menyoroti persoalan ibadah kepada Allah SWT secara ekslusif, tanpa memaknainya secara luas. Padahal, Islam memiliki spirit pembebasan, yang meniscayakan pola hubungan yang tidak saja vertikal kepada Tuhan, tetapi juga pola hubungan yang horisontal terhadap sesama manusia. Sehingga Islam sebagai agama memiliki tanggung jawab sosial agar masyarakat memiliki perilaku sosial yang bertanggungjawab, transparan, dan berkeadilan.
Islam sebagai agama yang membebaskan semestinya mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, penindasan, kewenang-wenangan, dan kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga Islam tidak kehilangan orientasi horisontalnya dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia. Belum lagi problem so
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Cerpen: Tirakat yang Gagal
4
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
5
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua