Opini

Mengais Berkah Lailatul Qadar

NU Online  ·  Sabtu, 9 Juni 2018 | 16:00 WIB

Oleh: Akhmad Kanzul Fikri

Allah SWT menjanjikan bahwa di bulan Ramadhan ada sebuah malam istimewa yang disebut dalam surat Al-Qadar; sebuah malam yang kebaikannya melampaui ibadah seribu bulan, yakni Lailatul Qodar. Ibarat tamu, setiap orang menantinya dan berebut untuk menjamunya, persiapan berupa ibadah sunnah digelar sedemikian rupa, masjid-masjid dan mushalla pun tampak ramai, malam hari tampak seperti siang hari.

Puasa Ramadhan yang kita jalani, pada dasarnya, memang memiliki karakteristik yang unik dibandingkan ibadah lainnya. Puasa adalah ibadah personal, bersifat direct (ikut merasakan langsung rasa lapar sebagaimana kaum papa), dan puasa mampu membangun sebuah relasi intim antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Saking eksklusifnya, Allah WT turun tangan langsung dengan memberi pahala unlimited tanpa asistensi para Malaikat. Jika satu kebaikan di luar Ramadhan diganjar dengan sepuluh kebaikan (‘asyru amtsaliha), maka di bulan ini tidak ada kalkulasi yang pasti, karena ia lebih dari sekedar hitungan sepuluh kebaikan. Itulah mengapa Allah SWT menandaskan, “Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya langsung.”

Sebagai klimaksnya ibadah Ramadhan, Gusti Allah memberikan mysterious guest berupa lailatul qadar yang menurut keterangan Hadits Nabi dan jumhur ulama, ia terletak pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Pada malam berapa ia terjadi?Wallahu’alam...

Di sinilah letak seni dan indahnya kita dalam ber-fastabiqul khoirat. Nabi Muhammad SAW dan para ulama hanya memberikan ciri-cirinya. Selebihnya tergantung niat ikhlas dalam diri masing-masing individu untuk meraih keberkahannya.

Keterangan Hadits dan Pendapat Para Ulama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya, “Carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan." (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Dalam Shahih Al-Bukhari Shahih Muslim disebutkan, dari Aisyah Radhiyallahuanha, ia berkata, “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli isterinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya,” demikian menurut lafadz Al-Bukhari.

Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahuanha, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya."

Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau, "Carilah lailatul qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha). 

Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa lailatul qadar itu ada pada sepuluh akhir Ramadan, terutama pada malam tanggal ganjil.

Sedangkan para kalangan sufi, seperti Imam Ghazali, Ibnu Araby, dan Imam as-Syadzili malah mampu membuat semacam penelitian dengan kaidah rumus prediksi terjadinya malam lailatul qadar berdasarkan hari dimulainya awal bulan Ramadan. Keterangan kaidah perumusan tersebut dapat ditemui pada keterangan kitab Hasyiah Baijury, Tuhfah as-Syarwâny wal Jamal dan ‘Inatut Thâlibîn.

Adapun ciri-ciri malam lailatul qadar menurut Imam Ghazali di dalam kitab Mukasyafâtul Qulub, dapat diketahui dari sejumlah pertanda fenomena alam. Di antaranya pada malam itu, suasana cerah, hening dan nyaman, tidak dingin dan tidak pula panas, tidak pula hujan, atau gerimis. Bintang-bintang bersinar gemerlapan. Pada pagi harinya, matahari bersinar agak redup, disebabkan kepakan sayap malaikat yang turun naik silih berganti hingga fajar.

Dampak Keberkahan Lailatul Qadar

Manusia boleh saja berharap mendapatkan jackpot berupa lailaltul qadar, demikian maklum adanya. Karena klta memang diperintah untuk memperbanyak amal kebaikan sebagai bekal diakhirat kelak. Namun, secara esensi, haruslah kita pahami secara elementer tentang hikmah tentang persitiwa ini. Bisa jadi setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah lailatul qadar itu sendiri. Bisa jadi kegiatan positif kita bekerja di kantor, membaca buku, belajar dengan sungguh-sungguh, hingga mengabdi kepada keluarga dan masyarakat adalah intisari dari lailatul qadar.

Penulis lebih tertarik mendiskusikan tentang dampak yang ditimbulkan (atsarI) bagi seseorang yang memang betul-betul mendapatkan keberkahan malam lailatul qadar. Ibarat orang yang pulang haji menjadi sosok yang mabrur, ibarat seorang pelajar yang telah diwisuda hingga menjadi insan cendikia, ibarat ahli ibadah yang terpancar nuur dari wajahnya (min atsaris sujuud). Maka di sinilah Ramadhan menjelma menjadi sebuah 'institusi madrasah' yang menyucikan hati, pikiran dan tingkah laku kita sehingga diharapkan menjadi insan kamil.

Dengan puncak keberkahan lailatul qadar, semoga kita menjadi manusia seutuhnya, yakni pribadi yang santun tutur kata dan sikapnya, penyayang kepada sesama, serta konsisten untuk menuju arah kehidupan yang lebih positif.

Wallahu’alam.

Penulis adalah Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al-Aqobah Jombang, Jawa Timur;  dan dosen Unwaha.