Opini

Mencari Kemerdekaan Yang Hakiki

NU Online  ·  Rabu, 23 Agustus 2006 | 07:38 WIB

Oleh: Fahmi Zakwani*

Pendahuluan
JAS MERAH, istilah yang mungkin sudah kita ketahui bersama yang pernah diucapkan Bung Karno. “Jangan pernah melupakan sejarah” adalah sebuah pesan yang mengandung makna besar. Dari sini kita dapat pahami, bahwa untuk dapat membaca keadaan yang terjadi saat ini atau di masa yang akan datang, mungkin dapat kita carikan jalan keluarnya dengan mengulas kembali apa yang telah terjadi di masa lalu dengan perjuangan para pendahulu di dalam menghadapi situasi saat itu dan meneruskan cita-cita mereka. Itu pulalah tujuan dari apa yang diinginkan para penulis sejarah dengan buku-buku mereka.

Namun sangat disayangkan sekali, bahwa sejarah lama bangsa kita yang tertulis sering kali berbeda dengan apa yang telah terjadi sebenarnya. Sehingga sejarah kita sering pula dijadikan sebagai alat legimitasi kekuasaan. Dan juga kita terjebak oleh keharusan membaca sejarah lama kita dengan versi yang berbeda-beda.

<>

Kita dan Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 kaum nasionalis Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dengan dipaksa kaum pemuda. Dan sehari kemudian, UUD 45 yang dirancang secara terburu-buru  diumumkan sebelum Belanda datang kembali untuk menjajah. Periode 1945-1949, beberapa peperangan antara tentara nasional dengan tentara sekutu  yang ingin kembali menjajah tanah air terjadi di beberapa daerah. Yang terbesar adalah perang di Surabaya yang kita kenal dengan peristiwa 10 November (hari pahlawan).

Pada tahun 1949, gencatan senjata antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda tercapai. Namun hingga tahun 1951, Belanda belum menyerahkan Irian Barat ke tangan Indonesia yang pada akhirnya, Soekarno membentuk Trikora setelah berkonsultasi dengan K.H. Wahab Hasbullah. Ini mungkin bisa dikatakan akhir penjajahan eksternal dengan menggunakan militer atas Indonesia. Meskipun kemudian muncul kontroversi tentang pengakuan masuknya Irian Barat ke wilayah NKRI sampai memaksa Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada tahun 1960, karena dipandangnya Belanda telah melakukan tindakan agresif di Irian Barat. Dan kontroversi itu belum terselesaikan hingga saat ini. (Dari beberapa sumber yang penulis dapati saat ini)

Setelah external colonialism (penjajahan oleh pihak luar) dengan militer sudah meninggalkan Indonesia, ketika Orde Baru berkuasa justru terjadi internal colonialism yang juga tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer terhadap rakyat Indonesia sendiri untuk mempertahankan kekuasaan. Dan pada periode inilah sejarah Indonesia banyak yang dipalsukan. Penindasan, penculikan bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana baik itu terhadap individu maupun massal secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan yang membuat mereka lebih mirip dengan rezim Nazi Jerman yang membunuh sesama bangsanya sendiri.

Kini, di alam reformasi kita telah jauh terbebas dari tekanan militer pihak eksternal dan paling tidak, hanya masih ada sedikit dari internal. Untuk sebuah perbaikan, maka tidak ada gunanya balas dendam. Namun ternyata kita masih dijajah melalui segi moral, budaya, sosial, politik, hukum dan ekonomi dari kedua kekuatan tersebut. Kemerdekaan yang hakiki belum bisa dicapai. Sudah berapa banyak hutang negara kita terhadap IMF yang bukan cuma mempengaruhi kebijakan perekonomian kita namun juga mempengaruhi kebijakan politik luar-dalam negeri kita dan lainnya. Kedaulatan kita belum seratus persen kita miliki. Hal yang paling membahayakan adalah pengaruh budaya Barat yang negatif telah merasuki bangsa ini yang kebanyakan diserap melalui film-film. Tidaklah menjadi masalah ketika budaya disiplin mereka (hal posotif) yang kita serap. Yang menjadi masalah adalah ketika hedonisme bahkan morfinisme dan hal negatif lain yang justru digandrungi. Ini merupakan contoh masih adanya External colonialism di negara kita. Kecintaan akan dunia yang diusung oleh kaum materialis makin merambat ke mana-mana.

Internal colonialism pun masih menjerat kita di sana-sini. Seringkali masih kita dapatkan kepincangan dalam penegakan hukum. Tirani dalam pemerintahan atau sebuah organisasi. Tidak diberinya kebebasan menjalankan keyakinan dalam sebuah kantor atau perusahaan. Pengusaha besar selalu diberikan lahan seluas-luasnya, sedangkan pedagang kecil terus menjadi korban penertiban dan penggusuran dengan tidak diberikan jaminan penggantian lahan. Tragedi Maluku beberapa waktu lalu adalah yang paling mengenaskan dari masih adanya sedikit penjajahan dengan militer dari dalam karena diduga adanya oknum yang bermain. Para oknum ini disetir oleh orang yang berbahaya. Begitu juga dengan kasus-kasus ledakan bom yang selama ini menghantui kita.

Wajar saja jika rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang mempertanyakan kembali arti dari sebuah kemerdekaan. Agar kemerdekaan tidak menjadi ejekan, kebebasan tidak menjadi penghinaan, merah-putih tidak jadi ancaman dan perayaan tujuhbelasan tidak menjadi kewajiban yang membosanka