Opini

Mencari Jalan Baru dalam Bernegara

NU Online  ·  Senin, 6 Agustus 2012 | 02:37 WIB

Oleh Fariz Alniezar

 

Islam, Lebih tepat dan sopannya lagi Syariat Islam adalah sebuah rule of the game yang memperbolehkan pemeluk Hindu untuk tetap bebas menjalankan agamanya, pemeluk Budha untuk tetap bebas pergi ke tempat ibadahnya, juga Kristen untuk tetap rutinan kebaktian di gereja atau bahkan juga peyakin gatholocho, Anand Khrisna dan juga kebatinan untuk tetap leluasa berekspresi menjalankan apa yang di bathin dan diyakininya, lebih jelasnya maksud saya begini Islam adalah agama yang bersimbolkan al-Qur’an dan “tukang suratnya” adalah Muhammad SAW. Karena Muhammad ini adalah akhlaquhul Qur’an maka tidak berlebihan jika saya sebut Muhammad adalah al-Qur’an versi Manusianya. Lalu saya memberanikan diri untuk mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab sebuah agama yakni Islam yang di dalamnya memuat nilai-nilai demokrasi yang sangat luar biasa. Diantaranya sebut saja tentang ayat yang saya comot terjemahan bebasnya di atas tadi.<>

Dalam pelbagai literatur yang pernah di tulis oleh Islamolog-Islamolog kenamaan semisal Karen Amstrong sang freelance monotheist yang mengatakan bahwa sulit sekali untuk mengatakan bahwa benih-benih demokrasi serta nilai-nilai demokrasi tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Di sanalah anda akan menemukan prinsip syura, dialog, musyawarah yakni sebuah asas yang belakangan menjadi dasar yang sangat fundamen akan tegaknya sebuah demokrasi baik sebagai sitem maupun demokrasi sebagai tata nilai.

Tentu saya juga tidak boleh menutup mata dengan apa yang dikatakan oleh misalnya para orientalis yang mengatakan bahwa ada sebagian hukum dalam al-Qur’an yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, sebut saja misalnya hukum potong tangan, rajam, had cambuk juga pembagian warisan yang terkesan menjadikan wanita sebagai second human being bagi para lelaki.

Ali al-Jurjawi (1992) seorang ahli filsafat hukum Islam mengatakan bahwa, tidak ada satupun hukum Islam yang menyalahi nilai-nilai demokrasi, hukum pancung sebagaimana yang diisukan berseberangan dengan apa yang telah dirumuskan di the declaration of human right (deklarasi HAM) ternyata setelah dikaji lebih dalam tidak berseberangan sama sekali dengan deklarasi tersebut. Apa pasal? karena nilai-nilai demokrasi ternyata ada di setiap hukum yang diisukan tidak sesuai dengan HAM tersebut.

Dalam nomenklatur hukum Islam, tentu kita tahu ada aspek statis dan juga ada aspek dinamis bahasa agamanya ada janibuts tsabit ada juga janibul mutaghayyir. lha selama ini yang disorot adalah aspek dinamisnya, artinya pada tataran pelaksanaannya yang cenderung dipermasalahkan tapi nilainya mereka tak menyentuhnya sama sekali. Hukum potong tangan, had juga pembunuhan itu semua adalah janibul mutaghayyir sedangkan janibuts tsabitnya adalah efek jera, argumen itu kita juga bisa temukan di-tasyri’al jina’i-nya Abdul Qodir Audah (1988).

Prinsip kutub statis dan dinamis hukum Islam inilah yang sering “dilupakan” oleh kalangan pengkaji Islam bahkan kalangan Islam (Fundamentalis?) dalam beberapa hal juga sering melupakan misalnya dalam hal berpakaian dan prinsip menutup aurat, kekurang dewasaan ilmu serta kecongkakan intelektual-lah yang menyebabkan ketidak tuntasan memahami sebuah universalitas ajaran agama, menutup aurat adalah dasar, kutub statis dan prinsip yang tidak bisa ditawar lagi tapi mengenai mekanisme penutupannya, pakai kerudung, triplek, seng, kantong plastik atau apalah itu tergantung kultur, kondisi serta budaya sosio-modisnya.

Lokus baru

Yang menarik--sebagaimana di tulis oleh Mun’im A. Sirry (2009)-- adalah sebetulnya lokus perdebatan yang lebih seksi untuk diperdebatkan adalah bukan pada tataran apakah Islam compatible dengan demokrasi?, akan tetapi lebih kepada bagaimana keduanya yakni Islam dan demokrasi bisa saling memperkuat (mutually reinforcing).

Di sinilah tantangan para sarjana muslim untuk men-disending opini yang mengatakan bahwa hubungan saling memperkuat antara Islam dengan demokrasi itu hal yang sulit-untuk sekedar tidak megatakan mustahil-. Karena sebagaimana yang disinyalir oleh M Arif Hakim (2010) bahwa Islam itu di tuduh ambivalen dan tidak konsisten. bagaimana tidak? di satu sisi ia mengajarkan kebaikan, kelembutan tapi di sisi lain ia mengajarkan doktrin kekerasan, jihad misalnya. Argumentasi yang disodorkan adalah kita tidak bisa mengahapus sejarah bahwa pada masa awal dinasti-dinasti Islam, tak dipungkiri Islam kadang atau (Sering?) disebarkan dengan jalan pedang dan kekerasan.

Akhirnya, Indonesia.

Satu hal yang menarik dan mungkin bahkan luput dari pengamatan para pengamat politik, tata negara, sosiolog, futurolog maupun antropolog masa kini adalah mereka lupa dalam sebuah tesis, apapun nomenklaturnya pasti yang menjadi titik pusat adalah subjek. Maksud saya barangkali saya tidak terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa manusia-manusia yang diberi kesempatan untuk hidup di negeri ini adalah manusia-manusia “khusus” yang sengaja diciptakan untuk Negara yang “tidak jelas” macam Indonesia ini.

Pipit Kartawidjaja (2010) mengajukan sebuah analisis menarik, ia mengimani bahwa di negeri ini tak ada hubungannya antara pemerintah-negara dan rakyat. Ketiga terminologi yang saya sebut tadi hampir di semua lini sampai hari ini belum mendapatkan kejelasan, bidang hukum serta sektornya masing-masing.

Dalam bahasa yang agak mudah dicerna, Negara tidak bisa hadir dan abstain dalam kehidupan kita. So tentu implikasi praksisnya kita “dipaksa” untuk berkompetensi dengan penduduk lain hanya untuk sekedar mendapatkan sesuap nasi buat esok pagi.

Kenyataan seperti inilah yang mendorong semangat kita untuk menyemai benih-benih universalitas Islam, kenapa? Karena ditengah ketidak jelasan segala sesuau di negeri ini disadari atau tidak menyemaikan benih-benih keislaman pada tata nilai kehidupan seharai-harilah yang akan mampu membawa kita kepada sebuah jalan baru, pemahaman baru serta perangkat “nilai” baru untuk berbangsa dan bernegara yag lebih baik, itulah jalan baru bagi Indonesia kita. Wallahu A’lam Bisshowab


* Esais dan Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta