Opini

Menangkal Radikalisme ala Kemenristek Dikti

NU Online  ·  Selasa, 19 Juni 2018 | 06:00 WIB

Menangkal Radikalisme ala Kemenristek Dikti

Ilustrasi (Times Higher Education)

Oleh Ali Muhtarom 

Pemerintah, melalui Kemenristek Dikti sedang melakukan upaya pencegahan terhadap radikalisme agama di lingkungan kampus. Langkah tegas Kemenristek Dikti dalam mencegah paham radikal tersebut juga tidak luput dari penolakan dari sebagian kampus yang menilai upaya Pemerintah itu terlalu berlebihan, bahkan terkesan represif. Rektor ITS misalnya, yang walaupun ada indikasi oknum dosennya terlibat sebagai simpatisan HTI, menolak stigma ada radikalisme di kampus. 

Walaupun demikian, realitas menunjukkan bahwa munculnya Siska Nur Azizah, seorang mahasiswi semester enam Universitas Pendidikan Indonesia Bandung yang mengidolakan narapidana teroris Maman Abdurrahman di Markas Komando Brigade Mobil untuk membantu teroris, pengungkapan bom di Kampus Universitas Riau beberapa waktu yang lalu, atau juga berbagai laporan masyarakat ke BKN terkait ASN dosen yang memiliki kecenderungan mendukung ujaran kebencian menguatkan stigma bahwa dunia kampus memang tidak imun dari virus radikalisme. 

Apa yang disampaikan oleh salah seorang petinggi BNPT bahwa kampus terpapar paham radikal juga tidak salah. Menurut saya, statemen BNPT tersebut bukan berarti ingin mendeskriditkan dengan ungkapan peyoratif kepada kampus. Akan tetapi, sebaliknya, justru sebagai antisipasi atau langkah preventif terhadap bahaya radikalisme di lingkungan Kampus. 

Sistem pendidikan yang tidak memadai akibat kurikulum dan dosen yang tidak kompatibel, menurut saya, ikut menyumbang tumbuhnya radikalisme tersebut. Hal ini misalnya terjadi pada kasus Siska yang tidak puas terhadap penjelasan dosennya mengenai fenomena ISIS. Jawaban dosen yang tidak kompatibel dengan mengatakan ISIS adalah kelompok teroris buatan Amerika justru menyisakan persoalan tersendiri di kalangan akademisi. Ketika dosen tidak kompatibel, tidak memiliki sikap kritis dan pemahaman keagamaan yang luas, akan menyisakan dilema pemahaman pada mahasiswanya, khususnya pada doktrin paham keagamaan

Pada sisi yang lain, kecenderungan dari sebagian dosen yang menunjukkan sikap enggan untuk melakukan penjelasan mendalam mengenai bahaya paham radikalisme menambah berat bagi pemerintah dalam menangkal virus paham radikalisme di kampus. Percikan lain seperti semangat untuk mendukung paham khilafah, yang tidak jarang dibingkai bersamaan dengan semangat kepentingan politik tertentu yang digelorakan oleh sebagian aktornya, menambah kebimbangan tersendiri terhadap sebagian dosen. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa radikalisme yang menghinggapi sebagian kalangan dosen tersebut bisa dirasakan karena adanya persinggungan dengan kecondongan untuk mendukung identitas politik tertentu, baik dalam militansi untuk mendukung paham keagamaan tertentu, maupun pada semangat keagamaan yang digelorakan dari partai politik tertentu.

Munculnya tagar ganti presiden yang tidak mendidik kehidupan berdemokrasi yang begitu ringan dibagikan oleh sebagian dosen ke berbagai grup semacam WhatsApp atau media sosial lainnya mengindikasikan bahwa ada rasa psikologis dari semangat paham keagamaan yang tinggi, namun pada saat yang bersamaan bergerak bersama-sama, yang entah disengaja atau tidak disengaja terkadang berkesuaian dengan semangat politik identitas dan partai politik tertentu.

Intensitas politik yang terus-menerus digenjot dengan "baju agama" bahkan pada titik tertentu mampu menghinggapi sebagian dosen yang berada di dunia akademik. 

Ironis, ekspresi ujaran kebencian yang didasarkan pada paham keagamaan radikal justru malah meningkat di kalangan dosen dari pada profesi lainnya. Sebagaimana rilis dari BKN yang didasarkan pada pengaduan masyarakat, kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dosen dianggap paling banyak dalam menyebar ujaran kebencian tersebut (www.news.detik.com).

Wajar saja apabila Menteri Mohammad Nasir meminta para rektor untuk menyisir para ASN di lungkungan kampus supaya ditindak tegas. Namun, maraknya fenomena paham radikal tersebut kemudian juga memunculkan kegelisahan tersendiri dari sistem pendidikan kita saat ini. Apakah yang salah dari sistem pendidikan kita selama ini, sehingga begitu mudahnya radikalisme berkambang di kampus? Mengapa bisa terjadi? 

Untuk menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan tersebut tidak mudah karena melibatkan banyak variebel yang kompleks dan rumit. Meskipun pemerintah sudah membuat berbagai aturan terkait penyelenggaraan pendidikan seperti UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, aturan etika profesi guru dan dosen mengenai kompetensi akademik yang harus dimiliki tenaga pendidik sebagaimana diatur dalam UU nomor 14 tahun 2005 yang mewajibkan tenaga para pendidik, termasuk para dosen supaya memiliki kompetensi, baik secara kepribadian, pedagogis, profesionalitas, maupun kompetensi sosial. 

Sebagai pengejawentahan karakteristik Islam Indonesia, Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia juga berusaha untuk menerapkan visi tahun 2015-2019, yaitu ingin mewujudkan pendidikan Islam yang unggul, moderat, dan menjadi rujukan dunia Islam dalam integrasi ilmu agama, pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, aturan undang-undang dan visi pendidikan tersebut belum sepenuhnya mampu diimpementasikan dalam institusi pendidikan.

Sikap tegas dari Kemenristek Dikti dalam menanggulangi ekspresi paham radikal sebagaimana disebutkan di atas, yaitu menindak dan memberi sanksi tegas kepada dosen yang terindikasi mendukung radikalisme melalui penyisiran, baik dengan upaya pemantauan status media sosial para dosen, maupun penyisiran para rektor, merupakan langkah yang positif. Setidaknya pemerintah sudah menunjukkan keberpihakannya secara serius dalam upaya menangkal radikalisme. 

Akan tetapi, cara tersebut belum dianggap efektif. Di samping akan menimbulkan sikap saling mencurigai di antara para dosen, kondisi kampus juga berbeda di dalam merespons instruksi Kemenristek Dikti tersebut. Bagi kampus yang memiliki kepekaan terhadap instruksi Kemenristek Dikti tersebut tentu dengan sigap akan merespons. Sedangkan bagi kampus tertentu yang tidak memiliki kepekaan, tentunya akan berbeda dalam merespons instruksi tersebut. Di sini pemerintah harus menentukan langkah strategis penanggulangan paham radikal untuk jangka panjang. Pemerintah disarankan menggunakan metode yang tidak hanya terkesan represif, namun juga perlu menunjukkan penanggulangan radikalisme secara persuasif melalui pendekatan intrinsik. 

Walaupun sikap tegas perlu ditunjukkan oleh pemerintah, namun pendekatan intrinsik tidak boleh diabaikan. Pendekatan intrinsik mengarah kepada upaya untuk mengubah perilaku dan cara pandang seseorang yang didasarkan kepada kesadaran. Seseorang akan merasa tulus (ikhlas) dalam berperilaku atau bersikap apabila dilandasi oleh kesadaran yang muncul dari diri sendiri, bukan karena unsur dari luar (ekstrinsik) yang mengandung kepura-puraan. Kesadaran intrinsik inilah yang seharusnya menjadi dasar bersama untuk mencegah virus radikalisme dalam pendidikan di masa yang akan datang dengan melakukan pembinaan yang serius melalui proses pendidikan.  

Walaupun demikian, langkah konkret dalam upaya menangkal radikalisme di kampus perlu dilakukan oleh Kemenristek Dikti dalam menanggulangi merebaknya paham itu. Selain upaya yang sudah dilakukan tersebut, Pemerintah, melalui Kemenristek Dikti, perlu melakukan langkah taktis dengan penyeleksian rekrutmen dosen, penguatan kurikulum berbasis pemikiran, pengevaluasian kinerja pimpinan kampus, dan pengembangan kerukunan umat beragama. 

Dalam perekrutan dosen, pemerintah perlu melakukan seleksi dengan serius dan seksama, yang tidak hanya mengacu pada standarisasi CAT, namun lebih dari itu, pemerintah juga perlu melakukan penelusuran mendalam terkait pemahaman keagamaan, perilaku keagamaan, dan wawasan kebangsaan dari calon dosen.

Penguatan kurikulum berbasis pemikiran penting dilakukan oleh pemerintah. Paham radikal yang kaku sebagaimana disebutkan di atas bisa saja disebabkan oleh sistem kurikulum, baik terkait materi, maupun dosen yang masih statis, minim referensi, dan tidak mau menggunakan pamikiran atau rasionalitas dalam pembelajarannya. 

Pengevaluasian terhadap kinerja kepemimpinan kampus seperti jajaran rektor atau dekan dalam merespons isu radikalisme perlu ditingkatkan oleh Kemenristek Dikti di Kampus umum dan Kemenag melalui Dirjen Pendidikan Islam. Upaya tersebut juga perlu dilakukan oleh Dirjend Keagamaan lainnya yang menaungi penyelenggaraan pendidikan keagamaan, baik Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan bahkan Konghucu. Pengevaluasian tersebut penting dilakukan untuk mengetahui ketegasan pimpinan kampus dalam mencegah masuknya paham radikal di kampus.

Pengembangan kerukunan antarumat beragama bisa dilakukan oleh Pemerintah dengan cara membentuk tim implementasi kerukunan umat beragama yang diharapkan mampu melakukan sinergisitas lintas agama. Kehidupan beragama yang harmoni di tengah-tengah pluralitas masyarakat perlu ditingkatkan oleh Pemerintah, karena tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang menyulut peningkatan radikalisme pada saat ini adalah munculnya sentimen paham keagamaan yang eksklusif, kaku dan tidak mau menerima perbedaan.


Penulis adalah Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta