Opini

Menakar Rencana Kenaikan Anggaran Haji 2010

NU Online  ·  Selasa, 4 Mei 2010 | 14:51 WIB

Oleh Fathorrahman Hasbul*

Negeri ini, benar-benar berada di luar batas kewajaran. Setelah banyak kasus korupsi mengurita tidak cepat terselesaikan dan kemudian pada saat yang bersamaan proses hukum yang digulirkan acapkali selalu menafikan integrititas mereka yang lemah dan semakin menguatkan mereka yang kuat, kini, aktifitas dalm ranah religiusitas pun juga menuai problem. Hal ini dapat diidentifikasi dengan adanya usulan pemerintah untuk menaikkan biaya perjalanan haji pada tahun 2010.

Pemerintah menarget dalam mometum haji tahun ini seyogianya harus ada peningkatan sekitar 133 dolar AS atau 3,86 persen dari tahun sebelumnya. Secara fluktuatif, jika pada tahun sebelumnya Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) ditetapkan sebesar 3,444 dollar AS dan 100.000, pada tahun 2010 telah diusulkan menjadi 3,577 dollar AS dan 100.000 dengan perhitungan kurs rata-rata Rp 9.500 perdolar AS. Artinya, ongkos perjalan haji tahun ini naik dari sekitar 32,98 juta menjadi sekitar 34 juta.<>

Spiral alasan yang hingga kini menjadi dasar pijakan pemerintah adalah karena harga biaya pemondokan mereka mereka juga mengalami peningkatan. Terlepas apakah alasan ini jelas adanya, namun yang pasti, kenaikan ibadah haji adalah bagian dari usulan yang pada titik klimaksnya akan memberikan konsekuensi-konsekuensi logis bagi para calon jamah haji khusunya mereka yang berada di pedesaan.

Kenaikan ongkos haji tersebut secara de facto telah memunculkan tesis sederhana bahwa untuk tahun 2010, mereka yang akan berangkat ke tanah suci harus terlebih dahulu menyediakan jumlah finansial yang lebih besar dari pada tahun sebelumnya. Jika usulan itu diterima, kenaikan tersebut adalah hukum wajib yang harus dilakukan oleh mereka yang akan berangkat. Terlepas apakah kemudian secara riil mereka memiliki penyediaan jumlah uang pas-pasan, namun lagi-lagi ketika telah menjadi sebuah kebijakan, maka meginkutinya adalah bagian dari kewajiban mutlak yang tidak bisa ditawar.

Konkritnya, kenaikan ongkos tersebut jelas akan melahirkan gejolak dan resistensi tidak menguntungkan bagi para calon jamaah yang memiliki latar ekonomi menengah ke bawah. Bagi para pekerja buruh misalkan, ketika selama ini berangkat ke tanah suci adalah penghargaan yang tak ternilai -karena jerih payah perjuangan keras dapat membuahkan hasil- , tetapi, mengapa di balik keterbatasan dana dari hasil kucuran keringat perjungan itu pemerintah masih saja mensubordinasikan mereka layaknya sapi perah yang mudah dipermainkan. Pada titik ini, sangat tampak bahwa pemahaman secara holistik-humanis tentang kondisi ekonomi para calon jamaah pemerintah masih kurang memiliki insting dan kepekaan yang kuat.

Bagian dari kekerasan

Yasraf Amir Pilliang (2010) ketika melakukan studi filsafatnya tentang paradigma sosial masyarakat kelas bawah mengatakan, marginalisasi kaum kecil lahir ketika dalam sistem sosial terdapat tindakan peminggiran, intimidasi, pemaksan atau penekanan baik implisit maupun ekplist, konkrit maupun abstrak, internal maupun eksteranal-.

Gagasan itu sejalan dengan teori kekerasan Slavoj Zizek (Violence, 2008) bahwa praktek kekerasan baik politik, ekonomi, sosial dan sejenisnya di abad ini amatlah dominan. Dalam analis itu, Slavoj menjelaskan tiga bentuk kekerasan yang terjadi dalam segmentasi aneka kehidupan manusia kelas bawah dalam berbangsa dan bernegara.

Pertama, kekerasan subyek (subyektive violence). Kekerasan yang dilakukan agen-agen tertentu atau lembaga-lembaga tertentu baik secara fisik maupun nonfisik. Kekerasan ini bisa berbentuk kekerasan melalui jalur, syarat yang menekan, intimidasi, , gertakan, teror dan paksaan.

Dalam kasus kenaikan ibadah haji, jelas kekerasan subyek masuk di dalamnya. Sebab, pemerintah dengan menjustifikasi kenaikan jumlah nominal 34 juta biaya, tanpa terlebih dahulu melihat latar ekonomi mereka yang berangkat dengah modal seadanya, bagi pihak yang lemah adalah bentuk lain dari intimidasi yang akan melahirkan disilusi dan ketidaknyamanan bagi mereka karena harus menambah jumlah uang di luar kemampuannya. Memang, penambahan 2 juta (dari 32 ke 34) amatlah kecil, tetapi bagi masyarakat petani dan buruh uang tersebut termasuk jumlah besar. Karena untuk memperoleh uang sebesar itu mereka harus menunggu musim panen dari hasill pertaniannya minimal selama 3 bulan.

Kedua, kekerasan bahasa dan simbol (simbolic violence), yaitu kekerasan yang terkesan menganggap semuanya sama yang lahir dari dialektik bahasa, sehingga dengan mudahnya menaikan jumlah uang secara umum tanpa memperhatikan mana yang kaya dan miskin. Kekerasan ini tidak melukai tubuh, tetapi melukai perasaan. Dalam kasus ini, jelas frasa menaikkan jumlah pada semua yang berangkat atau tidak berlaku bagi mereka yang miskin maupun tidak adalah bagian dari kekerasan yang lahir dari simbol bahasa kebijakan.

Ketiga, kekerasan sistemik (sistemic violence), yakni kekerasan yang dilakukan secara struktur dan tidak melihat aspek fundamental dan substansial dari obyek. Usaha menaikkan jumlah uang dengan tidak melihat sesuatu yang inti seperti misalkan dari mana ia dapat, penghasilannya tiap harinya berapa, jumlah kelaurganya, tanpa melihat perjuangan keras mereka adalah bagin dari kejahatan sistemik. Sistemik karena sebagai sebuah istitusi kelembagaan formal mereka cenderung berdiri di atas angin dan nyaris melupakan sesuatu yang seharusnya tidak dilupakan.

Di sinilah kemudian pentingnya mencari keadilan bagi para calon jamaah yang yang kelas ekonominya pas-pasan. Pihak pemerintah terlalu tergesa-gesa untuk menaikan anggaran hanya karena persolan logistik. Padahal jika realistis, pemerintah seharusnya lebih dulu menguatkan persolan dasar kaum jamaah dari pada harus terjebak pada persoalan teknis yang sebenarnya bisa dinegosiasi. .

Sebelum nasi menjadi bubur, usaha yang paling penting dilakukan saat ini salah satunya adalah memikirkan kembali usaha kenaikan anggaran itu terlebih dahulu. Pemerintah harus mencabut usulan itu dengan harapan agar para jamaah tidak merasa dirugikan dan dipermainkan. Jalur subsidi barangkali penting untuk menyiasati pembengkakan anggaran yang ada kaitannya dengan persoalan logistik.

*Peneliti pada The Indonesian View Yogyakarta