Opini

Menakar Kedudukan dan Peran Komite Fatwa Produk Halal

Sen, 27 Maret 2023 | 13:40 WIB

Menakar Kedudukan dan Peran Komite Fatwa Produk Halal

Sertifikat Halal. (Ilustrasi: NU Online)

Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, menjadi keniscayaan jika pemerintah sangat berambisi mencanangkan target menjadi pusat halal dunia. Cita-cita tersebut acap kali disampaikan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam acara resmi kenegaraan dan berbagai kegiatan formal lainnya. Namun itu tidak mudah diwujudkan karena harus berkompetisi dengan negara-negara lain sehingga diperlukan banyak terobosan, inovasi, menciptakan iklim kemudahan berusaha (easy doing business) dan membangun sistem unggul termasuk pelayanan dengan sistem elektronik.


Salah satu langkah nyata merealisasikan cita-cita tersebut tercermin dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau yang dikenal dengan Omnibus Law.


Salah satu klaster memberikan penguatan terhadap tata kelola dan kepastian hukum proses jaminan produk halal yang fondasinya telah diatur dalam UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dengan menambah kewenangan Kementerian Agama membentuk Komite Fatwa Produk Halal yang diisi ulama dan akademisi.


Tidak butuh waktu lama, hanya selang beberapa hari setelah disetujuinya Perppu Ciptaker oleh DPR, Menteri Agama menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 297 Tahun 2023 yang mensahkan Tim Pelaksana Tugas Komite Fatwa Produk Halal. Komite Fatwa ini berisi 25 orang yang terdiri atas unsur ulama dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi.


Komite Fatwa yang baru dibentuk ini merupakan komite transisi untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menyiapkan fondasi serta segala aspek kelembagaan sampai terbentuk komite fatwa definitif yang dimandatkan maksimal harus sudah terbentuk paling lambat satu tahun terhitung sejak Perppu Ciptaker diundangkan.


Untuk diketahui, dalam Perppu Ciptaker hanya memberikan legitimasi pada tiga lembaga yang berwenang memberikan fatwa yaitu Majelis Ulama Indoneia (MUI), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan Komite Fatwa Produk Halal. Sebelum terbit Perrpu Cipta Kerja, hanya MUI dan MPU yang diberikan mandat. MPU sesuai namanya, hanya beroperasi dan menjangkau di Aceh.


Komite Fatwa diberi dua tugas, yaitu memberikan penetapan fatwa kehalalan produk secara bersyarat apabila MUI dan MPU melampaui batas waktu penetapan kehalalan yang telah ditetapkan undang-undang. Selain itu, Komite Fatwa diberi tanggung jawab memfatwa kehalalan produk yang dimohonkan oleh pelaku usaha mikro dan kecil.


Eksistensi lembaga fatwa memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat vital dalam proses sistem jaminan produk halal sebagai pemberi garansi pada setiap produk baik barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau yang dimanfaatkan oleh masyarakat di wilayah NKRI layak dan aman dikonsumsi setelah memenuhi aspek dan standar syariat sehingga dapat memperoleh sertifikat halal dari Badan Penyelengara Jaminan Produk Halal (BPJPH) setelah melewati proses pemeriksaan, uji, dan audit di Lembaga Penjamin Halal (LPH) yang diakui oleh pemerintah.


Proses sertifikasi halal ketika ditangani pemerintah (BPJPH) dan menjadi syarat dalam kegiatan ekonomi maka harus tunduk pada sistem, standar-standar baku, proses dan aturan-aturan yang transparan baik dari segi administrasi, prosedur, target waktu, besaran biaya, dan segala ketentuan yang akan diberlakukan secara adil kepada semua lapisan pelaku usaha sehingga semua aspek harus berjalan fair.


Target waktu menjadi faktor sangat krusial dalam proses sertifikasi produk halal terutama bagi kalangan industri karena jika sampai bergeser atau meleset dapat berdampak ke berbagai faktor lain. Karena itu, setiap tahapan sertifikasi halal dibuat sangat ketat dan jelas limitasinya. Pada titik ini penggunaan AI (artificial intelegent) yang sedang tren patut dipertimbangkan.


Karena itu, jika produk fatwa bertumpu pada MUI semata, maka jika muncul kendala Kemenag maupun BPJPH tidak dapat memberikan tindakan atau langkah antisipasi karena MUI adalah mitra strategis bukan subordinat pemerintah. Berbeda jika hambatan dilakukan auditor halal, penyelia halal, atau LPH (Lembaga Penjamin Halal), jika ternyata menyalahi regulasi bisa diberikan langkah-langkah melalui pendekatan birokrasi. Secara tegas Perrpu Ciptaker misalnya memberi penegasan jika LPH tidak melaksanakan komitmen ada sanksi menanti. 


Sebagai lembaga yang baru lahir, Komite Fatwa akan menghadapi beberapa tantangan yang tidak ringan. Pertama, beban stigma Komite Fatwa yang dianggap menjadi kompetitor atau bahkan mengikis peran MUI yang selama ini menjelma menjadi otoritas tunggal pemberi fatwa yang eksistensinya terlegitimasi di berbagai perundang-undangan, bukan saja di sektor produk halal, tetapi berbagai aspek menyangkut kegiatan yang bersinggungan dengan ekonomi syariah hingga kebijakan yang menyangkut hajat publik lainnya yang bahkan telah diadopsi atau setidaknya menginspirasi aturan resmi pada lembaga-lembaga negara semacam Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Mahkamah Agung (MA).


Anggapan tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya tepat mengingat Komite Fatwa memiliki ruang lebih spesifik dan sangat terbatas sebagai penyangga (back up) atas peran MUI dan hanya menyangkut pernyataan halal (self declare) produk mikro dan kecil. Komite Fatwa menjadi jawaban atas kekhawatiran pelaku industri atas ketersediaan dan ketepatan terbitnya fatwa. Terlebih saat ini permintaannya terus meningkat baik dari produsen domestik maupun pelaku industri regional hingga global.


Kedua, independensi Komite Fatwa akan selalu dibanding-bandingkan dengan MUI karena lembaga ini dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Terlebih di masa transisi seperti sekarang mekanisme rekrutmen serta kriteria personalia maupun ketentuan penelusuran rekam jejaknya belum ditentukan secara jelas. Masih menjadi domain diskreasi Kemenag. Tapi itulah mandat dari pasal 63C Perrpu Ciptaker yang harus dijalankan.


Ketiga, kiprah MUI yang begitu panjang telah mendapatkan pengakuan di kancah internasional baik di kalangan negara-negara muslim maupun di negara-negara nonmuslim yang menjadikan sektor halal sebagai industri penting diakui di kawasan Asia, Amerika, dan Eropa. Dampaknya, produk-produk domsetik ketika diedarkan dan dipasarkan di kancah global tidak menemukan hambatan berarti. Komite Fatwa ke depan perlu melakukan sosialisasi dan membangun kerja sama dengan otoritas fatwa di kancah internasional.


Keempat, Komite Fatwa yang dibentuk Kementerian Agama nantinya tidak hanya ada di tingkat pusat, dengan wilayah yang begitu luas dan jumlah penduduk yang begitu pesat perlu dibentuk secara berjenjang di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk menjangkau lebih luas kebutuhan sertifikat halal di berbagai daerah.


Kelima, adanya lembaga fatwa yang tidak tunggal memerlukan kesamaan sumber hukum materiil yang dijadikan referensi dalam memfatwa. Ke depan perlu dirumuskan adanya kodifikasi hukum sebagai referensi utama fatwa agar tidak multitafsir dalam bentuk produk regulasi sehingga memiliki daya ikat kepada seluruh stakeholders sistem jaminan produk halal (SJH).


Langkah tersebut dapat mengambil inspirasi dari diterbitkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi acuan dalam mengatur hukum keluarga (al-ahwalus al-syaksiyah) melalui instrumen Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991 yang bahan bakunya selain dari UU Perkawinan dan dari “saripati” kitab-kitab terkemuka yang telah teruji (kutubul mu’tabarah) atau Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dibuat oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2008 yang menjadi rujukan dan batu uji dalam penyelesaian sengketa ekonomi di pengadilan (litigasi).


Hadirnya Komite Fatwa yang dibentuk oleh Kementerian Agama hemat penulis tidak perlu dipertentangkan, dibenturkan, atau dibanding-bandingkan dengan lembaga fatwa MUI. Justru kehadirannya harus dipahami sebagai ikhtiar saling melengkapi, dalam melayani, dan merespons kebutuhan masyarakat industri dan masyarakat konsumen terhadap tersedianya produk yang aman dan terjamin kehalalannya. Ego sektoral haruslah dikesampingkan.


Semua lembaga fatwa halal harus kuat, profesional, kredibel, dan berintegritas sehingga mampu mendorong produk-produk domestik memiliki nilai tambah, berkualitas, kompetitif, dan bisa bersaing di kancah global atas produk negara-negara yang telah memilki industri halal yang telah lebih maju sehingga cita-cita menjadi pusat industri halal dunia segera terwujud. Jangan sampai sebagai negara muslim terbesar di dunia Indonesia justru hanya menjadi target pasar utama bagi produk-produk halal yang berasal dari negara-negara nonmuslim.


Mustolih Siradj, advokat dan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta