Oleh : Amirul Ulum*
Kalau berbicara masalah kiai-santri, kita tidak bisa melepaskan dari pembahasan pesantren, langgar-langgar, dan surau-surau. Dalam hal ini, tidak menafikan adanya dakwah keliling, dengan mendatangi rumah-rumah penduduk, atau memenuhi panggilan seorang penguasa untuk mengajarkan ilmu kepada keluarga kerajaan. Tempat-tempat tersebut menjadi basis penyaluran (transmisi) ilmu dari seorang kiai kepada santrinya. Dengan bimbingan kiai, seorang santri diharapkan dapat memawarisi ilmu-ilmu yang dimilikinya untuk memperjuangkan agama Islam.
<>
Keberadaan pesantren yang merupakan pendidikan tertua di Indonesia, selain berfungsi sebagai wadah pendidikan yang mencetak generasi yang agamis, juga mempunyai fungsi menanamkan semangat jihad membela agama dan negara. Para kiai selalu mengajarkan kepada santrinya bagaimana pentingnya sebuah jihad. Baik jihad dengan makna yang umum atau yang kusus.
Secara etimologi kata jihad berasal dari al-juhd. Yaitu, upaya dan kesungguhan. Atau juga bisa berarti mengerahkan upaya dan berupaya. Sedangkan menurut terminologinya, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis dan menghadapi musuh yang tidak tampak (hawa nafsu dan setan red) dan musuh yang tampak (orang kafir red).
Perang sabilillah di Indonesia dimulai pada periode tumbangnya kerajaan Majapahit. Jihad tersebut didominasi oleh kiai-santri yang pada waktu itu diprakarsai oleh Wali Songo dan para pengikutnya. Buah dari jihad ini menghasilkan Karajaan Islam Demak dengan raja pertamanya Sultan Fatah yang merupakan keturunan raja Majapahit sandiri, raja Brawijaya V.
Setelah tumbangnya kerajaan-karajaan Islam di nusantara, perang sabilillah tidak berhenti begitu saja. Datangnya kaum penjajah yang merugikan bangsa Indonesia secara fisik dan non fisik membuat semangat jihad kiai-santri semakin berkobar untuk membela bangsa dan agamanya. Sehingga, sering sekali pesantren seorang kiai yang dicurigai sebagai dalang perang sabilillah dibumihanguskan oleh penjajah.
Dalam hal mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), para kiai telah membentuk barisan yang populer dengan sebutan “Hizbullah” (tentara Allah) dan “Sabilillah” (jalan Allah). Kedua laskar ini berangotakan kiai-santri yang berada di bawah komando spiritual KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Adapun secara militer, untuk laskar Hizbullah dipimpin oleh KH. Zainul Arifin, dan untuk laskar Sabilillah dipimpin oleh KH Masykur. Resolusi Jihad dari para kiai ini membangkitkan semangat rela mati demi membela agama, bangsa dan negara.
Di dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ternyata peran kiai-santri tidak hanya berada dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah, akan tetapi lebih dari itu. Di antara dari mereka ada yang menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air). Sebagai mana diketahui, sebagian besar tentara kita, dalam hal ini TNI itu berasal dari tentara PETA. Dan menurut penelitian Agus Sunyoto, dari enam puluh batalyon tentara PETA hampir separoh komandannya adalah para Kiai.
Menurut catatan dari Letjen TNI (Purn.) Z.A Maulani menyebutkan, semula komandan-komandan PETA adalah para kiai pesantren. Sedikit demi sedikit kepemimpinan komandan batalyon diambil alih oleh para komandan kompi non kiai dengan alasan para kiai tersebut kembali ke pesantren untuk mengajar. Namun, dalam catatan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), pergantian para pemimpin batalyon itu, dengan sendirinya memperkuat anggapan bahwa kaum kiai-santri didesak secara “teratur” dari kencah kepemimpinan oleh mereka yang tidak memiliki aspirasi agama.
Kajadian-kejadian di atas merupakan sejarah yang sudah terukir di dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Perjuangan kiai-santri yang seharusnya dibalas dengan penghargaan yang tinggi, justru air susunya dalam merebut kemerdekaan dibalas dengan air tuba. Sampai detik ini, setengah abad Indonesia merdeka, dalam tubuh TNI tidak banyak laskar kiai-santri yang ada di dalamnya. Kendatipun saat ini banyak kiai-santri yang berijazah Sarjana bahkan Magister hingga Doktor. Bahkan ironisnya, dalam suatu peristiwa di rezim Orde Baru ada kesan penggunaan militer untuk memusuhi dan melemahkan kekuatan kiai-santri.
Nasib kiai-santri beserta pesantrennya selalu dipojokkan terus-menerus. Selain dikeluarkan dari kursi kepemimpinan batalyon, pesantren yang seharusnya dihargai keberadaannya sering dikonotasikan negative sebagai sarang teroris. Dan yang paling mencolok, ijazah yang dibuat dari pesantren kurang dihargai bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang formal. Padahal secara keilmuwan, dalam masalah agama, banyak alumni pesantren yang mengungguli output-output dari Perguruan Tinggi. Sehingga, nasib output dari pesantren sering termaginalkan dengan alasan ijazah.
*Penulis adalah kontributor buku, ”Menapak Jejak Ulama Aswaja Nusantara” (Pustaka Pesantren-Lkis Yogyakarta, 2011) dan ketua Website PP. Al Anwar.
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua