Internasional

Filsafat, Jalan Ilmu yang Beriringan dengan Agama Islam

NU Online  ·  Ahad, 13 Juli 2025 | 19:00 WIB

Filsafat, Jalan Ilmu yang Beriringan dengan Agama Islam

Ilustrasi berpikir sebagai filsafat. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Filsafat bukan sekadar teori atau pandangan hidup yang rumit. Dalam tradisi Islam, filsafat adalah bagian penting dari jalan pencarian ilmu dan pemahaman hakikat realitas. Posisi filsafat tidak bertentangan, tetapi justru beriringan dengan agama.


Pandangan ini disampaikan Fariduddin Attar Postdoctoral Fellow, Carleton University, Kanada dalam Online Summer Course Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat – Kanada pada Jumat (11/7/2025).  


Fariduddin menjelaskan bahwa filsafat memiliki tiga pengertian utama. Pertama, filsafat dipahami sebagai jalan untuk mendapatkan pengetahuan tertentu. Ini adalah pendekatan atau metode yang menuntut pemikiran kritis, reflektif, dan pencarian makna terdalam atas kenyataan.


“Kedua, filsafat dipandang sebagai ilmu universal. Ia bukan eksklusif milik kelompok tertentu, tetapi bersifat umum bagi setiap manusia yang menggunakan akalnya untuk memahami aspek-aspek esensial dari kehidupan,” tuturnya.


Ketiga, filsafat juga dapat dimaknai sebagai aliran pemikiran atau sekte tertentu, yang memiliki ajaran khusus mengenai konsep ketuhanan dan kenabian (nubuwah). Ini yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai falsafah, yaitu pemikiran filsafat yang lebih teologis-metafisik dan sering berkembang dalam kerangka besar filsafat Islam klasik.


Menurut Fariduddin, filsafat tidak bisa dipisahkan begitu saja dari Islam. Justru, Islam memiliki tradisi filsafatnya sendiri, yang tumbuh dalam teks-teks keilmuan dan pemikiran para ulama. Filsafat Islam tidak hanya bicara tentang konsep-konsep abstrak, tetapi juga membentuk cara berpikir, menalar, dan memahami wahyu secara mendalam. 


“Namun, pembahasan tentang filsafat juga menyinggung soal kompleksitas istilah itu sendiri. Filsafat adalah ilmu yang bisa terasa mudah sekaligus sulit," katanya.


"Mudah, karena istilah filsafat begitu akrab dan sering muncul dalam percakapan maupun tulisan. Sulit, karena pemahamannya bisa berbeda tergantung dari mana kata itu masuk dan bagaimana ia dipahami dalam konteks budaya dan sejarah yang berbeda,” lanjutnya.


Fariduddin mengungkapkan secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang berarti mencintai kebijaksanaan atau hikmah. Namun, dalam bahasa Indonesia, kata filsafat masuk melalui dua jalur, yakni dari tradisi Islam (dengan istilah “falsafah”) dan dari Eropa melalui pengaruh bahasa Belanda dan Inggris. 


Kedua jalur ini membawa makna dan fungsi yang berbeda. Dalam tradisi Islam, filsafat erat kaitannya dengan hikmah, logika, dan kedekatan pada nilai-nilai spiritual. Sementara dalam tradisi modern Eropa, filsafat cenderung berorientasi pada analisis kritis terhadap struktur pemikiran dan sistem masyarakat.


Filsafat, lanjutnya, adalah cara melatih berpikir secara kritis dan jernih. Sebab, berpikir itu memiliki nilai sendiri mengingat aspek dari kesempurnaan manusia yang terus dilatih. Melatih pikiran secara jernih bukan sekadar doktrin.


“Semoga semakin banyak yang mempelajari filsafat. Karena sekarang filsafat mulai ditinggalkan. Kalau kita melihat ajaran ulama-ulama tidak pernah meninggalkan filsafat,” ungkapnya.