Opini

Memberdayakan Diri ala Sufi

NU Online  ·  Rabu, 11 Oktober 2006 | 12:38 WIB

Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, MA

Manusia pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk yang baik. Allah memberi manusia komponen diri untuk digunakan sebagai penjaga kemuliaan diri seraya terus membangun diri menuju derajat yang lebih baik. Karena manusia hidup nyata di muka bumi, manusia lalu mengalami pergulatan hidup.

Banyak tantangan dan godaan yang akan selalu melingkupi kehidupan manusia. Dunia memang tidaklah hampa, tetapi jamak dengan berbagai warna. Justru dengan kebhinekaan hidup ini yang kemudian mendorong manusia bergulat dengan kehidupan, di situlah sesungguhnya ”lahan” menyemai bagi manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai khalifatullah.

<>

Nabi Muhammad Saw mewanti-wanti, ”Dunia adalah tempat menyemai bagi kelak kehidupan di akhirat.” Dalam pelatihan sufistik, lazim dikenal beberapa instrumen pelatihan dalam rangka memberdayakan diri manusia. Tentu saja, hal ini logis, sebab sudah seharusnya manusia melakukan pengelolaan diri.

Ibaratnya, dalam membangun sebuah usaha, sudah tentu seseorang memerlukan ”manajemen” agar usahanya dapat berjalan baik dan lancar. Demikian halnya, lebih-lebih ikhtiar memberdayakan diri. Apalagi, dewasa ini sudah cukup banyak upaya-upaya pelatihan seperti ESQ, emotional quality management, dan sebagainya.

Kenyataan ini menjadi petunjuk bahwa manusia sekarang sudah begitu sadar untuk meningkatkan potensi dirinya terutama yang berkaitan dengan kebutuhan praktis-pragmatis. Lagi-lagi, semua ini karena yang menjadi inti pemberdayaan sesungguhnya harus bertumpu pada manusianya, bukan terfokus pada sistemnya. Bila manusianya unggul, sistem apa pun akan mudah dirancang dan dikerjakan.

Dalam kesufian dikenal tiga metode pelatihan spiritual, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli bermakna seseorang harus bersedia mengosongkan dirinya dari segala sifat dan perbuatan tercela (madzmumah). Sifat dan perbuatan tercela itu seperti iri hati, dendam, marah, suka pamer, sombong, buruk sangka, banyak bicara, hobi mengadu domba, suka berbohong, sifat kikir, suka menggunjing atau cinta duniawi.

Metode takhalli ini merupakan tahapan paling awal bagi seseorang yang ingin menyucikan dan memberdayakan dirinya. Bila tahapan ini dapat dilalui secara mulus, secara otomatis seseorang akan menyuruk lebih jauh menuju tahapan berikutnya, yaitu tahalli. Tahalli artinya tahapan di mana seseorang mulai menghiasi atau mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah).

Di antara sifat dan perbuatan terpuji itu adalah tobat yang dawam, sikap bersahaja (zuhud), hanya takut kepada Allah (khauf), penyabar, senantiasa bersyukur, selalu ikhlas, bertawakal, ridho atas segala cobaan dan selalu ingat mati. Setelah pengisian sifat dan perbuatan terpuji ini, seseorang akan merasakan puncak pemberdayaan diri (peak experience), yaitu tajalli.

Tajalli merupakan proses klimaks dari pemberdayaan diri dengan ditandai tertancapnya (rasikhun) aktualisasi sifat dan lelaku seperti sifat cinta kasih (mahabah), makrifat yang berarti seseorang semakin konsentrasi dalam mengelola hidup dengan selalu mendekatkan diri pada Allah, ittihadyang berarti rasaan kebersatuan diri seseorang dengan sang kekasih abadi, yaitu Allah dan wahdatul wujud yakni seseorang melihat kenyataan hidup ini sebagai bersifat ilahiah.

Rasaan seperti ini tidaklah bersifat metafisis dan elitis, tetapi konkret yang bisa dialami siapa pun yang mau menjalani pelatihan sufistik secara konsisten. Sikap-sikap rendah hati, peduli kepada sesama, rajin dan giat bekerja, mempunyai visi dan konsentrasi yang tinggi, menjaga amanah serta jiwa penuh pengabdian merupakan contohcontoh sifat dan perilaku nyata yang dihasilkan dari tiga tahapan sufistik di atas.

Nah, pada akhirnya manusia memang harus selalu diwanti agar mau melatih batiniahnya. Di zaman modernisasi seperti sekarang ini, justru kesadaran untuk senantiasa melatih segi batiniah perlu ditingkatkan. Secara nyata, hal ini berkait dengan pemberdayaan diri guna menghasilkan masyarakat yang berdisiplin, bersih, dan peduli. Puasa Ramadan kiranya menjadi momentum tepat untuk melatih diri menuju pemberdayaan kemanusiaan dan keilahiaan.(*)  

* Ketua PBNU