Oleh Muhammad Syukron
Perjalanan bangsa dalam membangun sebuah cita-cita kehidupan berdemokrasi terus mengalir, semua elemen bangsa terus berteriak dengan lantang tentang demokrasi. Berbagai seminar maupun sarasehan yang mengupas soal sistematika dan pelaksanaan demokrasi sampai hari ini terus bergulir dilakukan baik oleh kalangan politisi, demokrat sejati, mahasiswa, NGO, maupun pemerintah itu sendiri.
Pelaksanaan atas demokrasi itu sendiri sampai hari ini juga masih terjadi kekurangan, bahkan sama sekali belum secara kaffah menjalankan, bahkan adanya ”penyakit khas” yang menjangkit di Indonesia ini, pelaksanaan demokrasi malahan meminta “tumbal”. Seperti kita lihat sendiri, Pemilu 2004, sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi di negeri ini ternoda. Berapa orang dan pejabat yang masuk penjara akibat Pemilu 2004? Ada Mulyana W Kusumah dan teman-teman di KPU Pusat, orang-orang partai politik yang terbukti melakukan praktek money politic.
;Namun terbesit dalam pikiran saya, apakah demokrasi sudah terjawab dan terasa oleh kita semua? Pertanyaan ini semestinya menjadi refleksi bagi semua eleman bangsa ini. Terlebih bagi kalangan eksekutif dan elit partai politik, mengingat partai politik adalah instrumen utama dalam proses konsolidasi demokrasi yang dilindungi konstitusi (minimal sampai detik ini). Namun sungguh mengejutkan semua kalangan, ketika satu sisi partai politik diposisikan sebagai komunikator dalam konsolidasi demokrasi modern, alhasil, kita malah mendapatkan irus-virus kronis yang menggejala secara merata di tubuh partai politik yang ada di Indonesia ini.
Di antara “virus mematikan” yang sudah menjalar rata tersebut diantaranya sebagaimana diungkap oleh lembaga penelitian Gallup Internasional (2005) yang menemukan bukti bahwa partai politik di Indonesia merupakan “lembaga terkorup” dengan nilai 4,2 dengan kisaran 1-5. Lihat saja dengan kondisi partai politik pada hari ini yang mulai “kehilangan basisnya”, dan hanya orang-orang tertentu yang masih memiliki akses terhadap “kue” politik saja yang masih bertahan dalam posisinya, hal ini dikarenakan secara umum partai politik “tidak peka dan respek terhadap (penderitaan) rakyat” yang semakin hari, makin terhimpit oleh kebijkan-kebijakan yang tidak merakyat. Bahkan tidak jarang rakyat ditelikung ditengah jalan hanya untuk memuaskan kepentingan partai politik. Yang lebih ironis lagi, kepentingan individu para elit partai mengalahkan secara telak kepentingan di bawah.
Persoalan ini, menurut pandangan saya, disebabkan oleh pola kaderisasi partai politik yang hanya mengandalkan ”privilege” kultural saja dan tidak sungguh-sungguh dalam menerapkan platform kepartaiannya. Sehingga banyak kita dapati kontradiksi antara platform dengan program kegiatan partai politik yang sangat mencolok. Jika melihat peran dan fungsi partai politik 3 tahun ini, partai politik tak lebih sebagai kendaraan politik menuju singgasana kekuasaan yang diinginkan yang pada akhirnya tidak dilakukannya bahkan melupakan agenda transformasi pendidikan politik kepada rakyat, bahkan menyulap sedemikian rupa dengan jimat yang paling ampuh, yakni uang, sehingga menjadi lumrah dan wajar jika istilah politik dagang sapi di era sekarang ini tumbuh subur.
Ditambah lagi tingkat ”survival” partai politik yang ditopang dari pendanaan yang tidak jelas (subhat), baik dari korupsi, konspirasi, maupun hasil dari ”jualan” kendaraan politiknya. Sehingga gerakan turun kebasis tidak ada dalam nalar maupun gerakan partai politik, yang pada akhirnya kondisi partai politik pada hari ini adalah komunikasi politik terhadap konstituen menjadi macet, hanya berjalan manakala ada kepentingan semata. Maka dari itu, kelanjutan dari proses ini kemudian adalah mulai ditanggalkannya etika dan moral dalam berpolitik yang (hanya) memenuhi sebuah kepentingan.
Meski dibantah oleh para pemimpinnya, memang begitulah realitas partai politik di negeri ini, jika dibilang, buruk sekali wajahnya. Maka wajar jika rakyat terus menerus merasa dikhianati oleh partai-partai, termasuk partai politik yang menjadi pilihannya pada Pemilu.
Fenomena diatas tentunya tidak serta merta ada, tetapi ada sebab-musababnya, diantaranya adalah: 1) Karena hampir semua partai politik secara historis dibangun atas ”privilege cultural”, sehingga dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya masih diragukan, 2) Terbentuknya partai politik (hanya) berangkat dari kepentingan segelintir orang terhadap kekuasaan dan uang, ini terlihat dengan terjadinya kompromi antara pihak pemodal, penguasa, militer dan lain-lain yang secara faktual diluar kapasitasnya, 3) Bangunan dasar partai politik yang naif dan pragmatis, hal ini juga terlihat jelas ketika partai politik hanya bergerak dan bekerja manakala sedang menghadapi momentum ”perebutan kekuasaan” atau hajat ”yang dianggap menguntungkan bagi partai politik”. Akibatnya rakyat yang rendah pendidikan politiknya, terbius dan terbawa pada nalar pragmatis dan oportunis.
Selain beberapa peyebab di atas, indikator lain yang menyebabkan fungsi dan peran partai politik sampai sedemikian rupa diantaranya adalah, pertama, adanya gejala korupsi yang bersifat sistemik, artinya karena sistem (tak terkecuali partai politik) akan sulit untuk menghindari praktek korupsi. Kondisi semacam ini tentunya bagian dari peninggalan sejarah Orde Baru yang sangat kejam.
Kedua, adanya kesalahan pemahaman (miss interpretative) terhadap tuntutan loyalitas terhadap partai politik yang melebihi terhadap negara. Ketiga, ada kecenderungan, berpartai politik atau mendirikan partai politik merupakan satu jenis profesi alternatif untuk mengais rezeki di masa krisis seperti sekarang ini. Keempat, aturan hukum yang sangat mudah untuk mendirikan sebuah partai politik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh ”politisi petualang” untuk mendirikan partai politik baru dengan prinsip asal beda dari partai-partai yang sudah ada, sebagaimana yang sedang ”ngetren” akhir-akhir ini (Jeffry Geovanny: Republika, 7/12/2005). Kelima, umumnya partai politik (seringkali) dijadikan laundry oleh para kapitalis dan elit militer yang memiliki sejarah sebagai lintah darat atau menumpahkan darah rakyat dengan ”malprakteknya”.
Adanya kelima hal di atas, secara umum partai politik tumbuh di Indonesia bukan berfungsi sebagai sarana pengelola konflik, akan tetapi malah menjadi faktor signifikan dalam menciptakan, memperluas serta meningkatkan bobot konflik. Bukannya menjadi sarana kontrol sosial, namun malah menjadi institusi yang sulit dikontrol. Dan, pada akhirnya, partai politik tidak lagi memainkan peran sosoknya sebagai media perjuangan rakyat menuju kesejahteraan, akan tetapi justru menjadi alat untuk memperkaya diri dan memperkokoh posisi.
Jika demikian realitasnya, kata ”demokrasi” di negeri ini hanya sebuah slogan dan sekedar ”jampi-jampi” bagi para politisi dan penguasa untuk meloloskan niat mereka, rakyat benar-benar berada di ujung tanduk, yang tak mampu berdiri tegak (apalagi berjalan) karena sendinya (partai politik) amatlah rapuh. Tak ada jalan lain jika kemudian dampaknya seperti ini, kecuali harus dipapah atau dikawal oleh segenap warga masyarakat (rakyat). Karenanya, warga masyarakat seyogyanya memiliki kesadaran politik, minimal mengetahui bahwa dirinya berfungsi sangat signifikan dalam proses demokratisasi dan memiliki kekuatan yang (kurang lebih) sama dengan pemerintah dalam menentukan maju mundurnya negara. Sehingga sebutan layak sebagai civil society atau yang diistilahkan oleh Jhon Locke dengan civilian goverment. Sebab, civil society memang bukan hanya sendi, melainkan syarat terbangunnya demokrasi.
Secara konkret, saya ingin menyampaikan bahwa, peran partai politik sudah saatnya dihapus dari poses demokrasi di negara kita, hal ini berdasar pada realitas politik yang buruk, yang sering dan hampir setiap saat kita hadapi bersama. Berbagai alternatif lain seperti memperbaiki citra partai politik dengan menegaskan platform, visi dan misi, itu hanya lip service dan klasik yang tidak pernah terbukti.
Dengan menghapus peran partai politik dalam proses demokrasi, minimal rakyat diuntungkan dari beberapa hal berikut; 1) Tingkat korupsi yang bermediasi dengan partai politik, hilang, karena yang akan muncul adalah individu-individu potensial yang berpatron pada kapasitas dan kapabilitas, 2) Mengurangi praktek money politic dalam Pemilu, karena akan mempermudah mengontrol calon perseorangan daripada calon lewat partai politik, 3) Wakil-wakil rakyat yang ada, merupakan representasi dari kepentingan bersama yang jelas, aspirasi rakyat bisa langsung tanpa campur tangan partai politik. Dan, 4) Kekeliruan dan mitos yang berkembang subur di tengah-tengah masyarakat kita adalah politik merupakan urusan kaum elit dan segelintir orang yang ada di partai politik, padahal hakikat politik adalah usaha bersama dalam rangka melindungi hak-hak dan memperjuangakan kesejahteraan hidup secara collective (bersama). Sedangkan untuk melindungi hak-hak dan mewujudkan kesejahteraan, tidak bisa secara penuh dipasrahkan pada wakil rakyat atau pejabat pemerintah, tapi, inisiasi, partisipasi, sebagai bentuk kontrol politik atas mekanisme, prosedur dan proses demokrasi yang ada adalah peran kita sebagai rakyat.
Akhirnya, bayangan kedepan ketika bicara soal Indonesia hari ini, kita akan sepakat, bahwa Indonesia tanpa partai politik akan lebih nyaman, aman, tenteram dan bangunan kepercayaan atas birokrasi di negeri ini menjadi tidak sekedar dibalik gedung, akan tetapi saling berhadapan antara rakyat dengan pejabatnya, angka korupsi pun semakin kecil. Dan upaya menciptakan masyarakat yang adil, makmur tidak hanya slogan dalam Pancasila, akan tetapi menjadi realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga. ***
Muhammad Syukron
Alumni Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga, pernah aktif menjadi pengurus PKC PMII Jawa Tengah, PC IPNU Kabupaten Semarang, dan kini menjadi Pengurus IPNU Wilayah Jawa Tengah, serta pernah aktif di salah satu partai politik namun hanya sebagai Koordinator Biro saja. Saat ini bekerja sebagai Reporter Radio ELSHINTA Jakarta untuk wilayah liputan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.
Terpopuler
1
Kemenhub Sediakan Mudik Gratis via Jalur Darat dan Laut, Berangkat 26-28 Maret 2025
2
Presiden Prabowo Tanda Tangani PP Nomor 11 2025 tentang Pencairan THR dan Gaji Ke-13 ASN
3
Masih Dibuka, 10 Program Mudik Gratis Lebaran Idul Fitri 2025
4
Penangkapan KH Zainal Musthafa, Ansor Ciamis, dan Hak Interpelasi Oto Iskandar di Nata
5
Kultum Ramadhan: Cara Beribadah Tanpa Riya’, Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Amalan
6
Nyai Sinta Nuriyah Jadi Ibu Negara Pertama RI yang Konsisten Bahas Kesetaraan Gender, Ini Alasannya
Terkini
Lihat Semua