Opini

Memahami Agama ala Don Quixote

NU Online  ·  Rabu, 31 Oktober 2018 | 19:00 WIB

Memahami Agama ala Don Quixote

ilustrasi: emaze.com

Oleh Miftakhul Ainun Arif

Ini merupakan pertama kalinya saya perasaan saya benar-benar kontras ketika membaca cerita Don Quixote. Sedih sekaligus senang di waktu yang bersamaan. Bahkan saya bingung harus memilih antara ingin tertawa atau terharu. Sungguh karya yang sangat fenomenal.

Don Quixote, Don Kisot, atau El Ingenioso Hidalgo Don Quijote de la Mancha versi asli spanyolnya, merupakan novel klasik awal abad ke 17 karangan Miguel de Cervantes yang mengisahkan tentang seorang lelaki paruh baya bernama Alonso Quixano yang terobsesi pada kisah fiksi ksatria pengelana dalam buku-buku yang dibacanya. Dengan mengenakan baju zirah dan pedang tinggalan kakek buyutnya. Dia lantas menyebut dirinya sebagai Don Quixote, ksatria dari La Mancha.

Sebagai orang tua yang dianggap gila (dan memang agak gila), Don Quixote mengalami berbagai macam tantangan. Salah satunya kala menemukan suatu penginapan di suatu tempat. Dengan spontan Don Quixote menyebutnya sebagai sebuah kastil. Ia pun memasukinya. Dengan sedikit terkejut, sang pemilik penginapan pun menjamunya seperti halnya pengunjung lainnya. Dan anehnya Don Quixote menyebut pemilik penginapan sebagai seorang raja dan meminta si ‘raja’ untuk menahbiskannya sebagai seorang ksatria kerajaan. 

Sang ‘raja’ pun mengabulkan permintaannya. Setelah penjamuan selesai, sebagai pemilik penginapan, dia menyodorkan tagihan kepada Don Quixote. Dengan jumawanya, Don Quixote menjawab bahwa ksatria kerajaan tidak diperkenankan membawa uang. Mendengar perkataan Don Quixote, tanpa babibu dia langsung mengusir Don Quixote dari penginapannya. “Dasar tua gila” umpatnya kepada Don Quixote.

Di lain kisah kala Don Quixote bertemu pasukan kerajaan yang sedang mengawal para tawanan kriminal, tiba-tiba Don Quixote menghadangnya. Dengan sedikit terhuyung-huyung, Don Quixote mengarahkan tombaknya ke arah pimpinan pasukan dan lantas memerintahkan untuk membebaskan tawanan yang ia anggap sebagai budak-budak. 

Sontak seluruh pasukan kaget. Momen tersebut kemudian dimanfaatkan para tawanan untuk menyerang dan berhasil melepaskan diri. Bukannya berterima kasih, tawanan tersebut malah menyerang Don Quixote dan mencambuk Rosinante, kuda Don Quixote, sehingga lepas kendali. Don Quixote yang sebelumya bak pahlawan, ia lalu nampak seperti orang tolol berbaju zirah yang tersungkur di atas tanah.

Sungguh saya ingin menangis dan tertawa di waktu yang sama.

Obsesi yang besar akan kegagahan ksatria dalam bukunya menyebabkan seorang Alonso Quixano lupa akan realita yang ada. Saking terobsesinya, dia bahkan mempraktikkan secara ‘utuh’ kisah-kisah yang telah dibacanya.

Seperti halnya sastra-sastra klasik yang dianggap abadi, ‘keabadian’ kisah Don Quixote pun masih terbukti hingga saat ini. Sayangnya bukan dari kisah ksatria pengelana, namun berasal dari kisah mereka yang mengaku paling beragama. Yakni orang-orang yang mempraktikkan secara ‘utuh’ apa yang ada dalam kitab suci mereka. Khususon bagi yang merasa paling ‘islam’.

Sejatinya dalam agama islam, semua aspek yang berhubungan dengan kegiatan peribadatan berdasar pada Al-Qur’an  dan hadits. Itu mutlak. Tidak boleh diganggu gugat.  

ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

Namun dikarenakan Al-Qur’an  yang sudah pakem dan hadits yang jumlahnya terbatas sedangkan masalah-masalah yang dialami manusia semakin banyak dan dinamis. Oleh karena itu, selain pemahaman tekstual, diperlukan pula pemahaman kontekstual.

Pemahaman tekstual biasanya digunakan untuk membahas mengenai tata gramatikal suatu ayat atau hadits secara harfiah. Sedangkan pemahaman kontekstual lebih pada memahami keduanya terkait situasi, kondisi, serta maksud penggunaan kala kemunculan suatu ayat atau hadits. Pengkajian secara teks maupun konteks ditujukan agar mendapatkan pemahaman yang benar-benar lengkap, baik mengenai makna harfiah maupun inti sari dari suatu ayat atau hadits. Hal ini yang akan membuktikan universalitas islam.

Perintah Nabi, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”, maka pertanyaanya, seandainya ada sahabat Nabi yang shalat dibelakang Nabi lantas mendengar setelah takbir Nabi batuk 3 kali, apakah batuknya Nabi ini merupakan hal yang harus diikuti atau ini hanya sisi kemanusiaan Nabi yang kebetulan sedang batuk?” (Nadirsyah Hosen – Rais Syuriah PCI NU Australia)

Dan akan menjadi suatu kelucuan sekaligus kemirisan jika memahami dan mengamalkan suatu ayat ataupun hadits secara tekstual saja. 

Boro-boro mau pake smartphone, mau kemana-mana aja masih bingung. Kan, Nabi kemana-mananya pake onta,  bukan pake gojek, eh motor ding. 

Kalo masih aja ngotot, bisa jadi si doi itu Don Quixote jaman now.


Penulis adalah mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur.