Opini

Mahbub Ingin Menulis Sampai Tak Mampu Menulis

NU Online  ·  Selasa, 1 Oktober 2013 | 18:00 WIB

H. Mahbub Djunaidi lahir di Jakarta, 27 Juli 1933. Ia jurnalis, esais, sastrawan, penerjemah dan politikus tersohor. Ia merupakan salah satu aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus ketua pertamanya.
<>
Di samping PMII, ia pernah masuk di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Juga sempat menjabat di Gerakan Pemuda Ansor, Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi NU), Pertanian Nahdlatul Ulama (Pertanu), dan salah seorang Ketua PBNU.

Mahbub pernah menduduki kursi Ketua Umum PWI Pusat (1955-1970). Di bidang jurnalistik ini, ia meraih popularitasnya sebagai penulis esai kelas wahid di Indonesia. Pada titik ini, ia dijuluki pendekar pena.

Dalam bidang kepenulisannya, ia mulai dari majalah sekolahnya di Budi Utomo Jakarta. Kemudian menjadi kolumnis tetap di Tempo dan Kompas. Ciri khas tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa, serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana.

Ia juga menulis novel "Dari Hari ke Hari", serta "Angin Musim". Tahun 1974 "Dari Hari ke Hari" meraih penghargaan Roman Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta. 

Hanya dua kali ditolak tulisannya. Itu bukan karena jelek kualitasnya, tapi karena ia membela Pramudya Ananta Toer.

Mahbub meninggal di Bandung pada 1 Oktober 1995. Saat meninggal itulah dia mulai berhenti menulis, seperti apa yang dikatakannya, Saya ingin menulis hingga tak lagi mampu menulis. (Ahmad Makki/Abdullah Alawi)