Opini

Kurbanmu, Kurbanku, Kurban Kita

NU Online  ·  Ahad, 11 September 2016 | 21:00 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Ada anugerah melimpah ruah ketika bulan Dzulhijjah tiba. Umat muslim di seluruh dunia tidak hanya dihadapkan pada rukun Islam kelima yaitu menunaikan ibadah haji, tetapi juga dapat memetik ibadah penuh hikmah seperti puasa di bulan Dzulhijjah, puasa sunnah tarwiyah dan Arafah, serta memperingati hari besar kedua umat Islam, Idul Adha. 

Idul Adha juga familiar dengan sebutan Hari Raya Kurban, di mana umat Islam dalam momen tersebut ramai-ramai memberikan hewan kurban seperti kambing, kerbau, maupun sapi sebagaimana syariat Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Ibrahim adalah orang yang sangat patuh kepada Allah. Contohnya ketika Allah menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya, tanpa ragu-ragu langsung dilaksanakan kemudian dipangggilnya Ismail untuk bermusyawarah. 

Dari musyawarah itu Ismail setuju dirinya dijadikan kurban oleh ayahnya (QS as-Shaffat: 107), ketika Ismail dieksekusi oleh ayahnya, Ismail sabar dan pasrah kepada Allah. Nabi Ibrahim yakin tidak akan ada sebuah perintah dari Allah tanpa jaminan dari Allah. Buktinya benar bahwa sembelihan Ibrahim diganti dengan sembelihan kambing yang sangat besar, inilah cikal bakal adanya syariat kurban. Oleh karena itu marilah kita berkurban semoga Allah akan menggantinya dengan rezeki yang lebih besar.

Tuntunan kurban juga terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Kautsar ayat 2 yang menyatakan, Fashalli lirabbika wan har, “Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)".

Makna kurban dalam ayat tersebut mempunyai beberapa dimensi karena muaranya adalah taqwa kepada Allah. Untuk mencapai derajat tersebut, manusia tidak mungkin hanya bermodal keshalehan vertikal kepada Tuhannya, melainkan mampu menumbuhkan keshalehan sosial kepada sesama manusia sebagai basis kekhalifahan di muka bumi. Dimensi yang dimkasud yaitu dimensi sosial dan spiritual.

Aspek sosial dalam ibadah kurban jelas terlihat ketika seorang hamba berbagi kebahagiaan terutama dengan masyarakat kurang mampu untuk dapat menikmati daging kurban, baik berupa sapi maupun kambing. Dimensi ini akan menyadarkan individu bahwa kepedulian terhadap sesama manusia mempunyai peran yang sangat penting untuk menumbuhkan keshalehan sosial pada diri pribadi maupun orang lain. Jadi dampak ibadah kurban bukan satu arah, melainkan saling timbal balik memunculkan kebaikan.

Tentu sempit jika kepedulian kepada sesama manusia dimaknai melalui kurban. Ibadah kurban hanya salah satu amal shaleh yang dianjurkan oleh Allah untuk mengambil pelajaran berharga dari historisitas luar biasa Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Ketiga orang mulia ini bahkan menjadi penuntun umat muslim dalam menjalankan tahap-tahapan ibadah haji selama ini. Sebagaimana diketahui, rukun haji seperti Sa’i dan lempar jumroh berasal dari riwayat sejarah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Namun, hendaknya dipahami secara substantif meskipun terwujud dalam bentuk simbol-simbol dalam ibadah haji.

Dalam momen Idul Adha ini, Nabi Ibrahim dan keluarganya merupakan teladan penghambaan terbaik manusia kepada Tuhannya. Sebab itu, ibadah haji dan kurban tidak hanya sebatas ritual saja, tetapi bagaimana menjadikan peristiwa Nabi Ibrahim dan hal-hal yang melingkupinya dijadikan instrumen berharga untuk menghamba kepada Allah, bukan justru menghamba pada ritual-ritual tersebut. Sehingga tak jarang ditemui orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji, tetapi justru tetangga sekitarnya mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 

Begitu juga dengan kurban, ibadah yang seharusnya mampu menjadi sebuah kebaikan alam bawah sadar manusia agar kepedulian terhadap sesama terus dipupuk di hari-hari berikutnya, namun lewat begitu saja sebagai sebuah ritus tahunan. Di titik inilah kurban benar-benar harus dijadikan penghambaan kepada Allah sehingga kurbanmu mampu menjadikan kurbanku dan kurban kita semua sebagai sebuah energi pendorong masyarakat untuk menghamba kepada Tuhan. Artinya, penerima daging kurban juga harus memiliki semangat berkurban di tahun berikutnya agar selamanya tidak menjadi penerima, tetapi pemberi.

Kurban kontraproduktif

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan beberapa ironi ibadah kurban secara demografi yang selama bertahun-tahun mengalami ketimpangan. Maksud ketimpangan di sini ialah, satu daerah sangat melimpah daging kurban sebagai akibat banyaknya hewan kurban dari orang-orang menengah ke atas yang memang jumlahnya tidak sedikit, misal di DKI Jakarta. Sebaliknya, di suatu desa di satu kabupaten banyak ditemukan masyarakat yang tidak dapat menikmati berkah Idul Adha dengan menerima daging kurban. 

Jika dibandingkan, satu RW di Jakarta dalam sebuah Mushollah dapat terkumpul hewan kurban melimpah ruah berupa belasan sapi dan kambing. Sebaliknya, satu RW di sebuah desa kerap hanya ditemukan satu ekor hewan kurban saja. Kondisi ini miris, karena ketika masyarakat desa juga membutuhkan keberkahan daging kurban, kuantitas daging kurban di kota justru melimpah sehingga yang terjadi banyak distribusi daging kurban yang tidak tepat sasaran. 

Terlihat utopis ketika daging kurban harus didistribusikan ke masyarakat desa dari kota. Namun, para pejabat dan pegawai pemerintah, orang terkenal/artis, serta orang kaya hendaknya dapat memberikan hewan kurbannya ke tempat kelahiran di daerahnya. Selama ini, yang kerap terjadi justru mereka ramai-ramai berkurban di kota bukan di tempat kelahirannya sehingga semangat kurban menjadi kontraproduktif dengan ruh kepedulian sosial sebab tidak menyentuh dan tepat sasaran.

Akhirnya, perlu diperhatikan bahwa ibadah kurban mempunyai beberapa pelajaran utama yang dapat dipetik. Dalam artikel khotbah berjudul Khutbah Idul Adha: Tiga Pelajaran Utama Hari Raya Kurban dijelaskan bahwa:

Pertama, tentang penghambaan total Nabi Ibrahim dan keluarganya ketika harus mengorbankan anak tercintanya atas perintah Allah SWT. Sebab itu, ibadah haji dan kurban jangan hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi sebuah totalitas penghambaan kepada Allah.

Kedua, tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah pengorbanan Ismail oleh Nabi Ibrahim, di satu sisi manusia diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia--sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu--adalah hal yang diharamkan.

Ketiga, pelajaran yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya. Hal ini sama seperti ibadah haji yang harus dimaknai sebagai sebuah totalitas pengahambaan manusia kepada Allah, tidak dijalankan sebagai ritual tanpa makna sehingga predikat haji mabrur dapat diperoleh, yaitu keshalehan sosial seseorang meningkat drastis ketika kembali ke tengah masyarakat. ***


Penulis adalah Dosen STAINU Jakarta.